"Liana!"
"Aku tidak mau Nicky memandangku seperti itu lagi, lepaskan!"
"Liana!"
"Lepaskan aku, minggir!"
Plak!
Seketika Liana terdiam saat wajahnya harus terlempar ke samping. Nafasnya tak beraturan, begitu pun Rizal. Rizal memandangnya dalam amarah, "sampai kapan kau akan seperti ini, ha. Sampai kapan?" teriaknya, "kau mau membiarkan mereka menang, orang-orang yang menyakitimu. Berhentilah seperti ini, Liana!"
Sebulir airmata menetes kembali di pipinya, perlahan ia menatap Rizal. Lekat.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanyanya, "suamiku sendiri, memandangku seperti sampah!" lanjutnya. Rizal terhenyak, apa yang Nicky katakan kali ini?
"Aku tahu aku kotor____tapi apakah perlu..., dia memperlakukanku seperti pelacur jalanan?" perihnya, "aku rasa....aku mulai membencinya!" akunya. Rizal diam menatapnya, mendengar itu hatinya jauh lebih pedih.
"Hingga pagi tadi....aku masih tak menyesal bertemu dengannya. Tapi sekarang...., mungkin....aku mulai....!"
"Jangan katakan itu!" potong Rizal, "mungkin Nicky hanya salah paham!" katanya, meski ia juga menyimpan rasa benci di sudut hatinya untuk Nicky tapi ia tahu, Liana hanya bisa bahagia bersama pria itu, ia pernah melihatnya ketika hubungan Liana dan Nicky membaik. Saat mereka terlihat mesra, meski hanya sebentar, tapi ia melihat pendar-pendar kebahagiaan yang tak pernah Liana miliki sebelumnya di mata wanita itu.