Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Broken Wings of Angel ~ The Wedding #Part 40

22 Februari 2016   13:58 Diperbarui: 25 Februari 2016   02:03 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya, The Wedding #Part 39

 

"Ceraikan dia__ceraikan dia__ceraikan dia!"

Ucapan terakhir Rizal terus menggema memenuhi otaknya, seperti pisau tajam yang membelah tulang rusuknya, lalu menyalur ke batok kepalanya dan membelah otaknya. Membuat kepalanya berdenyut, menimbulkan rasa sakit tak terperi sampai ke sumsumnya.

Menceraikan Liana bukan salah satu ide yang melintas di otaknya untuk bisa melepaskan wanita itu dari deritanya, tapi sepertinya Rizal benar, bahwa keberadaan dirinya hanya membuat wanita itu kian terluka. Ia hanya bisa melukai hati Liana, dan kini hal itu juga membuat hatinya sendiri terluka.

Tapi haruskan ia mengabulkan permintaan Rizal?

Menceraikan Liana?

Tidak!

Ia menggeleng cepat, "tidak!" tolaknya, setelah apa yang di lakukannya ia tidak akan lepas tangan begitu saja dengan menceraikan wanita itu, "aku tidak akan menceraikannya!"

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Rizal, "kau pikir..., kau bisa memperbaiki keadaan? Setiap kali Liana mencoba membuka diri, kau justru mengahncurkan semuanya. Prasangkamu, pemikiranmu, ucapanmu..., semua itu..., hanya bisa membuat Liana menderita!"

"Jika aku menceraikannya, lalu apa kau pikir Liana akan bahagia?" balas Nicky, Rizal menggerutu dengan tantangan Nicky, tapi Nicky benar, Liana hanya mencintai pria itu bukan dirinya. Tapi ia tidak akan melepaskan Liana begitu saja kembali pada Nicky.

"Setidaknya, aku masih bisa menghormatinya..., bahkan ku perlakukan dia seperti dewi. Aku jauh lebih bisa menghargainya, apakah..., kau juga bersedia memperlakukannya layaknya seorang putri?" tantang Rizal kembali, "atau setidaknya, hargailah dia sedikit, bukankah kau menikahinya bukan untuk kau rendahkan?"

Nicky kembali terbungkam. Kata-kata Rizal kembali menghantam dadanya, tapi semua itu benar kan? Rizal memang memperlakukan Liana seperti seorang dewi, tidak seperti dirinya.

Rizal memalingkan wajahnya, menyekanya dan menghela nafas dalam.

"Bicaralah padanya!" katanya, Nicky mengangkat matanya ke wajah Rizal yang kembali mengarahkan pandangannya, "kau datang untuk membawa pulang, iya kan?" lanjutnya. Nicky tak menyahut, hanya sedikit melebarkan mata.

"Keputusan itu ada di tangannya, bicaralah padanya..., mungkin masih belum terlambat!" sarannya, Nicky masih mematri tatapannya kepada Rizal. Pria itu tiba-tiba berubah pikiran, atau..., semua itu tadi hanya sebuah tes?

Nicky memutar kepalanya ke dalam kamar, ke arah Liana duduk meringkuk, seolah sedang melindungi dirinya dari semua yang akan mendekat. Rizal juga memandang wanita itu, yang hanya diam termangu. Meski rasanya Liana mampu mendengar sedikit percakapannya dengan Nicky saat suaranya lantang beberapa saat lalu. Atau mungkin, Liana memang menunggu Nicky datang padanya?

Perlahan Nicky membawa langkahnya mendekat ke dalam, sangat pelan karena ia tak mau Liana kaget dengan kehadirannya. Ia duduk di tepi ranjang dan menaruh sweter di tangannya ke kasur, menatap wanita itu yang masih belum memindahkan sedikitpun posisi tubuhnya. Jantungnya kembali berpacu begitu cepat, ia ingin mengucapkan sesuatu tapi rasanya lidahnya malah menjadi kelu. Ia tak tahu bagaimana memulai kata, dan semua kata yang akan ia ucapkan..., terlalu banyak, terlalu rumit, bahkan..., tidak akan cukup untuk bisa memperbaiki semuanya. Ingin sekali ia memeluk wanita itu erat, tapi ia justru tak berani melakukannya.

Ia merasa jauh lebih takut menyentuhnya sekarang di banding dulu, ia takut saat menyentuhnya ia akan lebih menyakitinya. Tapi ia tak mampu menghentikan gerakan tangannya yang terangkat begitu saja ke udara. Perlahan sekali ia mendekatkan jemarinya ke arah kepala Liana, dengan sedikit gemetaran..., ujung jemarinya menyentuh rambut di ujung dahi Liana. Mengalurkannya ke bawah hingga menyentuh goresan luka di tulang pipi wanita itu yang bisa ia rasakan, perlahan Liana bereaksi dengan sentuhan di kulitnya itu.

Ia menggerakan matanya terlebuh dahulu, lalu kepalanya pelan-pelan hingga menemukan wajah Nicky di hadapannya. Mata mereka terkunci satu sama lain, diam dalam pandang yang aneh dan janggal. Sementara Rizal hanya memandangnya saja, tapi melihat tatapan yang tercipta di antara kedua insan itu, membuatnya memutuskan untuk menyingkir. Mungkin kedua insan itu butuh waktu untuk berdua, ya, akan lebih baik begitu. Mungkin Nicky akan lebih mudah berbicara jika hanya ada mereka berdua, lagipula kedua insan itu masih terikat tali suci, mereka masih suami istri yang butuh privasi.

Rizal melangkah keluar rumah, ia tak mau memikirkan apa yang akan Nicky bicarakan. Tapi ia akan percaya Nicky akan berusaha berbicara sebaik mungkin untuk bisa meminta maaf pada Liana.

Liana masih memandang pria di hadapannya secara dalam, otaknya masih bekerja, memikirkan apakah ia sedang berkhayal atau tidak, tapi gerakan jemari Nicky yang tengah membelai lembut bekas luka di tulang pipinya itu menyadarkannya bahwa itu memang Nicky.

Beberapa patah kalimat yang pernah Nicky lontarkan kembali menyerbu ingatannya, "dan mungkin..., tak bermoral___" sebuah kata yang Liana masih ingat sebelum ia memutuskan untuk keluar dari rumah itu. Sesuatu mulai menjalari perasaannya,

"Apakah kau juga sebergairah ini saat bersama Anthony?______" Nicky ucapkan itu setelah percumbuan kecil mereka, sengaja memancing gairahnya hingga menggebu lalu membantingnya keras begitu saja, dan itu...cukup sakit!

Semua ingatan itu..., menyadarkan lamunannya, ia segera menampik tangan Nicky di wajahnya seraya beranjak menjauh, tapi Nicky segera meraih bahunya, iapun meronta dan berteriak, "lepaskan aku!"

"Liana!"

"Pergi, jangan sentuh aku!" rontanya, Nicky tetap menahan bahunya, "Liana,"

"Aku tidak mau melihatmu, pergi!"

"Liana, maafkan aku!" akunya,

"Tidak!" potongnya, "pergi, aku membencimu!"

"Liana!"

"Jangan sentuh aku, pergi!" usirnya lagi dengan ronta yang lebih kuat, tapi Nicky malah merengkuhnya ke dalam dekapannya, "maafkan aku!" desisnya mempererat pelukannya ketika Liana menolak dan berusaha meronta, mendorong dadanya menjauh.

"Lepaskan aku!" pintanya dalam tangis, "tidak!" tolaknya tetap memeluknya, "lepaskan...aku..., aku membencimu..., aku membenci...mu...," tangisnya memukul punggung Nicky setelah tak berhasil mendorong dari depan, "lepaskan...!"

"Maafkan aku!" ulang Nicky, "maafkan aku!" itu pertama kalinya Nicky mengucap maaf padanya, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Perlahan Liana melemahkan pukulannya di punggung Nicky, ia sudah tak mencoba meronta lagi, dan ia biarkan tangisnya mengisak di dada suaminya.

Mereka berpelukan cukup lama sampai tangis Liana berubah menjadi sedu saja, Nicky mengusap punggungnya pelan, dalam dekapan itu..., Liana memang merasakan ketenangan. Meski ada keraguan di sudut hatinya, tapi ia ingin percaya bahwa Nicky memang mengucap maaf itu. Ia biarkan tubuh mereka masih menyatu dan tak berusaha melepaskan diri karena ia tak mau memandang matanya. Karena mungkin..., Nicky akan kembali berubah ketika tubuh mereka terpisah, akan memandangnya dengan sorot yang sama seperti kemarin. Sorot yang menggoreskan rasa pedih di hatinya, dan mungkin saat-saat ini hanyalah mimpi belaka.

Mungkin, Nicky sedang kembali mengetesnya. Dan Nicky tak ingin melepaskan dekapannya karena ia juga takut, takut Liana akan segera kabur, mungkin ke dalam pelukan Rizal, meski hanya untuk meminta perlindungan. Tapi tetap, itu membuat hatinya sakit. Karena ia ingin memeluknya, hanya dirinya...hanya dirinya yang memeluk wanita itu.

Tepukan tangan di pintu kamar membuat mereka terjaga, "mengharukan sekali!" suara itu membuat mereka melepaskan diri satu sama lain. Menoleh ke arah sumber suara, baik Liana maupun Nicky membelalakan mata mengetahui siapa orang yang tengah berjalan mendekat ke arah mereka. Seketika Liana mencengkeram lengan Nicky kuat, wajahnya masih basah dan masih terlihat sedu di sana.

Anthony, bagaimana pria itu tiba-tiba ada di sana, lalu dimana Rizal?

"Aku senang kalian berkumpul, jadi akan lebih mudah!" katanya, Nicky membawa Liana bangkit dan menggesernya ke belakang tubuhnya, melindunginya. Anthony menyunggingkan senyum simpul,

"Mau apa kau kesini?" tanya Nicky dengan gerutu, "mau apa?" sahut Anthony, "aku rasa..., urusan kita belum selesai, iya kan Liana?"

Kediaman menyeruak beberapa saat, "apakah kau sudah memberitahu Nicky siapa aku?" tanyanya pada Liana, Nicky sedikit mengernyit, Anthony berbicara seolah dirinya dan Liana sudah saling kenal cukup lama!

Tapi apapun itu, Anthony datang untuk menuntaskan rencananya yang gagal tempo hari, yang pasti itu adalah hal yang akan menyakiti Liana.

"Nampaknya kita akan bersenang-senang, aku suka ini!" lanjutnya, "jika kau melangkah lebih dekat, aku akan...," seru Nicky yang terpotong oleh suara langkah kaki beberapa orang memasuki ruangan itu, Rizal ada di antara mereka, wajahnya sedikit bebak belur, kedua tangannya masing-masing di pegang seseorang di punggungnya, lalu di paksa berlutut. Anthony melirik Rizal yang sudah berlutut dengan kedua tangannya tersandra.

Liana menatapnya, ia tahu ini tidak akan baik. Tapi Rizal membalas tatapannya dengan sorot yang seolah mengatakan agar dirinya jangan takut.

"Apa maumu?" tanya Nicky,

"Sebenarnya urusanku bukan denganmu, Nicky!" sahutnya, Nicky melotot, "tapi dengan istrimu!" tambah Anthony membuat mata Nicky kian lebar.

"Tapi..., dengan apa yang kau lakukan padaku tempo hari..., mungkin aku bisa sekalian membalasnya!" ia melangkahkan kaki beberapa langkah, "aku ingin tahu, apakah...kau..., pernah mencintai Liana!" ucapnya penuh makna, ia memiringkan kepalanya untuk bisa melihat wajah Liana yang tersembunyi di balik kepala suaminya.

"Kita lihat sayang, apakah pilihanmu benar?" katanya pada Liana, "atau..., kau memilih seorang pecundang!"

Rizal berusaha meronta, tapi ia justru merasakan sesuatu yang dingin dan runcing menempel di lehernya, ia melirik benda apa itu, sepertinya itu sebuah pisau. Iapun terpaksa harus diam, atau pisau itu bisa saja menggorok lehernya seketika dan ia tidak akan mampu melakukan apapun untuk Liana.

Beberapa orang melangkah ke arah Nicky dan Liana, Nicky semakin memundurkan tubuh Liana dengan tangannya. Dan ketika beberapa orang itu menyerbunya iapun melawan. Liana menjadi panik sendiri menyaksikan pertarungan itu, apalagi saat melihat Nicky yang mulai kewelahan menghadapi orang-orang itu yang jumlahnya lebih banyak dari yang pernah Anthony bawa tempo hari.

Tubuh Liana melonjak ketika ia merasakan ada seseorang yang berbisik di belakangnya, "ini akan menyenangkan sayang!" matanya melebar, ia berbalik tapi sayangnya orang itu justru menahan tubuhnya dengan mencengkeram kedua bahunya, menekannya agar tetap di tempatnya.

Liana meronta, Anthony langsung mendekapnya dengan melingkarkan salah satu lengannya di leher Liana lalu menarik rambutnya kencang hingga wajah Liana mendongak dan mengeluarkan jerit tertahan, "argh!"

Mendengar suara itu Nicky menoleh, Liana sudah berada di tangan Anthony, membuatnya terdiam hingga ia terkena hantaman di wajahnya hingga terpental, lalu ia mendapatkan serangan lagi, ia masih melawan meski konsentrasinya terbagi. Akibatnya ia harus menerima beberapa hantaman di beberapa bagian tubuhnya yang membuatnya tersungkur ke lantai. Menyaksikan itu, Liana mengalirkan airmata, "Nicky!" desisnya tanpa sadar.

Nicky menatap Liana yang di sandra Anthony dari lantai, ia mencoba bangkit, tapi kembali tubuhnya di tendang seseorang hingga terjerembat telentang di lantai, Liana terperangah dengan hal itu. Apalagi ketika seseorang mengangkat tubuh Nicky dan mulai melancarkan serangan lagi,

"Hentikan!" teriaknya, tapi karena Anthony belum memberi aba-aba kepada anak buahnya maka mereka masih menghajar Nicky sesuka hati. Wajah Nicky sudah cukup babak belur, ada percikan darah di pelipisnya, mulutnya, hidungnya, dan itu kian membuat airmata Liana menderas.

"Hentikan, aku mohon..., suruh mereka berhenti!" pintanya, "menghentikan mereka?" sahut Anthony setengah berbisik, "apa yang akan kau berikan padaku sebagai gantinya?"

Liana sedikit memutar kepalanya, itu cukup sulit karena tangan Anthony masih mencengkeram rambutnya dengan kuat, "aku akan lakukan apapun yang kau mau!"

"Apapun, benarkah?" tukas Anthony meyakinkan,

"Hentikan mereka!" pintanya sekali lagi, sebutir airmata menggelinding di pipinya, Anthony menatap mata indah di depannya yang terlihat sungguh-sungguh, lalu ia menoleh ke arah anak buahnya yang sedang asyik dengan mainannya.

"Cukup!" serunya dengan cukup keras, orang-orang itu seketika menghentikan aksinya. Tubuh Nicky terabaikan di lantai, ia masih berusaha bergerak meski sendi-sendinya mulai terasa remuk. Dan dua orang segera memungut tubuhnya, membawanya berdampingan dengan Rizal yang masih dalam posisi berlutut, mereka berdua memegang masing-masing lengannya dan juga memposisikan tubuh Nicky seperti Rizal. Berlutut.

Anthony melepaskan Liana dari cengkramannya, sementara Nicky dengan perlahan mengangkat kepalanya yang mulai berdenyut dan pening. Liana menatap wajahnya, terlihat sebuah alur mengalir merah dari dahi Nicky hingga ke pipinya, wajahnya cukup berantakan.

"Jangan bernostalgia terus, masalah ini tidak akan selesai hanya dengan kalian saling tatap seperti itu!" seru Anthony memecah keheningan, "ayo Liana, kau berkata akan melakukan apapun yang aku mau. Kau tidak lupa kan?" nada Anthony cukup membuat Nicky dan Rizal geram, mereka ingin meronta tapi saat ini Nicky hampir kehabisan tenaga sementara Rizal merasakan sskit karena salah satu kakinya di injak dengan keras sampai terasa ngilu.

Liana memutar kepalanya ke arah Anthony, membalas tatapannya.

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya tegas, Anthony tetap memasang senyum memuakan, "sederhana, kau hanya perlu berlutut padaku!" katanya memberitahu,

"Tidak Liana!" seru Rizal lantang,

Bukk!

Wajah Rizal menyamping oleh tinju seseorang hingga membuat ujung bibirnya pecah, membuat Liana sedikit terkejut, Liana kembali menatap Anthony. Ia sendiri yang mengatakan akan melakukan apapun yang di inginkannya, maka ia harus melakukannya.

Ia segera menjatuhkan dirinya dalam posisi berlutut menghadap Anthony, membuat kedua pria yang tersandra itu geram, bergerak untuk meronta tapi cengkraman di tubuh mereka justru mengencang. Sementara Anthony tersenyum senang, tapi ia belum puas.

"Tapi itu kurang kan, berlutut saja tidak cukup Liana. Kau harus bersujud dan mencium kakiku!" katanya, baik Liana, Nicky dan Rizal terperangah dengan keinginan Anthony. Itu sudah keterlaluan! Liana menatapnya tajam, tapi Anthony dengan santai membalas tatapan itu.

Nicky dan Rizal menatap Anthony lebih tajam lagi meski pria itu fokus menatap wajah Liana yang nampak masih tak percaya, lalu keduanya menatap Liana yang mengalihkan pandangannya ke mereka. Nicky dan Rizal menggeleng agar Liana menolak keinginan gila itu.

---Bersambung.....---

• T.B.W.O.A Trilogi ~ The Wedding (second novel)

The Wedding #Part 41| The Wedding #Prologue

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun