Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Panggil Aku Komunis

15 Mei 2016   14:37 Diperbarui: 15 Mei 2016   14:54 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku terlonjak ketika kurasakan tangan lembut ibu menyentuh rambutku, ibu duduk di tepi kasur. Aku langsung bangkit dan memeluknya bertabur airmata.

"Yang iklas nduk, mungkin nak Lukman memang belum jodohmu!" hibur ibu. Tapi aku hanya bisa menangis, karena hanya itu yang bisa ku lakukan sekarang.

* * *

Karena isu yang beredar itu, aku tak lagi bebas pergi kemana ku suka seperti dulu. Teman-teman kantor mulai menjauh, bahkan aku di berhentikan dari bank. Atasanku bilang, ia tak mau menanggung resiko jika terus mempekerjakanku di sana. Foto-fotoku saat menemui lelaki yang memakai masker itu terlanjur menyebar luas, apalagi di sertai artikel bahwa kami tengah berunding untuk mengibarkan kembali bendera Partai Terlarang itu. Entah siapa yang menciptakan foto itu dan mengunggahnya. Tapi bapak benar, tidak mudah mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Karena hal itu juga, mbok de Santi datang berkunjung. Mbok de Santi adalah kakak tertua bapak, sementara bapak adalah anak bungsu. Dari mbok de pula, aku tahu semua masalalu keluargaku. Beliau menceritakan semuanya padaku,

Waktu itu, ketika partai komunis tengah tegap di jamannya. Desa kami adalah salah satu desa tempat komunis mulai berkembang, keluarga mbah adalah salah satu dari sebagian warga miskin yang ada. Bantuan dari pemerintah tak dapat memasuki desa karena terjadi pemboikotan oleh para komunis, para warga miskin di tawari untuk menjadi anggota dan imbalannya, mereka akan mendapatkan sembako. Dan tidak akan kesulitan lagi mencari bahan pangan, karena bisa keluar masuk desa dengan leluasa. Sementara yang tetap teguh membela pemerintahan yang ada akan tetap kelaparan, kecuali yang memang memiliki harta benda.

Awalnya, mbah menolak dengan tawaran itu. Tapi suatu hari anak kelimanya sakit keras, butuh obat dan makanan. Anak-anaknya yang lain juga sudah mengeluh sakit perut karena kekurangan makan. Akhirnya mbah mendatangi markas mereka dan bersedia menjadi anggota, bahkan kalau perlu ia rela merekrut anggota lain sebanyak-banyaknya asalkan ia bisa mendapatkan obat untuk anaknya. Sejak itulah kiprah mbah di mulai, ia menjadi salah satu anggota yang aktif. Hingga terjadi kerusuhan itu, dimana para komunis di berantas habis pasca insiden yang menimpa para Perwira Tinggi Negara di Lubang Buaya. 

Desa kami menyala, bukan hanya harta benda yang habis terbakar. Tapi mbah kakung dan mbah putri adalah salah satu yang ikut meregang nyawa dalam peristiwa itu. Meninggalkan 8 anak-anaknya menjadi yatim piatu. Saat itu bapakku baru berusia 3 tahun. Belum bisa mengingat apapun selain kobaran api yang sering melintas sekilas di memorinya. Mbok de Santi, sebagai anak tertua yang saat itu sudah 16 tahun harus berjuang untuk menghidupi adik-adiknya pasca insiden itu.

Ketika bapak menikah dengan ibu, bapak memutuskan untuk tinggal di desa ibu. Mencoba menjauhkan anak-anaknya kelak dari memori kelam yang mungkin akan menghantui suatu saat nanti. Tapi tetap saja, buktinya semua itu terjadi padaku. Mbahku, dulu adalah anggota yang aktif di partai. Itulah sebabnya aku menjadi incaran untuk di hasut secara halus oleh beberapa oknum para komunis di daerah sekitar kami.

Mengetahui itu, entah aku harus bersikap bagaimana sekarang terhadap almarhum mbah yang selama ini ku segani meski aku tak pernah bertemu dengannya. Beliau rela mengotorkan dirinya hanya agar anak-anaknya tidak mati kelaparan, hingga aku bisa terlahir. Aku tidak tahu apakah aku harus berterima kasih atas hal itu. Atau aku harus membencinya, karena beliau seorang komunis. Yang membuatku kini harus ikut terlempar bau tak sedapnya. Bahkan harus kehilangan mas Lukman.

* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun