Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mini Seri : Satir

31 Maret 2016   20:55 Diperbarui: 5 April 2016   00:05 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Girls, allpix.club"][/caption]

Kumpulan Cerpen "Cinta Di Lorong Gelap"

Mini Seri (Bagian Satu)

Saat-saat seperti ini yang membuatku ceria, dimana aku bisa tertawa dan bercanda bersama teman-teman, dan biasanya tawa itu akan bungkam jika bu Ika, supervisor kami menghampiri. Bu Ika memang killer, super disiplin. Pantes semua anak buahnya jadi mengkeret kalau di datangi. Tapi sebenarnya ia cantik sekali, sayang di usianya yang sudah 34 tahun ia belum menikah.

Seperti biasa kami harus merapikan kembali tumpukan pakaian yang di berantaki oleh pengunjung, apalagi kalau sedang musim promo. Wah..., seharian bisa merapikan tumpukan pakaian tanpa henti. Yah..., beginilah pekerjaan seorang SPG Matahari, mau ngapain lagi.

Hari ini aku masuk pagi, jadi bisa pulang sore. Tidak ada lembur, ok, bisa beristirahat. Sudah tidak sabar rasanya ingin bertemu kasur dan membiarkannya memelukku hingga terlelap. Ingin tidur panjang. Begitu jam kerjaku kelar, aku langsung melarikan diri lebih dulu, karena aku tidak mau Vina membujukku lagi untuk ikut dengannya. Biasa, blind date.Entah kenapa temanku yang satu itu suka sekali berkenalan dengan cowo-cowo lewat dunia maya. Katanya buat pengalaman. Ah, terserah dialah.

Tapi yang benar saja, aku baru saja keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kamarku. Si Vina sudah berdiri di depan kamar kosku, untungnya ini kos kusus putri, jadi meskipun pergi ke kamar mandi hanya mengenakan handuk atau kimono tidak akan masalah. Tapi aku tak biasa sepeprti itu, kebiasaanku, masuk ke kamar mandi dengan pakaian lengkap maka keluarpun juga berpakaian lengkap. 

Bahkan di kampungpun aku begitu, meski aku tak selalu mengenakan pakaian panjang atau jilbab. Soal style aku justru terkesan semauku. Terkarang hanya mengenakan kaos oblong dengan celana pendek setengah paha. Tapi yang jelas, aku tak bisa tampil hanya mengenakan handuk di depan orang lain, meski orangtuaku sendiri. Tentunya itu berlaku sejak aku masih remaja. Ok, kembali....

"Vina, sedang apa kau di sini?"

"Menunggumu Mel, apalagi. Bagaimana?"

"Apanya?"

Aku pura-pura tidak tahu, padahal sudah tahu maksud kedatangannya. Tadi siang Vina memintaku menemaninya bertemu dengan kenalan barunya yang katanya seorang menejer enjinering gitu, tapi karena ketemuannya di klub..., jadi aku menolak.

"Yang tadi, ayolah Mel..., masa kau tega membiarkanku sendirian!" bujuknya, ia sudah memakai rok mini warna peach dengan tank-top merah dan blazer putih. Kaki jenjangnya di biarkan terekspos dengan sepatu Yongky Komaladi berhak tinggi berwarna hitam putih yang membuat tubuhnya kian meninggi saja, kalau jam kerja, kaki kami akan terbungkus oleh stocking. 

Jadi meskipun memakai rok mini, tak akan jadi masalah. Sebenarnya, tinggiku hampir sama dengan Vina. Hanya Vina unggul 3 cm dariku. Warna kulit, kulitku justru lebih putih darinya, kalau si Vina berkulit kuning langsat. Tapi justru itu terkesan seksi. Soal wajah?

Kebanyakan teman mengatakan aku lebih unggul dari Vina, tapi di antara kami tidak ada persaingan kami justru berteman baik. Tentu saja, karena kami memiliki sifat dan sudut pandang berbeda. Vina lebih berfikiran bebas, menganggap berpetualang cinta selagi masih lajang itu wajar. Sementara aku, aku justru menginginkan bisa bertemu seseorang yang akan menjadi cinta pertama dan terakhirku, karena aku percaya cinta seperti itu masih ada.

Aku memasuki kamar kosku yang seluas 3x3 m itu, dengan biaya 450 ribu perbulan yang harus ku tanggung. Tak ada AC, hanya kipas angin, lemari dan ranjang. Vina mengikuti dan langsung duduk di ranjangku, menekuk kakinya. Ku cantelkan handuk di hanger lalu ku taruh di capslock. Aku mulai menyisir rambutku.

"Mel, plisss..., aku tidak punya teman yang bisa menemaniku malam ini. Si Ratna dan Eka kan ada date dengan pacarnya, yang jomblo cuma dirimu doang, ayolah..., Melati baik deh!" rayunya.

"Tapi kenapa harus di klub sih Vin, kan bisa di tempat lain?"

"Ya..., mau nyoba suasana baru saja. Kalau di caffe kan sudah biasa, lagipula ini bukan klub murahan kok!"

"Memang jam berapa janjiannya?"

"Jam 10!"

"Masih lama, kenapa sudah menor duluan?"

"Ya kita kan bisa main-main dulu ke tempat lain, siapa tahu nemu jodoh buatmu!"

"Ok, nyindir-nyindir...!"

"Jadi..., mau kan?"

"Iyaaa..., ini karena kau saja Vin. Kalau bukan teman baikku, mana mau!"

Vina mengembangkan senyum manisnya, lalu kami rebahan sebentar untuk melepas lelah setelah membeli makan malam. Karena kweetiau goreng adalah favoritku jadi aku beli itu saja untuk makan malam. Kalau malam memang aku stop makan nasi.

Jam 9 malam kami pergi mencari taksi. Vina masih mengenakan pakaiannya ketika datang ke tempatku, sementara aku..., aku memilih t-shirt pas badan saja dengan jeans lalu ku lapisi blazer juga. Kami tiba jam 9.40, memasuki klub yang langsung membisingi telingaku.

Kami mengambil sebuah meja dan memesan minuman, kami hanya pesan softdrink untuk minum sembari menunggu teman Vina. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya pria itu datang juga, dia datang sendiri seperti yang di katakannya. Memang tampan sih, kisaran awal tiga puluhan. Namanya Tara, dari cara bicaranya sih sepertinya baik tapi entahlah...

Sekarang aku jadi kambing congek, hanya bisa duduk menyedoti softdrinkku saja sementara Tara dan Vina mulai bercanda seperti sudah pacaran. Dan itu, tangan si Tara mulai berani kelayapan. Terpaksa harus ku sapukan mataku ke sudut lain di ruangan bising ini dengan kerlap-kerlip lampunya. Lalu kepalaku berhenti bergerak ketika ku temukan sepasang mata yang sepertinya memperhatikanku. Bisa ku rasakan mata kami bertemu, lalu ku buang muka ke arah lain untuk beberapa saat. Karena masih penasaran aku pun kembali melirik ke arahnya, sepasang mata itu masih mengarah padaku. Sepertinya memang mengarah padaku, padahal dirinya sedang merangkul seorang wanita cantik nan seksi.

Dasar lelaki!

Ku umpat saja dalam hati. Ku putar kepalaku kembali, dan ini..., apa ini? Mataku melotot lebar karena aku tak menemukan Vina dan Tara di depanku. Kemana mereka lenyap?

Vina...,

Selalu..., lihat saja besok di departemen store. Akan ku beri pelajaran! Meninggalkanku sendirian di dalam klub. Aku kan tidak permah masuk klub sebelumnya....

Aku celingukan mencari mereka dan tetap tak bisa ku temukan, akhirnya aku pun memutuskan untuk meninggalkan tempat itu saja. Nah, aku mau kemana setelah keluar dari pintu ini? Aku bingung sendiri karena aku lupa dari arah mana tadi aku datang bersama Vina. Masa bodoh! Yang penting jalan, pasti nanti ketemu jalan raya. Akhirnya...,

Ku cegat beberapa taksi dan semuanya terisi, ku lirik arlojiku. Sudah menunjuk lebih dari jam 11 malam, kenapa susah sekali mencari taksi kosong, biasanya banyak. Ku langkahkan kaki saja pelan-pelan sambil menunggu taksi.

Waduh!

Aku baru sadar, daerah ini kan..., jalanan ini..., tempat para PDPJ mangkal. Mati. Jangan-jangan nanti aku di kira salah satunya lagi. Tapi..., aku kan tidak memakai pakaian seksi.

Ku lihat ada taksi lagi, langsung ku cegat. Aku bernafas lega karena taksi itupun merapat, aku segera menghampiri tapi ada tangan lain yang lebih dulu meraih pintu taksi. Ku toleh orang itu, "hei, maaf. Aku yang mencegat taksinya!" seruku.

"Maaf mbak, aku buru-buru!" seru pria itu.

"Tapi aku yang mencegat taksinya, apa kau tahu sudah sekali mendapat satu taksi saja. Harap antri dong!"

"Kalau aku tidak mau bagaimana?" seru orang itu dengan tampang sangar, seketika nyaliku jadi hilang. Meski dalam hati dongkol tapi apa boleh buat, darilada terjadi sesuatu padaku. Tapi...,

"Maaf pak, seharusnya kau mengalah pada wanita!" sebuah suara membuat kami menoleh. Mataku melebar melihat sosok itu, itu adalah pria di dalam klub tadi yang memperhatikan aku. Tampangnya cold sekali, tegas, dan matanya cukup mengancam pria yang ingin menyerobot taksiku. Entah apa yang terjadi, orang yang ingin menyerobot taksiku langsung menyusut nyalinya.

"I-I-iya bang, ma-maaf bang!" katanya lalu menyingkir terbirit. Aku tidak tahu kenapa.

Pria ini menatapku lembut sekarang, tatapan garangnya melemah, ia membuka taksi tanpa memindahkan matanya dariku, "taksimu nona!" katanya.

Aku tertegun menatapnya, entah kenapa aku seperti merasakan darahku mendesir. Sesuatu yang tak pernah ku rasakan selama ini, tapi segera ku pindahkan tatapanku lalu berjalan ke pintu taksi yang sudsh terbuka dengan melewatinya. Ia sedikit bergeser, "terima kasih!" seruku singkat. Aku pun menenggelamkan diriku ke dalam taksi, ia menutup pintunya lalu mengetuk kaca depan. Sang sopir taksi menurunkan kacanya, pria itu sedikit membungkuk, "antarkan nona ini sampai ke tempat tujuan dengan selamat!" katanya lalu berdiri tegak kembali.

Taksi itu melaju membawaku, "kemana neng?" tanya sang sopir.

"Ke Tanjung Duren pak!"

Malam itu aku tak bisa tidur, sungguh! Bayangan pria itu muncul di depanku dan tak mau menyingkir. Wajah asingnya begitu menggelitik benakku, ku tafsir dia bukan orang Amerika, bukan Inggris, mungkin Jerman...atau...Rusia. Tapi dia berbahasa Indonesia dengan fasih. Siapa dia?

* * *

Next, Bagian Dua

#Kisah Lainnya,

# Dia Seorang Mafia

Sebening Embun Semerah Darah

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun