Sebelumnya, The Wedding #Part 34
"Ada apa, Nicky?" tanya Mela, Nicky masih diam terpaku menatap foto istrinya meski ia mendengar pertanyaan Mela. Ia benar-benar merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya,
"Nicky, aku mendengar tentang keberadaan Liana di sebuah warung kopi. Tapi karena belum yakin jadi kami ingin memastikan dulu, saat ini Daren sedang pergi kesana!" seru Mela, Nicky menolehnya perlahan tanpa suara.
Melihat tanggapan Nicky yang hanya seperti itu Mela bisa membaca kalau Nicky pernah bertemu dengan Liana, "Nicky!" suaranya pelan, "jika saat ini kau merasa ada sesuatu yang meresahkan hatimu, ada baiknya....kau pergi menemuinya. Siapa tahu saat ini Liana sedang membutuhkanmu!" sarannya.
Nicky malah memalingkan muka dan menaruh frame itu di meja, membuat Mela terkejut. Wanita itu tahu bossnya tidak akan beranjak dari kursinya, "maaf, jika aku ikut campur. Aku tidak bermaksud begitu. Tapi biasanya.....firasat yang kita rasakan terhadap orang yang kita cintai itu cukup kuat!" tukasnya, "aku tahu kau mencintainya, Nicky. Kau tidak bisa terus bersembunyi di balik egomu!" karena Nicky masih diam, maka Mela menaruh map di tangannya ke meja.
"Mungkin kau butuh waktu untuk berfikir!" katanya lalu beranjak keluar, sesampainya menembus pintu ia segera memungut hpnya dan menghubungi Daren. Tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendengar suara suaminya,
"Hai honey, you've got something?"
"Macet!"
Sementara Mela berbicara di telepon dengan Daren, Nicky masih bimbang dengan firasatnya sendiri dan juga saran Mela. Lalu Ivana terus mengikuti mobil yang membawa Liana. Karena di halau oleh kemacetan ia harus menghafal nomor polisi mobil itu agar mudah menemukannya kembali, dan berhasil. Ketika mereka memasuki jalanan yang mulai lengang ia semakin menjaga jarak agar tak ketahuan, tapi beruntungnya ada beberapa mobil yang berada tak jauh dari mereka dan juga kendaraan bermotor yang cukup membantu. Hingga memasuki sebuah kompleks, jalanan benar mulai sepi, ia semakin memperlambat laju mobilnya. Tapi karena takut di curigai maka ia justru mempercepat hingga mendahului mobil fortuner itu, ia akan memantau melalui spionnya. Lalu mobil itu berbelok, ia terpaksa harus berhenti. Memundurkan mobilnya dan memarkir di dekat belokan.
Ia pun turun dari mobil dan mengendap, masih terlihat mobil itu sedang memasuki sebuah rumah. Setiap rumah di kawasan cukup berjarak, rumahnya besar-besar, pasti kalau berteriak juga tak terlalu terdengar jika sedang berada di dalam rumah. Ivana mencoba mendekat.
Tapi ia tak berani masuk, karena jika ketahuan pasti dirinya juga akan ikut di tangkap, ia cukup tahu nomor rumahnya lalu pergi. Setelah itu....pikirkan nanti, setelah mencacat nomor rumah dan alamatnya di hp ia segera kembali ke mobilnya dan tancap gas.
"Apa yang harus ku lakukan sekarang?" desisnya pada diri sendiri, "aku tidak mungkin menghubungi Nicky, tidak saat ini. Tapi jika aku diam saja lalu terjadi sesuatu pada Liana, dan kasusnya sampai ke polisi lalu mereka tahu kalau aku mengetahui.....Nicky bisa saja menuduhku bersekongkol dan memenjarakanku!" katanya memukul stir dengan geram, tentu saja ia tak ingin Nicky tahu. Karena itu bisa membuat hubungan Nicky dan Liana membaik. Tapi ia juga tak bisa membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Liana sementara ia tahu.
"Rizal!" desisnya,"ya Rizal, aku harus mencari Rizal!" katanya langsung pergi ke pangkalan angkot, ia melihat mikrolet biru dengan jurusan yang sama seperti yang pernah di bawa Rizal saat ia melihatnya. Iapun menepikan mobilnya lalu keluar, ia mendekati sopir angkot yang sedang menunggu penumpang sambil bersantai minum kopi di warung di pinggir jalan.
"Maaf bang!"
"Saya neng?" tanya Panjul menolehnya, ia terpaku menatap wanita di dekatnya. Mimpi apa semalam sampai di datangi bidadari?
"Bang!" panggil Ivana karena orang itu malah bengong, "eh, iya neng!" sahut Panjul tersentak, iapun berdiri.
"Abang tahu sopir angkot yang namanya Rizal Irawan?"
"Rizal Ira....wan...., oh si Rijal. Iya, tahu neng!"
Ivana bernafas lega, "biasanya bang, kalau jam-jam ini Rizal dimana?" tanyanya, "wah...kalau udah sore gini sih....biasanya si Rijal nyamperin Liana di warungnya, soalnya takut kalau Liana pulang sendiri entar terjadi apa-apa!"
"Ouh....di warung kopi itu ya?"
"Iya neng!"
"Terima kasih ya!" katanya berbalik, tapi dia ingat kalau Liana tak ada di sana. Dan memang sekarang Rizal lagi bingung karena tak menemukan Liana di warungnya, ia pikir Liana sudah pulang makanya ia langsung saja menuju rumah.
"Tapi bang!" Ivana kembali lagi ke tempat itu, "eh eneng lagi!" sahut Panjul, tanpa berdiri sekarang, Ivana menyilakan rambutnya yang tergerai.
"Kalau misalkan tidak ada di sana dimana aku harus mencarinya?"
"Ya paling ke rumahnya, tapi....saya ada nomornya neng. Gimana kalau saya telepon aja?"
"Boleh!" sahutnya cepat. Panjul segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan hpnya, ia menekan nomor Rizal dan menunggu jawaban sambil melirik Ivana yang terlihat cemas.
"Eh Jal, ada yang nyariin nih!"
"Siapa?"
Panjul menoleh Ivana, "neng siapa namanya neng?" tanyanya, "Ivana!" sahut Ivana tegas, "Ivana!" ulas Panjul. Rizal tertegun,
"Ivana, ngapain dia nyariin gue?" Â
Panjul kembali menoleh Ivana, "mbak, ada apa nyariin si Rijal?" tanyanya, Ivana mendesah kesal. Ia rebut saja hp di tangan Panjul, "eh!" seru Panjul. Ivana segera menempelkan hp itu ke telinganya.
"Rizal?"
"Ada apa kau mencariku?"
"Liana!"
"Liana?"
* * *
Daren sampai di dekat warung kopi Liana dan ternyata tutup, ia memarkir mobilnya di depan minimart lalu bertanya pada tukang parkirnya apakah benar pemilik warung kopi itu bernama Liana. Dan orang itu menjawab iya, ia juga bertanya apakah kakinya pincang? Orang itu juga jawab iya. Berarti benar, itu memang Liana. Ia kembali menghubungi Mela yang masih duduk di balik mejanya sementara hampir seluruh karyawan kantor sudah bubar. Paling yang tinggal yang punya lemburan saja.
Liana membuka matanya perlahan, ketika sudah terbuka lebar ia cukup terkejut mendapati seseorang yang di kenalnya sedang duduk di sofa menatapnya, sangat santai. Ia pun segera bangkit duduk, mengamati sekelilingnya, ternyata ia juga berada di sofa. Dan ruangan itu cukup asing, itu bukan apartemennya.
Matanya kembali bertemu dengan pria itu, ia heran! Jika ingin bertemu harusnya dia tinggal menjemputnya secara baik-baik, bukan dengan menculiknya seperti itu.
"Jadi mereka orang-orangmu?"
"Kau terkejut?" katanya balik bertanya tanpa bergerak, "jika ku minta baik-baik kau pasti akan menolak kan? Jadi....terpaksa!"
"Kau tahu jawabanku jika kau masih ingin meminta hal yang sama!"
"Kau sangat cantik saat tidur, Liana!" pujinya penuh arti, membuat mata Liana melotot. Apakah pria itu terus memandanginya saat dirinya tak sadarkan diri? Anthony mengulas senyum di bibirnya, "jangan menatapku seperti itu?" katanya.
"Dimana aku?"
"Di tempat yang aman!"
"Aman?"
Anthony berdiri, berjalan menuju ke sebuah meja. Menuang sebuah cairan di dalam botol ke dalam gelas kosong, lalu berbalik sambil menyesapnya ia menatap Liana kembali, "kau benar tidak ingat padaku Liana?" tanyanya. Liana sedikit mengernyit, tak mengerti dengan ucapan pria itu.
Anthony menenggak cairan itu hingga tinggal sedikit saja lalu membuang gelas itu begitu saja sampai terdengar suara ketika gelas itu pecah di lantai. Ia melangkah ke arah Liana, Liana menatapnya sampai mendongak ketika pria itu sampai padanya. Ia makin tak mengerti dengan maksudnya. Kini Anthony ikut duduk di sampingnya, membalas tatapannya. Begitu dekat!
"Sungguh kau tidak ingat?" tanyanya lagi, "jadi.....aku memang tidak membekas dalam pikiranmu sekalipun?" Liana masih diam tak mengerti. Bahkan kian terpaku. Anthony mengangkat tangannya, menyilakan rambut Liana ke belakang, ia sedikit mendekatkan wajahnya, Liana tetap diam.
"Apakah aku harus memanggilmu....Nyimas - Roro - Aliana putri - kusumaningrum.....!" perlahan Liana menggerakan kepalanya untuk lebih berhadapan dengan Anthony ketika pria itu menyebutkan nama aslinya, "Suryo Aditomo!" lanjut Anthony. Â
Liana memberikan tatapan tak percaya.
"Kau....kau....!"
"Tahu namamu, kau mengenalinya....itu artinya...kau mulai ingat?" sahut Anthony, "bagaimana...kau tahu....!" desis Liana yang di potong Anthony, "namamu?" tanyanya, lalu terdengar tawa ringan.
Anthony sedikit menjauhkan wajahnya, menatap lekat wajah Liana, "kau ingat namamu tapi masih tak ingat padaku? Atau....aku juga harus menyebutkan namaku, ha?" katanya lagi. Liana hanya menelan ludah. Jika Anthony tahu nama aslinya itu artinya....dia adalah orang dari masalalunya?
"Gail - Anthonio.....Moires Robert!" desis Anthony, mata Liana sedikit bertambar lebar, "kau kenal nama itu, Liana?" tanyanya kemudian.
Liana kian terpaku, lalu perlahan ia memalingkan mukanya, sedikit bayangan muncul di benaknya. Seorang anak lelaki tampan indo-meksiko duduk menatapnya yang usia dirinya saat itu masih 9 tahun, dan belum mengerti dengan apa maksud kedatangan keluarga itu ke rumahnya. Dan anak lelaki yang usianya sudah menginjak ABG itu menatapnya dengan tatapan yang pernah ia kenali dari tatapan pria di hadapannya. Mendadak kepalanya jadi pening, rasa sakit itu selalu muncul ketika ia mencoba mengingat keping dari masalalunya, iapun memegang kepalanya dan merintih.
"Kau mulai ingat sekarang?" suara Anthony membuatnya berhenti merintih lalu menolehnya, kediaman kembali tercipta untuk sekian detik.
"Jadi, kau....,"
"Ya, aku yang harusnya jadi suamimu Liana. Aku!"
Liana kian terperanjat. Lalu raut Anthony berubah menjadi sedikit garang, "tapi menolakku mentah-mentah, kau berkata kau tak menikah denganku!" teriaknya merenggut lengan Liana dan mengguncang tubuhnya, "hanya demi siapa?" nafasnya mulai tak teratur, "han....nya.....demi pembantumu, yang derajatnya bahkan lebih rendah dari sepatuku!" gerutunya.
"Aku tak mau menikah dengan anak itu, Eyang. Aku cuma mau sama Rizal!"
Ya, ia ingat kalimat itu. Ia ucapkan hal itu di depan anak lelaki dan keluarganya langsung. Eyangnya membujuknya dengan kalimat yang manis, tapi ia tetap tak mau lalu berlari meninggalkan ruangan.
"A-Anthony...!"
"Kau sudah menghinaku, Liana. Dengan membandingkanku dengan seorang pembantu, kau membuatku sakit!" katanya menekankan kata terakhir itu, cengkraman Anthony di lengannya kian mengencang. Membuatnya merintih kesakitan, "mungkin saat itu kau belum mengerti arti rasa sakit, tapi aku cukup mengerti. Apa kau tahu.....aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu, meski saat itu...kau masih cukup kecil!" ia mulai mengendurkan cengkramannya, menjauhkan diri lalu menghempaskan dirinya bersandar di sandaran sofa itu.
Saat datang ke kediaman Cakra Suryo Aditomo saat itu usia Anthony memang sudah 16 tahun, dan ia sudsh cukup mengerti dengan yang namanya jatuh cinta.
Liana hanya diam terpaku, ia tak menyangka kalau ternyata Anthony memang berasal dari salah satu kepingan masalalunya, lalu....apakah selama ini dia memang sengaja mendekatinya?
"Saat pertama kali melihatmu di parkiran waktu itu....aku memang kembali merasakan sesuatu, setelah sekian lama aku mengubur hatiku dengan yang namanya wanita!" desis Anthony, matanya menerawang ke awang-awang, "kembali jatuh cinta padamu, pada pandangan pertama. Tapi sekali lagi kau menghancurkannya, ketika aku tahu kau adalah istri Nicky. Meski begitu, aku merasa tak keberatan jika sainganku adalah Nicky. Tapi ternyata, kau bahkan masih bersama Rizal. Meski dia tetap hanya sebagai pembantumu!"
Liana menoleh seketika, "Rizal bukan pembantuku!" elaknya, Anthony menyunggingkan senyum simpul.
"Tidak heran jika Nicky juga merasa cemburu, kau masih saja lebih mementingkan Rizal!"
"Kau tidak tahu apapun tentang hubungan kami!"
Anthony menolehnya, menarik punggungnya kembali tegap, "aku juga tak mau tahu, dia tidak penting, iya kan?" sahutnya, ia kembali tersenyum, merentangkan satu tangannya, "kemarilah!" katanya. Liana menatapnya dengan tatapan tak percaya lagi, berani sekali dia bersikap seperti itu! Lianapun membuang muka.
Akhirnya Anthony yang mendekat, menaruh lengannya di pundak Liana sebelah kiri lalu merapatkannya ke tubuhnya, Liana meronta tapi Anthony mendekatnya erat dengan satu tangannya itu.
"Dengar Liana, aku sudah cukup bersabar. Aku memberimu perhatian saat suamimu mencampakanmu, aku peduli padamu saat Nicky tak memedulikanmu, aku mencintaimu.....tapi tetap saja kau tak pernah melihatku!" Liana masih mencoba meronta, tapi cengkraman Anthony terlalu kuat untuknya.
"Dan lagi-lagi kau menolakku, saat ku tawarkan kebahagiaan untukmu!" geramnya, "aku memang mencintaimu, tapi sekarang.....kau kembali menumbuhkan rasa benci yang pernah kau tanamkan dulu, jadi....jangan salahkan aku!" katanya penuh arti. Liana memutar kepalanya perlahan sampai menemukan mata Anthony yang cukup mengerikan dan penuh dendam.
Anthony melempar tubuh Liana begitu saja ke sofa itu lalu berdiri. Sementara Nicky masih duduk di kursinya, termenung ketika Mela memberitahukannya bahwa pemilik warung kopi itu memang Liana. Tapi Daren tak sempat bertemu karena warungnya sudah tutup lebih awal. Jadi selama ini istrinya bertahan hidup dengan membuka warung kopi layaknya wanita miskin? Melayani banyak orang dengan kopi-kopi buatannya, kopi yang harusnya hanya Liana seduh untuknya!
Liana masih terhempas di sofa ketika Anthony memanggil beberapa orang masuk ke ruangan itu. Dan orang-orang itu, beberapa adalah orang yang menculiknya tadi. Liana mulai panik, karena ia tahu ini tidak akan baik, apalagi melihat mimik Anthony yang cukup nakal.
"Maaf sayang, kau sudah membuatku cukup terhina dengan semua perbuatanmu. Dan aku ingin, kau merasakan....bagaimana rasanya, menjadi hina!" seru Anthony seraya mengangkat sebuah handycam, mengarahkannya pada Liana. Ia memberi isyarat mata kepada semua anak buahnya, Liana semakin panik ketika orang-orang itu mulai mendekatinya dengan seringai nakal dan buas.
Ia tak mampu berfikir apa yang akan di lakukan orang-orang itu, yang jelas saat ini ia butuh Nicky. Ia berharap Nicky datang menyelamatkannya, tapi....apakah itu mungkin! Sementara saat Nicky mendatanginya, suaminya itu justru mematahkan hatinya.
Â
---Bersambung.....---
• T.B.W.O.A ~ The Wedding (second novel)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI