Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

The Broken Wings of Angel ~ The Wedding #Part 36

3 Februari 2016   22:11 Diperbarui: 16 Februari 2016   01:52 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sebelumnya, The Wedding #Part 35

 

"Mau apa kalian?" panik Liana ketika orang-orang itu mendekatinya, ia bangkit untuk lari tapi salah satu dari mereka meraih lengannya dan menghempaskannya ke sofa. Belum sempat ia bergerak orang itu sudah menarik tangannya, ia pun meronta, menampik, mengibas, menendang, ketika ke empat yang lainnya ikut menyerbunya.

"Jangan..., lepaskan, lepaskan aku, arghhh....,pergi!" teriaknya, tapi orang-orang itu malah tertawa kesenangan sementara Liana terus saja meronta, "arghh..!" serunya ketika ia merasakan ada bagian bajunya yang koyak, "tidak, jangan...jangan sentuh aku, argh...lepaskan..., argh....tidak...!" tangisnya, airmatanya sudah membajiri pipi dan lehernya. Sementara Anthony asyik merekam adegan itu dengan handycam di tangannya seraya tersenyum puas.

Liana masih meronta sekuat tenaga meski ia tahu ia tidak akan mampu melawan mereka semua, tapi ia akan lebih memilih mati daripada harus menyerah dengan perlakuan mereka.

"Biadab!"

Suara lantang itu membuat suasana hening seketika, semua mata mengarah ke arah sumber suara kecuali Liana yang langsung beringsut meringkukan diri, mendekap dirinya sendiri dalam sedu sedannya. Mata Rizal tajam menatap ke arah kerumunan lima orang di sofa, lalu beralih ke Anthony yang masih memegang handycam di tangannya. Tanpa ada kata lagi Rizal langsung saja menerjang Anthony, menghadiahinya sebuah tinju di wajahnya hingga terpental dan membuat handycamnya terlepas.

Sontak lima orang itupun berhambur meninggalkan Liana untuk membantu bosnya tapi dua orang lain menghadang dan langsung menyernagnya, itu Panjul dan Rino yang Rizal ajak. Terjadi baku hantam di ruangan itu hingga membuat tempat itu berantakan, vas yang pecah, meja terbalik dan lain-lain.

Akhirnya Rizal berhasil membuat Anthony tergeletak di lantai, ia di atasnya, bersiap melancarkan serangan ketika seseorang menarik tubuhnya, meninjunya hingga terantuk tembok. Kesempatan itu di manfaatkan Anthony untuk melarikan diri, sementara Rizal menghadapi Heru, pria yang menariknya tadi yang merupakan ketua dari empat orang lainnya yang masih baku hantam dengan Panjul dan Rino.

Liana sendiri sudah tak mampu memperhatikan apapun selain meringkuk ketakutan, ia pernah mengalaminya dulu. Hanya satu orang, dan itu sudah cukup menyisakan luka yang sulit untuk ia tepiskan. Lalu sekarang, jika ia harus mengalaminya akibat beberapa orang, entah apa jadinya dirinya.

Sepertinya akan sedikit lama Rizal meringkus kelima orang itu sementara ia harus segera menenangkan Liana, apalagi ia tak sempat menghubungi polisi dalam perjalanan kemari setelah di beritahu Ivana karena terlalu panik dan mencemaskan Liana. Tapi ia juga tak bisa membiarkan pertarungan ini terus berlanjut terlalu lama, maka setelah ia berhasil menghempaskan Heru ke lantai ia pun berseru,

"Kalian tidak akan lolos, polisi sedang dalam perjalanan!" hardiknya, Heru terlihat cukup panik. Mendengar kata polisi ke empat lainnya ikut diam, saling pandang lalu mereka berhamburan mencoba melarikan diri. Panjul dan Rino hendak mengejar tapi Rizal melarang.

"Biarkan saja!"

"Tapi Jal, kentang nih!" protes Rino, Rizal melirik ke pintu keluar, sepertinya mereka sudah keluar dari rumah itu, "biarin aja, lagian gue juga bohong soal polisinya!" sahutnya. Rino dan Panjul akhirnya menurut, Rizal menoleh ke arah suara isakan lembut di atas sofa sementara kedua temannya memalingkan muka. Saat itulah Rino melihat sebuah handycam yang masih menyala di lantai, iapun menghampiri dan memungutnya, melihat isinya.

Rizal menghampiri Liana, keadaannya cukup mengenaskan. Rambutnya berantakan, beberapa sisi pakaiannya koyak, bahkan bagian atas bajunya setengah terbuka dan tak mungkin lagi bisa menutupi. Liana menyembunyikan wajahnya di antara tangan dan lututnya yang menyatu, bergerak-gerak kecil karena sedunya.

Refleks, Rizalpun merangkakan tangannya untuk menggapai tubuhnya tapi Liana malah tersentak kaget lalu menjerit sambil menampik-nampik tangan Rizal, "arghh..., jangan, argh....pergi, jangan...jangan sentuh aku, pergi!" teriaknya. Rizal tersentak juga tapi ia tak terlalu terkejut dengan reaksi Liana yang seperti itu. Meski begitu ia tetap mencoba meraih pundak Liana di antara penolakannya, "ini aku, Rizal!" desisnya.

Tapi Liana masih belum bisa tenang, ia masih menolak dan menjerit ketakutan, membuat Rizal terpaksa berteriak ketika berhasil meraih bahunya, "ini aku, Rizal!" teriakan Rizal membuat Liana terdiam seketika, nafasnya tak beraturan, wajah dan lehernya basah, ia sesenggukan.

"Ini aku, Rizal. Rizal!" kata Rizal melembut dengan bibir bergetar, mencoba meyakinkan Liana. Perlahan Liana mengamati wajah di depannya, memastikan apakah itu benar Rizal!

"Ri-zal!" desisnya terbata,

"Ya, Rizal!" sahut Rizal sekali lagi sambil mengangguk, bibir Liana juga bergetar saat mengulang nama itu, "Rizal...!" Rizal kembali mengangguk. Perlahan tangis Liana kembali pecah bersamaan dengan merebahnya dirinya ke tubuh pria itu, Rizal sedikit terkejut ketika Liana memeluknya, tapi ia membalas pelukan itu. Ia memeluknya sebaik mungkin agar Liana merasa aman,

"Tak apa-apa, mereka sudah pergi!" desis Rizal menghibur, setitik airmata jatuh dari pelupuknya ketika Liana mengetatkan pelukannya. Meminta perlindungannya, hatinya begitu pedih dengan keadaan wanita itu saat ini, tapi ia tetap bersyukur karena bisa datang tak terlalu lama. Karena jika ia terlambat beberapa menit saja, entah apa yang akan terjadi pada Liana, mungkin...hal yang jauh lebih buruk bisa di alami Liana, hal yang akan menghancurkannya sekali lagi.

Liana membiarkan dirinya menangis di pelukan Rizal, pria yang sejak kecil setia padanya, selalu menyelamatkannya, yang juga telah ia lukai hatinya. Ia tahu ia sedang memeluk siapa, tapi saat ini ia butuh seseorang, meski sebenarnya ia berharap yang sedang ia peluk adalah Nicky.

Tapi saat ini, entah kenapa ia bahkan tak bisa membayangkan wajah Nicky di benaknya, itu membuatnya pening lalu tak sadarkan diri. Rizal terkejut karena merasakan tubuh Liana terkulai.

"Liana!"

* * *

"Apa?" seru pria itu mendengar laporan dari orang suruhannya, ia segera berdiri dari duduknya, mendengarkan kembali lanjutannya, "lalu?"

.....  

"Rizal?"

.....

"Ok, aku ingin kau terus mengawasi mereka. Juga Anthony, jika dia berbuat ulah lagi, segera laporkan!"

.....

"Apa itu?"

.....

Lalu pria itu menurunkan handphonenya, diam beberapa saat sambil menggerutu dalam amarah, lalu terdengar bunyi bib tanda sebuah pesan masuk. Ia pun segera membuka folder pesan yang di kirimkan oleh orang suruhannya tersebut, sejenak ia terkejut melihat apa isi pesannya, tapi sesaat kemudian ia tersenyum penuh arti.

Ivana sedang menina bobokan Nino di pangkuannya di ruang tengah ketika Nicky memasuki rumah, suara langkah kakinya membait wanita itu menoleh. Nicky menoleh juga kearahnya tanpa menghentikan langkah. Ivana membuka mulutnya tapi tak terlahir sepatahpun kata, karena Nicky pun terlihat dingin dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Bahkan terlihat sedang banyak pikiran, iapun harus mengatupkan mulutnya kembali. Tapi jujur, ia sangat cemas dengan apa yang terjadi dengan Liana. Saat ini ia masih menerka siapa yang menculik Liana, ia juga takut apa yang akan terjadi lagi pada wanita itu. Dua tahun lalu saat Liana di culik, wanita itu mengalami trauma berat akibat perbuatan Rey.

Meski ia sempat membenci Liana, tapi sebagai sesama wanita tentu saja ia kuatir saat mengetahui Liana di culik, apalagi ia tahu dimana tempatnya. Tapi semoga saja Rizal berhasil membawa Liana keluar dari tempat itu dengan selamat.

"Damn! Brengsek!" umpat Anthony menendang sebuah kursi hingga terpental mengenai vas dan membuatnya pecah berantakan di apartemennya, kelima anak buahnya berdiri diam berjejer tak jauh darinya, saling lirik.

"Bagaimana mereka bisa masuk?" kesalnya meletakan tangannya di pinggang, nafasnya memburu, "maaf bos, sepertinya....kami lupa mengunci pintu depan!" seru Heru tetap menunduk.

"Lupa?" desis Anthony, lalu berbalik, "apakah aku membayar kalian untuk jadi pikun, hah!" lantangnya, mereka diam, tak herussha mengucap maaf karena kata maaf tidak akan berguna saat ini, justru akan membuat bosnya kian murka.

"Dan bagaimana mereka tahu tempat itu, apakah di antara kalian ada yang berkhianat?"

Tak ada yang menjawab,

"Katakan?" teriaknya, "bos, kami tidak mungkin berkhianat, bos tahu itu!" sahut Heru, "mungkin....ada yang melihat dan mengikuti kami bos!"

"Dan kalian biarkan hal seperti itu terjadi? Kalian memang tidak berguna!" umpatnya lagi, Anthony kembali membalika tubuhnya, rencananya gagal, sekarang Liana sudah tahu siapa dirinya, dan apa maksudnya. Tapi ia tetap akan membalas rasa sakit yang sudah berkarat di dasar hatinya.

* * *

Liana sudah tertidur lagi, Rizal sempat memanggil dokter saat Liana pingsan, untungnya ia tak mendapatkan luka serius di tubuhnya, hanya....mungkin luka lama di dalam jiwanya kini kembali mulai terbuka. Dan itu pasti akan membuatnya seperti dulu. Meski orang-orang tak bermoral itu belum berhasil melaksakan niatnya, tapi perbuatan mereka sudah cukup mengingatkan Liana pada masalalu yang sedang di cobanya untuk di kubur dalam-dalam.

Saat sadar Liana sempat berkata bahwa Anthony adalah anak lelaki yang sempat melamarnya sewaktu kecil dulu dan telah ia tolak begitu saja. Pantas saja ia merasa tidak asing dengan nama pria itu, juga sorot matanya. Ia bersumpah ia akan membunuh pria itu jika ia bertemu lagi dengannya.  

Sekali lagi ia menatap wajah lelap Liana di ranjangnya sebelum menutup pintu kamar itu, tapi ia sengaja tak menutupnya dengan rapat agar mudah jika wanita itu membutuhkannya. Lalu ia menghampiri single sofa yang usang, mendudukan diri di sana. Ia akan berjaga malam, setelah kegagalannya ia yakin Anthony pasti akan kembali meski ia tahu tidak untuk saat ini karena pria itu pasti butuh rencana. Tapi rupanya kian malam melarut, matanya tak mau kompromi. Rasa kantuk tetap saja menyerangnya, membuat harus melawan rasa itu sekuat tenaga, tapi akhirnya iapun memejamkan mata juga dan harus mengalah pada rasa lelah yang terus menggodanya.

Liana membuka mata ketika kicau merdu burung menyongsong fajar, ia menyapukan pandangannya ke seisi ruangan dan ia sendirian, Rizal tak ada di sana padahal ia sudah memintanya untuk tak meninggalkan dirinya. Ia pun menyibak selimut dan meluncur dari ranjang, dengan sedikit bergegas ia keluar kamar. Langkahnya terhenti setelah menembus pintu, matanya menemukan sesosok tubuh yang lelap di sofa, rupanya Rizal tidur di sana! Ia sudah takut kalau Rizal meninggalkannya di rumah sendirian, lalu bagaimana kalau Anthony datang? Pria itu kan sudah sering datang ke rumah ini.

Perlahan ia mendekat, terdengar dengkuran halus yang keluar dari tenggorokan Rizal. Pasti dia lelah sekali, setelah bertarung dengan orang-orang itu untuk menyelamatkannya pria itu masih harus mengurusnya, lalu berjaga sampai ketiduran seperti itu. Ia menatap lekat wajah Rizal, wajah ganteng ala-ala orang jawa yang terlihat manis, Rizal memang tak setinggi Nicky tapi dia juga tak kalah jauh soal wajah. Dan yang paling penting....adalah hatinya, Rizal memiliki hati yang tulus yang tak bisa di bandingkan dengan siapapun yang pernah ia kenal.

Sampai detik ini, bahkan pria itu masih setia di sisinya, menjaganya, melindunginya. Iapun tersenyum lalu berjalan ke dapur, membuat kopi atau teh hangat mungkin bisa menghangatkan pagi.

Mendengar suara berisik di dapur membuat Rizal terjaga, ia membuka mata, mengusapnya lalu menyisir tempat itu hingga pandagannya tertumpu ke dapur. Terlihat Liana baru saja menyalakan kompor, iapun berjalan ke sana dengan masih sedikit lemas dsn sayu.

"Liana, apa yang kau lakukan?"

Liana menoleh dengan suara itu, "ouh, kau sudah bangun!" sahutnya, Rizal mendekat, "Apa yang kau lakukan, kau masih harus istirahat!"

"Kau tahu aku tak bisa diam saja, Jal. Itu membuatku...., kau tahu....suara-suara mereka....., aku masih bisa mendengarnya, Jal!" kepanikannya mulai kembali menyerang, matanya kembali merah.

"Liana, itu sudah berlalu. Kau harus melupakannya, hanya itu yang perlu kau lakukan!"

"Melupakannya? Itu....itu....,"

"Dengar," Rizal memungut bahunya, "selama aku masih hidup, aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi lagi padamu," janjinya, "sekarang lebih baik kau istirahat, aku tidak mau kau sakit!" suruhnya,

* * *

Nicky memasuki ruang kerjanya untuk mengambil tasnya, tapi matanya malah menangkap sebuah amplop coklat di atas mejanya,

Kenapa pagi-pagi begini sudah ada surat?

Iapun memungut amplop itu, "Nicholas A. Harris" ada namanya yang tertera sebagai yang tertuju, tapi tak ada nama pengirimnya, iapun langsung membuka dan merogoh isinya. Begitu menyentuh isinya ia tahu kalau itu adalah lembaran foto, dan kali ini lebih dari satu. Ia tahu itu pasti surat ancaman lagi, iapun menarik foto-foto itu keluar.

Begitu isi foto itu terlihat matanya melebar seketika, ia pun melihat semua foto itu satu persatu. Dan semuanya sungguh membuat darahnya mendidih, kilatan amarah menyembul begitu saja di kolam matanya. Ia biarkan foto itu terjatuh dari tangannya, tubuhnya sedikit terhuyung. Ia sungguh tak mempercayai ini, ini sudah keterlaluan!

Iapun menyambar tasnya dan bergegas keluar dari ruangan kerjanya dengan amarah yang memuncak sampai ke ubun-ubunnya.

 

---Bersambung.....---

• T.B.W.O.A ~ The Wedding (second novel)

The Wedding #Part 37 | The Wedding #Prologue

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun