Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Panggil Aku Komunis

15 Mei 2016   14:37 Diperbarui: 15 Mei 2016   14:54 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dek!" suara mas Lukman bergetar, kami sudah duduk berjam-jam di selimuti keheningan di bangku sebuah taman kota. Aku tahu mas Lukman akan mengutarakan sesuatu yang tak aku inginkan.

"Katakan saja mas, ndak apa-apa kok!" suaraku mulai parau. Sejujurnya aku tidak siap mendengar apapun yang akan membuatku sakit dari mulut mas Lukman yang selama ini meneduhkanku.

"Maafkan mas ya, tapi bapak benar..., kita harus berpisah!" ungkapnya. Ku pejamkan mata untuk meredam rasa sakit, tapi tetap saja sebutir bulir bening jatuh menggelinding. Membasah saat ku buka kelopak mataku,

"Apa mas benci sama Rizka?" suaraku sedikit bergetar, "apa mas..., mempercayai semua itu?"

"Mas percaya, kamu ndak tahu apa-apa. Tapi kita tetep ndak bisa bersama dek, mas justru kuatir...kalau mas memaksakan hubungan kita, itu akan berdampak buruk buatmu!"

"Tapi bagaimana aku bisa hidup tanpa mas Lukman, sehari aja ndak denger suara mas..., rasanya...seperti neraka mas!" tangisku pecah, menoleh padanya dengan wajah basah. Mas Lukman juga menoleh padaku, membalas tatapanku.

"Jangan bicara seperti itu dek, mas yakin..., kamu akan bertemu dengan lelaki yang jauh lebih baik dari mas. Yang ndak akan menempatkanmu dalam masalah seperti ini!"

"Ini ndak adil mas, ini ndak adil...!" isakku sesenggukan. Ku rasakan tangan kekar mas Lukman menangkup wajahku yang banjir, "terkadang..., apa yang kita pikir adil buat kita, belum tentu itu terbaik buat kita. Kita harus iklas!" hiburnya lirih. Ku raba tangannya di pipiku,

"Tapi aku bukan seorang komunis mas, bapak dan ibu juga bukan!" kataku terbata,

"Mas tahu, tapi kita juga tahu___kita, ndak bisa mengubah jejak yang sudah mbah kamu tinggalkan!" ucapnya. Itu benar, meski ingin sekali aku menjerit dan mengatakan tidak. Mas Lukman merengguhku dalam dekapannya, aku membalas pelukan itu dengan erat untuk merasakan cintanya. Karena aku tahu, aku tak akan pernah bisa merasakannya lagi. Itu akan menjadi pelukan terakhir kami. Aku menangis tersedu-sedu membasahi seragamnya.

Mas Lukman benar, aku tidak akan bisa mengubah jejak yang sudah mbah tinggalkan. Bagaimanapun, mbah adalah seorang komunis. Tapi aku bukan, aku bukan seorang komunis. Dan tidak akan pernah menjadi seorang komunis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun