Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Panggil Aku Komunis

15 Mei 2016   14:37 Diperbarui: 15 Mei 2016   14:54 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Maksudnya pak?"

"Karena mbahmu..., adalah seorang komunis!" tegas bapak.

Tubuhku membatu seketika, isakku buyar. Tapi sebutir airmata kembali menggelinding dan tak mampu ku bendung, tanganku yang masih merengkuh lengan mas Lukman melemas begitu saja. Meluncur darinya. Seperti ada aliran listrik bertegangan tinggi yang menyengat tubuhku, apakah aku tidak salah dengar?

Sepertinya bapak baru saja mengatakan kalau mbah adalah seorang komunis.

"Maafkan bapak nduk, bapak juga baru mengetahui kalau seorang abdi negara seperti nak Lukman..., ndak akan di perbolehkan menikahi seseorang yang masih memiliki hubungan dengan seorang komunis!" jelas bapak lagi. Pipiku kian basah, aku tak mampu berucap apapun lagi.

Waktu kecil, sering sekali aku menonton film tentang "G-30 S PKI" , sering ngeri sendiri ketika menyaksikan adegan penyiksaannya terhadap para perwira tinggi negara. Bahkan aku ikut mengecam hal biadab itu, tapi kini...

Aku justru mendengar kenyataan yang sungguh menghancurkan hatiku, bahwa mbah..., dulu adalah seorang komunis. Selama ini yang aku tahu, mbah kakung dan mbah putri meninggal karena kebakaran waktu bapak masih sangat kecil. Tapi aku tak pernah di beritahu apa sebabnya.

"Bapak..., boh-hong kan?" desisku lirih, tapi tatapan yang bapak berikan menyatakan bahwa semua itu benar. Bahwa mbah memang seorang komunis,

"Maafkan bapak nduk!"

Ku toleh ibu yang juga menunduk terisak, selama ini ibu adalah tempat curhatku. Termasuk saat pertama kali aku bertemu dengan mas Lukman, aku tak malu curhat ke ibu, bahwa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Polantas tampan itu, yang menilangku karena terpaksa harus melawan arus mencari jalan tercepat ke kantor saat telat karena bangun kesiangan. Setiap detail pertemuanku dengan mas Lukman ku beberkan pada ibu, tentu saja ibu paling tahu betapa aku mencintai mas Lukman. Dan kini cinta kami berada di ujung tanduk.

Aku tak mampu herucap lagi. Langsung ku hamburkan diriku ke kamar, membanting tubuhku ke kasur dan menangis sejadi-jadinya. Entah apalagi yang bapak bicarakan dengan mas Lukman, karena mungkin lebih dari limabelas menit setelah aku masuk kamar suara mobil mas Lukman meninggalkan halaman rumahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun