Â
Sebelumnya, The Wedding #Part 37
Â
"Dan kau tak berusaha mencegahku!"
"Kau hanya diam saja!"
"Aku pergi, karena kau tak bisa percaya padaku_________kau tak pernah mencintaiku!"
Nicky menambah kecepatan laju mobil itu menembus kelokan-kelokan di lintasan sirkuit, tak jauh di belakangnya Ian menyusul lalu mensejajarkan mobilnya. Keduanya saling pandang, Ian melempar senyum cibiran dengan jinjingan alis pada Nicky. Tapi kali ini Nicky tak membalas senyum cibiran itu, malah menatapnya garang lalu menambah kecepatan hingga membuat Ian tertinggal. Ian pun tak ingin kalah.
"___harusnya kau tak pernah menikahiku, kau bisa kan menolak permintaan kakek!"
Suara Liana terus mengusik benaknya, masih jelas di telinganya. Bahkan airmatanya, masih bisa ia rasakan basah di jemarinya. Dan semua itu kian membuat dadanya sakit. Liana berkata dirinya tak mencegahnya ketika wanita itu pergi meninggalkan rumah, apakah itu artinya wanita itu mengharapkan dirinya untuk melarangnya pergi?
Tapi mengingat selama berbulan-bulan wanita itu dekat dengan pria lain juga membuat hatinya sakit, terlebih....Rizal masih saja tak mau pergi dari sisi Liana. Nicky semakin geram menembus lintasan, melaju dengan kecepatan penuh. Tak peduli akibat yang akan di timbulkannya.
Setelah berhasil membujuk Liana untuk meninggalkan kamar mandi, ia menyelimuti tubuh Liana yang basah kuyup lengkap dengan pakaian yang juga basah dengan selimut tebal. Ia mendudukan Liana di ranjangnya, menyilakan rambutnya. Liana gemetaran dalam gigil.
Rizal menemukannya sedang duduk di lantai di bawah kucuran air kran, botol sabun cair sudah kosong terabaikan di lantai kamar mandi, masih terlihat bekas sisa busa di lubang pembuangan air di sudut kamar mandi itu. Liana menghabiskan sebotol penuh sabun cair untuk membersihkan tubuhnya. Dan ia terus saja menggosok tubuhnya dengan tangan dengan pakaian yang masih menempel lengkap. Airmatanya bercambur dengan air yang mengguyur tubuhnya, entah sudah berapa lama wanita itu melakukannya?
Saat Rizal menyentuhnya ia menjerit-jerit, memintanya untuk tak menyentuhnya. Tapi bukan Rizal namanya kalau tak mampu membujuk Liana.
"Kau mau menceritakan padaku apa yang terjadi?" pintanya hati-hati. Liana sesenggukan, "Liana,"
"Dia tidak mencintaiku," desisnya. Rizal tertegun, tapi ia tahu siapa yang Liana maksud, "Dia tak pernah mencintaiku!" tambahnya,
"Liana!"
"Harusnya aku tak bermimpi untuk mengharap cintanya....," buliran bening kembali mengalir dari celah matanya. Menganak sungai, ia kembali ingat semua ucapan Nicky, dan tangisnya makin menjadi.
"Liana, apa yang Nicky lakukan?" tanya Rizal. Liana tak menjawab, hanya menangis, "dia menyakitimu lagi, kali ini apa yang di lakukannya. Katakan padaku?" seru Rizal setengah berteriak. Liana hanya masih saja menangis, tubuhnya dingin sekali seperti es. Lalu ia mengangkat pandangannya perlahan ke wajah Rizal dan gigilnya yang membuat giginya bergemeretak, bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi ia malah ambruk begitu saja ke depan. Rizal segera menangkapnya.
Nicky masih kebut-kebutan dengan Ian di sirkuit, dalam beberapa detik terakhir ia selalu berada di depan dan temannya tak sanggup mendahuluinya. Iapun menembus garis finish setelah memacu adrenalinnya selama lima putaran di lintasan itu, lalu ia melakukan dirft selama beberapa kali putaran di depan garis finish yang di mata Ian temannya itu sedang pamer, padahal sih....sedang melampiaskan amarahnya.
Setelah mobil itu berhenti, Nicky masih diam mengontrol emosinya di balik kemudi. Sementara Ian sedang menatapi lingkaran yang terbentuk oleh roda mobil yang di kendarai Nicky, sungguh sempurna. Harusnya Nicky menggeluti motorgp saja, bukan mengurusi bisnis. Lalu ia menghampiri temannya, berdiri di samping mobil, merunduk dan mengetuk kaca di samping Nicky duduk. Nicky menurunkan kacanya, kali ini mereka tak mengenakan helm.
"Itu hebat kawan, kau sedang mengamuk ya?" cibirnya, Nicky hanya mendengus. "di lihat dari tingkah lakumu, sepertinya kau sedang bermasalah dengan istrimu!"
Nicky masih juga tak menjawab.
"Kita sudah lama berteman, tapi kau tak mau terbuka masalah pribadimu. Bahkan, kau juga tak mengundangku ke acara pernikahanmu, itu kejam sekali!" dengusnya.
"Kau sedang di Jerman, mengundangmu pun tak ada gunanya!"
"Tapi jika jadwalnya tidak terbentur tentu aku akan datang!"
Kediaman lama tercipta. Ian tahu Nicky akan berbicara meski hanya sedikit.
"Banyak hal terjadi, mungkin kau sudah mendengar tentang siapa gadis yang ku nikahi!" katanya memecah keheningan, "rumah tangga kami.....fufffff.....," ia menggeleng pelan, "entahlah.....!" lalu ia menoleh sahabatnya, "mungkin suatu saat aku akan cerita, mungkin.....jika keadaannya sudah membaik!" jika saat ini Brian yang ada di sampingnya ia pasti akan menceritakan tentang apa yang baru saja ia lakukan terhadap Liana, dan ia juga pasti akan di maki-maki oleh Brian. Ian membalas tatapan itu, ia mengerti apa maksud temannya meski ia tak tahu apa masalahnya.
* * *
Ivana mondar-mandir di ruang tamu karena tak tahu Nicky ada dimana, kata Mela Nicky keluar kantor sebelum jam makan siang dan hpnya memang tak bisa di hubungi. Ia ingin menghubungi Rizal dan bertanya bagaimana keadaan Liana tapi ia sendiri tak punya nomornya, sekarang ia hanya bisa menunggu Nicky pulang dan menjelaskan semuanya. Tapi malam sudah menjelang, dan pria itu tak kunjung menginjakan kaki ke rumah.
Rizal menatap Liana yang duduk di ranjangnya, bersandar, memeluk kakinya. Tadi ia harus meminta tolong kepada Bu rt untuk mengganti pakaian Liana, dokter sudah memeriksanya. Liana mengalami shok berat, bahkan mungkin....traumanya bisa menghujamnya kembali kalau jika keadaan ini berkepanjangan. Saat ini kondisi sikisnya cukup down.
Perlahan kepala Liana bergerak, mengamati ke sekelilingnya, seperti ketakutan, lalu tangannya mengusap bibirnya. Seperti sedang menghilangkan sesuatu dari sana secara kasar, lalu wajahnya. Lehernya. Tubuhnya. Rizal mulai kuatir melihatnya. Apalagi saat Liana meloncat keluar daei ranjang dan mulai berlari, arah larinya adalah ke kamar mandi. Rizal langsung berlari pula lebih cepat, ia tahu Liana pasti akan melakukan hal yang sama yang tadi di lakukannya. Ia menangkap tubuh wanita itu dengan gesit.
"Kau mau kemana?"
"Lepaskan aku, pergi. Jangan sentuh aku!" rontanya spontan, "Liana sadar!" seru Rizal. Tapi Liana terus saja meronta, "lepaskan aku, Jal. Aku harus mandi, aku harus membersihkan tubuhku!"
"Liana!"
"Aku tidak mau Nicky memandangku seperti itu lagi, lepaskan!"
"Liana!"
"Lepaskan aku, minggir!"
Plak!
Seketika Liana terdiam saat wajahnya harus terlempar ke samping. Nafasnya tak beraturan, begitu pun Rizal. Rizal memandangnya dalam amarah, "sampai kapan kau akan seperti ini, ha. Sampai kapan?" teriaknya, "kau mau membiarkan mereka menang, orang-orang yang menyakitimu. Berhentilah seperti ini, Liana!"
Sebulir airmata menetes kembali di pipinya, perlahan ia menatap Rizal. Lekat.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanyanya, "suamiku sendiri, memandangku seperti sampah!" lanjutnya. Rizal terhenyak, apa yang Nicky katakan kali ini?
"Aku tahu aku kotor____tapi apakah perlu..., dia memperlakukanku seperti pelacur jalanan?" perihnya, "aku rasa....aku mulai membencinya!" akunya. Rizal diam menatapnya, mendengar itu hatinya jauh lebih pedih.
"Hingga pagi tadi....aku masih tak menyesal bertemu dengannya. Tapi sekarang...., mungkin....aku mulai....!"
"Jangan katakan itu!" potong Rizal, "mungkin Nicky hanya salah paham!" katanya, meski ia juga menyimpan rasa benci di sudut hatinya untuk Nicky tapi ia tahu, Liana hanya bisa bahagia bersama pria itu, ia pernah melihatnya ketika hubungan Liana dan Nicky membaik. Saat mereka terlihat mesra, meski hanya sebentar, tapi ia melihat pendar-pendar kebahagiaan yang tak pernah Liana miliki sebelumnya di mata wanita itu.
"Aku akan bicara padanya!" katanya berbalik dan melangkah, "kau tidak akan menemuinya, Jal!" cegah Liana menghentikan langkahnya, "kau tidak akan pergi kemanapun dan meninggalkan aku sendirian lagi!" tambahnya. Rizal tercengang, "terakhir kali kau pergi, Nicky datang. Apa kau tahu apa yang di lakukannya padaku?" teriaknya. Rizal menoleh perlahan.
"Sekarang kau ingin pergi lagi, lalu siapa lagi yang akan datang? Anthony, Valent, kau akan membiarkan mereka menghancurkanku? Ha!__ kalau begitu silahkan pergi, pergilah. Pergi sekalian dari hidupku, aku juga sudah tidak peduli lagi apa yang akan terjadi padaku!" teriaknya. Nafasnya kian tak beraturan, Rizal terhenyak. Liana benar, saat dirinya pergi Nicky mendatanginya dan membuatnya seperti ini, bagaimana jika Anthony ataupun Valent datang, pasti akan jauh lebih buruk. Dan ia tak mau itu terjadi.
Liana menjatuhkan dirinya di lantai, terduduk di sana dengan lemas. Perlahan Rizal menghampirinya dan bersimpuh juga, menatap Liana.
"Aku sudah lelah, aku lelah dengan semua ini!" ungkap Liana, Rizal menggeleng, "tidak, kau tidak boleh menyerah!" larang Rizal, ia memungut wajah Liana untuk menatapnya, "kau adalah wanita yang kuat, kau harus tetap berjuang. Kau tahu, masih ada yang peduli padamu, aku, dan mungkin....orang-orang di luar sana yang sempat mengenalmu. Jika kau pikir kau tak mampu berjuang untuk dirimu sendiri, maka berjuanglah.... demi orang-orang yang pernah memeperjuangkanmu. Kanjeng Ibumu....," dorong Rizal, Liana sedikit terhenyak, "eyangmu, dan tuan Willy, mereka adalah orang-orang yang tulus mencintaimu....berjuanglah demi cinta mereka!"
Buliran bening mengalir lagi, kian menderas.
"Kau tidak akan menyerah, Liana. Tidak akan pernah!"
* * *
Ivana yang sedang memeluk Nino di tempat tidur harus bangkit ketika mendengar suara gerbang depan terbuka, itu pasti Nicky! Maka iapun bergegas keluar dari kamar.
Dan benar, itu memang Nicky. Siapa lagi!
Ivana mencegatnya ketika pria itu menuju kamarnya, "Nicky, aku ingin bicara!" serunya, Nicky menghentikan langkah karena wanita itu ada di depannya menghalanginya.
"Aku lelah!"
"Ini penting sekali, aku perlu bicara berdua denganmu. Dan setelah itu....aku akan pergi!"
______________
Liana kembali duduk bersandar di ranjangnya, Rizal sudah membujuknya untuk makan tapi wanita itu tak mau membuka mulutnya. Bahkan sejak pembicaraan mereka tadi, Liana belum mengucap sepatah katapun. Ia malah menyelimuti seluruh tubuhnya hingga yang terlihat hanya kepalanya saja, duduk meringkuk. Mungkin jika orang lain yang melihatnya, mereka akan mengira wanita itu gila.
Nicky berdiri bersandar meja kerjanya, satu meter di hadapannya Ivana berdiri menatapnya dengan kilatan rasa bersalah di manik matanya.
"Katakan, ini sudah larut!" suruh Nicky datar. Ivana diam karena ia tak tahu darimana ia harus memulai, jadi.....
"Malam itu.....saat kita bertemu di kapal Andrew__ sebenarnya....memang tak terjadi apa-apa di antara kita. Kau mabuk berat, jadi kupikir...kenapa tidak ku manfaatkan kesempatan itu untuk kembali masuk dalam kehidupanmu. Meski kau ragu..., tapi aku berhasil membuatmu bimbang!" ia terdiam sejenak, "lalu aku membawa Nino ke rumah ini, aku datang....memang untuk menyingkirkan Liana dari hidupmu!"
Nicky sedikit melebarkan mata.
"Karena dia yang membuatku tersingkir darimu," mata Ivana menyembab, Nicky tak menampakan reaksi apapun, "karena Liana sangat dekat dengan Rizal, maka aku memanfaatkan itu. Termasuk malam itu, aku menaruh obat tidur di dalam teh Liana. Lalu saat Rizal membawanya ke kamar aku memukulnya hingga pingsan. Dan...." Nicky mulai tegang, "dan hasilnya seperti yang kau lihat. Itu....itu adalah rekayasaku, Liana tak pernah berselingkuh dengan Rizal!" kini, Nicky menggerutu dengan pengakuan Ivana.
"Saat Nino jatuh, aku juga memanfaatkan itu untuk menyalahkannya. Meski aku tahu, Liana cukup menyayangi Nino, bahkan memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Tapi.....setelah lama Liana pergi pun, aku tak mampu merebut hatimu. Kau tetap saja memikirkannya, kau berubah menjadi lebih dingin sejak dia pergi. Hanya saat bersama Nino kau menghangat!" Ivana mengakui itu. Â
"Tapi, ada yang harus kau tahu!" katanya lagi, Nicky melekatkan tatapannya, "Nino.... Nino bukan anakmu!" akunya, mata Nicky melebar.
"Maafkan aku!" ucap Ivana,
"Apa?"
"Nino bukan darah dagingmu!" ulang Ivana. Nicky jadi sedikit terhuyung, Ivana berkata kalau Nino bukan darah dagingnya, bagaimana bisa? Ia sudah cukup menyayangi anak itu. Dan di lihat dari usianya, itu mungkin saja kan?
"Nino bukan anakku?"
"Malam itu saat aku marah pada kakek, aku pergi ke sebuah klub malam. Di sana aku bertemu dengan Phillip, kami minum bersama sampai berlanjut ke ranjang. Dan hubungan kami pun berlanjut__tiga bulan menjalin hubungan dengannya, aku hamil. Jadi kami menikah di Paris, kami tinggal di sana. Sayangnya, saat usia Nino baru lima bulan, Phillip harus meninggal karena kecelakaan mobil. Ku pikir....aku bisa menjadi single parret untuk Nino, dan saat kembali ke Indonesia dan bertemu denganmu. Aku tahu aku masih mencintaimu. Dan kau adalah ayah yang sempurna untuk Nino!"
"Jadi kau gunakan Nino untuk menghancurkan pernikahanku?"
"Maafkan aku!"
"Tapi kau berikan namaku padanya!"
"Ku berikan namamu padanya bukan karena kau adalah ayahnya, tapi karena kau adalah satu-satunya pria yang benar-benar aku cintai!"
"Kau tahu, kau bukan hanya mempermainkan perasaanku, tapi kau juga mempermainkan perasaan anakmu sendiri. Ibu macam apa kau?"
"Aku tahu itu, tapi Nino masih sangat kecil. Akan lebih mudah baginya untuk melupakan semua ini!"
Nicky membuang muka, "kau sudah selesai kan?" katanya, seperti sebuah usiran, "ada satu hal lagi, aku minta maaf karena tidak segera memberitahukanmu tempo hari!" airmatanya mengalir, Nicky harus mengembalikan pandangannya ke wanita itu karena sepertinya hal yang akan di katakannya cukup penting.
"Sore itu..., saat aku mengikuti Liana pulang. Aku melihatnya di culik beberapa orang!" akunya, Nicky melebarkan mata, menjadikan tatapannya semakin tajam.Â
"Aku mengikutinya sampai mendapatkan sebuah alamat rumah, lalu aku pergi!"
"Kau melihatnya di culik?"
Ivana mengangguk, "iya, saat itu....aku tidak mau kau mengetahuinya karena aku takut hubungan kalian akan membaik. Jadi....jadi aku mencari Rizal saja!"
"Kapan?"
"Kemarin!"
"Kemarin?"
"Tadi....., Rizal masuk ke mobilku saat aku pulang dari rumah sakit. Dia menyandra Nino, mengancam akan membunuhnya. Dia pikir aku terlibat penculikan itu, aku....aku tidak tahu apa yang di lakukan Anthony pada Liana. Tapi hal itu....membuat Rizal sangat marah!"
"Anthony?" desis Nicky seolah tak percaya, "Rizal bilang Anthony yang menculik Liana, entah apa yang di lakukannya, tapi....tapi foto yang ada di meja kerjamu itu.....itu membuktikan, bahwa Anthony telah melakukan hal yang sangat buruk terhadap Liana!" ungkapnya lagi. Ia sendiri tak bisa membayangkan apa yang sebenarnya terjadi pada Liana. Tapi sebagai wanita ia seperti tahu hal apa itu.
Nicky membalikan tubuhnya, menaruh kedua tangannya di meja. Menatap foto-foto yang sudah tertumpuk rapi di sudut mejanya, foto Liana di pelukan Rizal dengan baju setengah terbuka.
"Aku rasa....foto itu di ambil saat Rizal menyelamatkannya!" airmata Ivana meleleh deras, "maafkan aku Nicky, harusnya aku memberitahumu saat ku tahu Liana di culik!"
"Keluar!" usirnya, "Nicky!" panggilnya lagi.
"Keluarrrrr!" teriaknya lantang membuat tubuh Ivana terlonjak, punggung pria itu naik turun. Ivana tahu memang harusnya ia memberitahu Nicky saat itu juga bukan Rizal, mungkin Nickylah yang akan menyelamatkan Liana.
"Maafkan aku!" ucapkan sekali lagi lalu meninggalkan ruangan itu. Ia menutup kembali pintunya rapat.
Nicky mengepalkan tinjunya di atas meja dengan geram,
"Aku pergi, karena kau tak bisa percaya padaku_____harusnya kau tak perlu menikahiku____aku masih bisa hidup tanpa namamu!"
Ucapan-ucapan Liana kembali menghantam benaknya. Ia juga ingat tatapan wanita itu ketika dirinya mengucapkan kalimat yang tidak pantas padanya, kalimat yang hanya pantas ia lontarkan untuk para pelacur. Liana tak mengucap apapun kecuali satu kata usiran dan pergi ke kamar. Tapi wanita itu menemuinya seolah tak pernah terjadi hal buruk padanya, padahal dia telah mengalami, mungkin....begitu banyak hal buruk tanpa sepengetahuannya. Dan hanya Rizal, hanya Rizal....yang menjadi pelindungnya. Bukan dirinya.
"Bahkan mungkin, kau tak pernah mencintaiku. Kau tak pernah mencintaiku!"
Sekali lagi kalimat itu muncul dan begitu menusuk dadanya, setitik buliran bening mengalir di pipinya dan jatuh ke meja. Rasanya begitu sakit mengetahui kebodohannya sendiri.
"Arghhhh...., harghhhhh!" teriaknya menyambar semua barang di atas mejanya hingga berhamburan. Terdengar bunyi gaduh jadinya, ia juga melempar kursi di sampingnya hingga terbalik. Nafasnya begitu tak beraturan, pipinya basah. Lalu tangisnya pecah seiring ia membiarkan dirinya jatuh bersimpuh di lantai.
Ia bisa merasakan ketakutan dalam ciuman Liana tadi siang, ya, ia bisa merasakannya sekarang. Itu bukan sebuah nafsu, bukan sekedar gairah seksual, tapi sebuah gairah permohonan. Permohonan perlindungan yang tak mampu ia baca, wanita itu membutuhkannya. Membutuhkan perlindungannya, tapi apa yang telah ia lakukan? Ia telah di butakan oleh rasa cemburu, ia bahkan telah melecehkan istrinya sendiri seperti wanita murahan. Dan sekarang.....
Apa yang harus di lakukannya?
Meminta maaf?
Apakah Liana sudi untuk memaafkannya?
Â
---Bersambung.....---
• T.B.W.O.A Trilogi ~ The Wedding (second novel)
 The Wedding #Part 39 | The Wedding #Prologue
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H