Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Peluk Aku, Ibu!

27 Juni 2015   11:33 Diperbarui: 27 Juni 2015   11:33 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Indah, kamu pulang pagi lagi?"

"Ah, Ibu cerewet. Minggir-minggir-minggir, aku cape!" seruku setengah berkumur hingga suaraku tak terlalu jelas mengucapnya. Ku singkirkan tubuh Ibu yang hendak membantuku masuk kamar hingga bergeser, ia masih memakai mukena, abis solat subuh kali!

Aku sedikit terhuyung, kepalaku sedikit pening. Langsung saja ku bantingkan diri ke kasur,ah....lega rasanya.

"Ampun pak, ampun!" aku terus berteriak minta ampun, tapi kayu di tangan bapak masih saja menghantamku. Ketika aku berbuat sedikit saja kesalahan bapak tidak akan segan-segan menghukumku. Terkadang aku merasa iri, aku anak gadis tapi bapak memperlakukanku seperti anak lelaki. Padahal jika dia ingin anak lelaki dia sudah punya bang Arman dan bang Rudi, lalu apakah salah jika aku terlahir sebagai anak perempuan?

"Dasar anak tidak berguna, lihat kedua abangmu. Mereka tidak pernah mengecewakan bapak!"

Apa salahku? Selalu itu yang terlontar di batinku, aku tak pernah melihat bapak memukul kedua abangku. Tapi lihatlah tubuhku, sebagai anak perempuan, aku tak memiliki tubuh yang mulus seperti teman-temanku. Bapakku memang berperangai kasar, suka mabuk dan suka memukul. Bukan hanya aku, tapi ibu, lebih sering kena pukul. Kedua abangku mendapat beasiswa dan bisa bersekolah tinggi karena otak mereka memang tidak mengecewakan. Tapi aku, meski aku tidak bodoh tapi aku selalu gagal menjadi juara kelas, aku hanya mampu meraih peringkat kedua atau pun ketiga. Itu salah satu hal yang membuat bapak kecewa.

Tak ada yang membelaku kecuali ibu, ibupun tidak terlalu berani melakukannya. Paling kalau bapak sudah terlalu keterlaluan baru ibu akan maju, hanya....ada seseorang. Seseorang yang selalu membelaku, Iman. Namanya Iman. Selain tampan dia juga baik dan soleh, dia yang selalu menasehati bapak jika tahu bapak sedang memukulku saat dirinya datang. Tapi itu pun tak berlangsung lama, lulus dari SD dia pindah ke kota. Entah kemana, aku tak tahu lagi kabarnya. Dia membiarkan aku terus terjebak dalam keadaanku. Aku putus asa.

Berselang beberapa tahun bapak meninggal karena komplikasi paru dan hati, aku sangat senang. Tidak akan ada lagi yang memukulku atau mencaciku, aku sempat tersenyum di dekat mayatnya meski hatiku juga perih.

Aku mulai tumbuh hanya dengan ibu, perlahan kedua abangku mengalami kesuksesan. Hanya aku yang tersingkir, aku tak melanjutkan sekolah setelah tamat SMP. Bapak tidak mau lagi membayar uang sekolahku, aku di paksa putus sekolah, di paksa bekerja di pasar. Dan kini, aku tumbuh seperti dirinya. Hidup seenaknya, tak punya aturan, tak punya pegangan dan mungkin....tak punya iman.

Aku melangkah bangkit dan berlari ke belakang, "wuok...wuok....!" ku keluarkan semua isi perutku, setelah semuanya muncrat aku pun membasuh muka dan berkumur. Sejenak ku pandangi diriku yang memantul di dalam bak berisi air, apa yang salah dengan wajahku?kenapa bapak begitu tak menyukaiku?

Jika ku perhatikan, wajahku tidak jelek. Bahkan tergolong cantik, sebutir airmataku menetes di genangan air itu. Terbayang kembali saat-saat ketika bapak memukuliku hanya karena masalah sepele, mengumpatiku. Katanya aku anak pembawa sial, pembawa petaka, apakah itu benar?

 Kini aku menjadi seperti dirinya, sebenarnya....yang paling mirip dengan bapak adalah aku. Meski aku bukan darahnya. Kenyataan yang membuat hatiku semakin perih. Aku hanya anak pungut, anak yang ibu temukan di kali. Awalnya bapak tak mengijinkanku di pungut ibu, tapi ibu memohon sampai berlutut. Ayah setuju tapi dengan satu syarat, apapun perlakuannya terhadapku ibu tidak boleh protes jika ibu ingin aku tidak tahu siapa diriku. Itulah alasannya ibu tak mampu berbuat apa-apa setiap kali bapak memukuliku, katanya hidup mereka tambah susah sejak aku hadir. Kedua abangku saja bisa sekolah karena....kalian sudah tahu, beasiswa!

"Indah, mau kemana lagi? Ini, ibu sudah buatkan sarapan pagi. Makan dulu ya!"

"Ibu makan saja sendiri, nggak napsu!" sahutku setelah melirik makanan di meja seraya mendorong piring dengan kasar sampai beradu. Untung tidak pecah lagi, entah sudah berapa piring yang ku hancurkan. Mungkin di dapur hanya tinggal beberapa biji saja, ibu mendapat uang dari bang Arman dan Rudi. Mereka rutin mengirim uang pada ibu itu sebabnya aku tak sudi memakan masakan ibu. Aku tak mau memakan uang mereka,

"Astagfirullahal adzim Indah, ini ibu belanja pake uang ibu sendiri. Hasil ibu mencuci baju di rumah bu Rukmi!"

"Apa, ibu mencuci baju di rumah bu Rukmi? Bu, kalau bang Arman dan bang Rudi tahu pasti mereka bakal nyalahin Indah lagi. Mereka pasti pikir Indah yang nyuruh Ibu kerja nyuci baju!"

"Lalu Ibu harus bagaimana, kamu tidak mau makan kalau Ibu menggunakan uang mereka. Ibu ingin kamu makan masakan Ibu seperti dulu!"

"Ha....ah...., alasan saja. Ibu  sengaja kan biar Indah itu selalu terlihat jelek dimata mereka!"

"Tidak seperti itu, Ndah. Lagipula kamu juga jangan lagi mintain uang orang-orang di pasar, itu tidak baik. Jangan ikuti jejak bapakmu!"

"Memangnya Ibu peduli?"

"Tentu Ibu peduli sama kamu!"

"Peduli, Ibu bilang Ibu peduli!" seruku lantang, "apa dulu Ibu membela Indah saat Indah terus di sakiti ayah, apa Ibu pernah memeluk Indah saat Indah butuh, apa Ibu pernah menyeka airmata Indah? Enggak kan Bu!" lantangku.

"Ibu nggak berbuat apa-apa, apa itu yang namanya peduli? Ibu nggak mencoba menyelamatkan aku dari tangan ayah, Ibu sengaja membiarkan Indah terus di siksa. Kenapa Ibu nggak biarkan saja Indah mati tenggelam di kali!"

"Indah!"

"Ibu tahu, semua yang terjadi sama Indah itu salah Ibu. Ibu...yang membuat Indah jadi seperti ini!"

"Indah...!"

"Dan sekarang Ibu bilang Ibu peduli sama Indah, kenapa Bu. Kenapa baru sekarang Ibu peduli? Kenapa harus nunggu bapak mati dulu baru Ibu bisa peduli sama Indah, kenapa Bu?"

"Indah, maafkan Ibu!"

"Omong kosong semuanya!"

Aku pergi dengan menyenggol lengan Ibu, membuat tubuhnya sedikit limbung. Tapi belum juga jauh dari rumah seseorang sudah menyeret lenganku. Seseorang yang aku kenal.

"Indah, bisakah kamu tidak sekasar itu sama Ibumu?"

"Itu bukan urusanmu. Jadi....kamu sudah menjadi seorang penguping?" kesalku. "Aku sengaja ingin menemuimu, tapi aku mendengar kamu sedang bertengkar sama Ibumu!"

"Mau apa lagi kamu, Man?"

"Menjelaskan semuanya!"

"Tidak ada yang perlu di jelaskan, lebih baik kamu urusi saja dirimu. Jangan pedulikan aku!" aku berlalu saja.

"Bagaimana aku tidak peduli sama kamu, aku peduli sama kamu. Aku sayang sama kamu!"

Aku berhenti, menoleh padanya. "peduli, kamu bilang kamu peduli dan sayang sama aku? Kalau emang kamu peduli sama aku, kamu tidak akan pernah pergi dan membiarkan aku membusuk di sini!" marahku lalu kembali membalikan tubuhku, berlari meninggalkannya. Aku menyalahkannya, memang. Saat aku membutuhkan perlindungan dan pembelaan, satu-satunya yang sering membelaku pergi begitu saja dan tak pernah ada kabar. Iman, pria itu. Dan sekarang ia kembali, berani mempertanyakan tentang sikapku yang sekarang. Mempertanyakan kenapa aku seperti ini? Aku benci dia meski aku merindukannya.

* * *

Suatu malam aku berkumpul dengan teman-temanku seperti biasa seraya di temani beberapa botol anggur. Tapi suatu insiden yang tak terduga terjadi, Seno. Ketua preman itu memang selalu merayuku dan aku selalu menampiknya karena aku muak akan hal itu. Tapi kali ini, dia seperti kesetanan. Ketika aku mengumpat karena rayuannya dia marah besar, memukulku dan meminta bantuan teman-temannya untuk membantunya memaksaku. Aku melawan tapi mereka terlalu banyak bagiku, ku pikir aku akan pasrah tapi Iman datang entah darimana. Dia datang menyelamatkan aku, sialnya....dia tertusuk sebuah pisau di perutnya. Seno dan yang lainnya kabur kocar-kacir melihat darah segar mengalir deras dari perut Iman.

"Man,"

"Aku baik-baik, lebih baik kamu pergi!"

"Tidak, aku tidak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini!" tolaknya.

"Warga akan segera datang, kamu harus pergi. Mereka pasti berfikir kamu yang melakukan semuanya!"

Dalam perkelahian tadi, beberapa botol anggur sempat tumpah membanjiri tempat itu dan puntung rokok Seno yang masih menyala memercikan api. Merubahnya menjadi kobaran api yang hebat, mmebakar semua yang ada di sana. Mungkin juga menyalur ke lumbung desa.

"Man, aku akan mambawamu!"

"Tidak Ndah, aku tidak kuat berjalan. Aku mohon pergi dari sini, sumpah demi nyawaku pergilah!"

"Iman!" desisku menatapnya, "maafkan aku,Ndah. Jika aku membuatmu jadi seperti ini, maafkan aku. Tapi aku ingin kau pergi!"

"Tidak!"

Suara gaduh beberapa warga mulai terdengar mendekati tempat kami, "pergilah dari sini!" pinta Iman sekali lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi Iman benar. Jika aku tak pergi, warga pasti akan mengira aku yang membakar tempat itu dan juga menusuk Iman, sidik jariku ada dalam pisau itu karena aku yang mencabutnya dari perut Iman. Aku pun bangkit dan melangkah pergi. Meninggalkan Iman yang sedang meregang nyawa karena aku. Tapi aku berharap ia bisa selamat dan hidup.

* * *

Sudah beberapa hari aku hidup menggelandang, sendirian. Tak ada suara Ibu, Ibu! Kini aku benar-benar sendirian. Aku rindu suara Ibu, aku rindu Airmata Ibu.

Apakah aku berhak merindukannya? Kenapa tidak! Apa kau pikir aku benar membencinya? Oh....tentu tidak, aku tidak pernah benar-benar membenci Ibu. Bagaimana aku bisa membenci orang yang telah memungutku dan memberiku kehidupan, satu-satunya orang yang peduli padaku di rumah itu. Sebenarnya....., aku benci diriku sendiri. Aku benci diriku karena di buang oleh orangtua kandungku, aku benci diriku karena di benci bapak, aku benci diriku karena hanya bisa pasrah dengan semua perlakuannya, aku benci diriku karena pada akhirnya aku begitu mirip dengannya. Bahkan mungkin sebenarnya, aku sangat menyayangi Ibu melebihi diriku sendiri.

Terdengar suara seorang bocah, bergelak dan menggema. Ku longokan kepalaku. Bocah itu sedang bercanda dengan ibunya, bahagia.....tak peduli dengan dingin dunia, tak peduli perut meronta. Sebutir airmata menetes di pipiku, mengalirinya. Bagaimana kabar ibu sekarang, terakhir ku tinggal dia sedang sakit-sakitan. Seperti ada yang menghantam dadaku keras, sakit sekali. Aku tak mampu membendung tangisku, ya Tuhan....aku sangat merindukan Ibu. Setidaknya, dia selalu ada di sampingku meski tak bisa melakukan apapun untukku. Dia mengalirkan airmata saat aku menangis, mengelus dadanya yang mungkin terasa perih ketika aku menatapnya penuh kekecewan, atau meminta pertolongannya tapi ia hanya bisa diam.

Dan sejak bapak meninggal, Ibu memang lebih terlihat memperhatikan aku ketimbang kedua abangku. Hal itu membuat mereka iri dan membenciku, Ibu selalu mencoba menyenangkan aku dan aku tak pernah menghargai usahanya. Meski aku sadar hatiku perih setiap kali ku buat Ibu menangis, tapi aku tetap melakukannya. Pagi menjelang, aku berjalan lunglai. Berharap bisa sampai rumah dan menemuinya. Wajahku yang terpampang di koran beberapa hari lalu, kini sudah terganti oleh wajah Seno dan teman-temannya. Ku lirik televisi yang sedang menyiarkan berita, seorang polisi berbicara di depan kamera. Dia mengatakan bahwa Seno yang berhasil mereka ringkus di lubang persembunyiannya sudah mengaku bahwa dirinyalah yang telah menusuk Iman karena Iman mengganggu rencananya untuk mengerjaiku. Itu artinya, aku bukan buronan lagi. Sebuah senyum mendesir di ujung bibirku. Aku segera memungut langkah seribu untuk bisa pulang meski seluruh tubuhku rasanya seperti mau rontok. Aku tak peduli, aku hanya ingin melihat apakah ibu baik-baik saja.

Rumah reot itu kosong, jejak ibu tak ada di sana. Apa yang terjadi? Tubuhku yang sudah lemas kini menjadi semakin lemas, airmataku kembali menetes.

"Ibu....!"

"Indah!"

Suara itu memaksaku untuk menoleh, "bu Rukmi!" desisku tak percaya. Yang ku harapkan suara ibuku bukan dia.

"Syukurlah kamu pulang!"

"Bu Rukmi, dimana Ibu?"

"Itu sebabnya aku ke sini, tadi aku seperti melihatmu. Eh, ternyata benar itu kamu!"

"Apa yang terjadi dengan Ibu?"

Perasaanku sudah tak karuan. Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan, jangan-jangan Ibu.....

"Saat aku masuk ke rumah ini, ibumu sedang kesakitan di kamarnya. Kabar tentang kamu mengenai peristiwa malam itu membuat Ibumu sangat sedih. Dan membuat rasa sakitnya makin menjadi!"

"Lalu sekarang Ibu dimana?"

"Kami membawanya ke klinik, kata dokternya ibumu menderita gagal ginjal akut!"

"Apa!"

"Bu Amirah harus mendapatkan donor ginjal yang cocok jika ingin selamat dan operasinya hanya bisa di lakukan di rumah sakit. Makanya aku mencari nomor abangmu di rumah ini, maaf kalau lancang!" jelas bu Rukmi.

"Dan sekarang....?"

"Arman menjemputnya dan memindahkannya ke rumah sakit di kota!" sahut Bu Rukmi.

Aku terdiam, ibu harus di operasi? Dan sekarang dia bersama bang Arman. Pasti mereka semua sedang meracau memakiku. Sesuatu ku rasakan di tanganku, aku menatapnya lalu kembali ke wajah perempuan paruh baya di sampingku.

"Ini, kamu pasti membutuhkannya untuk menjenguk ibumu!"

"Tidak bu, aku tidak bisa menerimanya. Selama ini....aku...!"

"Ibu Iklas, pergilah dan temui ibumu. Dia selalu menyebut namamu meski sedang tidak sadarkan diri!"

Ku tatap wanita dengan mata sembabku, "terima kasih!" aku segera berlari ke arah ibu. Berharap ibu sudah baik-baik saja. Tapi aku tidak tahu di rumah sakit mana bang Arman menaruh Ibu, maka ku putuskan untuk menuju rumah bang Arman dulu. Mengendap di balik pohon menunggu mereka keluar, lalu aku mengikutinya hingga ke rumah sakit.

Terlihat dokter sedang berbicara dengan mbak Susi, istri bang Arman. Setelah dokter pergi aku mengikuitnya.

"Dokter, maaf!" panggilku, dokter itu pun menoleh. "ya!"

"Apakah dokter yang menangani ibu Amirah?"

"Iya, benar!"

"Dokter, bagaimana keadaan ibu Amirah?"

"Belum ada perubahan, kami belum bisa mendapatkan ginjal yang cocok untuknya. Semua keluarganya sudah menjalani tes dan tidak ada yang cocok. Jika sampai besok.....!"

"Bisa periksa saya dok, siapa tahu ginjal saya cocok?"

* * *

Setelah menjalani tes dan cocok, operasi langsung di laksanakan. Aku bersyukur karena aku bisa menyelamatkan ibu. Jangankan hanya ginjal, jika ibu membutuhkan jantungku pun akan aku berikan. Seperti Ibu yang pernah memberiku kesempatan hidup maka aku pun ingin bisa membuatnya hidup lebih lama lagi dengan sebuah kebahagiaan. Mungkin ibu akan lebih bahagia jika tinggal bersama bang Arman atau bang Rudi.

Aku berjalan perlahan menahan rasa nyeri di perutku untuk melihat keadaan ibu, aku mencoba untuk terlihat sehat meski sebenarnya kepalaku pening. Bang Rudi dan mbak Isti menoleh ketika melihatku, juga ada mbak Susi.

"Mau apa kamu kesini?" tanya bang Rudi.

"Aku mau melihat Ibu bang!"

"Heh...., melihat Ibu. Sejak kapan kamu peduli sama Ibu?" cibirnya, bang Arman keluar dari ruangan bersama seorang suster yang langsung berlalu meski sempat melirikku.

"Ibu tidak butuh kamu jenguk!" timpal bang Arman, "kamu tahu, kamu yang membuat ibu seperti ini!"

"Lebih baik kamu pergi dan jangan temui ibu lagi!" sahut bang Rudi, "tapi bang....!"

"Kamu pikir Ibu akan senang melihatmu, kamu itu selalu membuat Ibu tersiksa tahu nggak. Kamu tahu, Ibu menolak tinggal bersama kami padahal kami bisa memanjakannya. Tapi, ibu lebih memilih hidup sengsara bersama kamu. Itu karena kesombonganmu yang sok tidak mau memakan uang kami, sekarang kamu lihat. Lihat Ibu!" seru bang Arman.

"Kamu hanya bisa mmebuat Ibu menderita!"

"Aku tahu bang, tapi ijinkan aku bertemu Ibu. Aku ingin melihat Ibu!" rengekku.

"Tidak, aku tidak akan mengijinkanmu bertemu Ibu. Kamu cuma bikin Ibu susah dan sakit, kamu itu tidak punya hak apapun soal Ibu karena kamu bukan siapa-siapa!"

Lihatlah, sekali lagi mereka mengatakan itu. Hanya Ibu yang menganggapku sebagai keluarganya, sebagai anaknya. Hanya Ibu yang peduli padaku, tapi mungkin sekarang ini pantas ku dapatkan karena selama ini aku selalu mengabaikan kasih sayangnya.

"Sekali saja bang, aku mohon. Ijinkan aku bertemu Ibu untuk yang terakhir, aku ingin melihat keadaannya!" aku menerobos tubuhnya tapi ia menahan tubuhku yang lemah dan mendorongku hingga punggungku beradu dengan tembok, "pergi kamu!" serunya.

Sebuah rasa nyeri ku rasakan di jahitanku, tapi aku menahannya.

"Pergi kamu dan jangan temui Ibu lagi!" usirnya. Beberapa pasang mata memperhatikan kami, aku memang sudah tak mungkin lagi bisa menemui Ibu. Maka ku ambil langkahku meninggalkan tempat itu secara perlahan. Airmataku membanjiri seisi rumah sakit, aku sudah tak peduli lagi dengan apapun sekarang. Aku hanya ingin bisa bertemu Ibu sekali lagi setelah itu terserah Tuhan mau apakan diriku.

"Pak Arman, Ibu Amirah sudah siuman!" seru seorang suster yang baru keluar dari ruangan, semuanya langsung berhambur ke dalam.

* * *

"Saya ingin tahu siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk saya dok?" tanya Amirah.

"Maaf bu Amirah, tapi kami tidak bisa memberitahukannya karena sang pendonor tidak ingin di ketahui identitasnya!"

"Saya mohon dok, setidaknya saya ingin tahu namanya saja!"

"Maaf, kami tidak bisa memberitahukannya!"

"Sudahlah Bu, yang penting sekarang Ibu banyak istirahat biar cepat pulih!" seru Arman.

"Apakah ada kabar tentang Indah?"

"Untuk apa Ibu tanyakan dia, dia itu sama sekali tidak peduli sama Ibu. Lagipula dia juga bukan anak Ibu!"

"Arman," hardik Ibunya, "Indah itu anak Ibu, dia adik kalian. Sekarang dia seperti itu karena kesalahan kita, bukan kesalahannya. Jangan sekali kamu bicara seperti itu!"

"Maaf!" itu suara suster yang tadi keluar ruangan bersama Arman, "saya terpaksa mengatakan ini, bu Amirah. Tadi anak ibu yang bernama Indah memang kemari tapi dia di usir oleh kedua anak ibu itu!"

"Apa?"

"Maaf jika saya ikut campur tapi....dialah yang sudah mendonorkan ginjalnya kepada Ibu!"

"Apa?"

Semuanya tercengang.

* * *

Aku berjalan lunglai di pinggiran jalan raya selepas dari gerbang rumah sakit, ku rasakan tenggorokanku gatal. Aku pun terbatuk-batuk, ku tutup mulutku dengan tangan dan....berdarah, kulihat cairan merah di tanganku yang keluar dari mulut. Rasa nyeri di jahitanku terasa semakin perih. Ku lihat bajuku yang mulai berlumur darah, aku pun membukanya untuk melihat apa yang terjadi, jahitanku terlepas. Darahnya mengalir deras, mengucur keluar. Apakah dokter tak menjahitnya dengan benar? Kepalaku pusing sekali, tapi aku tetap berjalan menuju masjid di seberang rumah sakit. Aku tak mau mati kehabisan darah di jalanan seperti anjing liar. Tapi aku tak sampai menggapai teras masjid, tubuhku sudah terlanjur jatuh ke tanah. Ku coba menekan lukaku, berharap darahnya mau berhenti mengalir. Tapi tak bisa, apakah ini hukuman? Dan aku akan mati di jalanan?

"Indah....!"

Aku seperti mendengar suara Ibu, seandainya itu nyata!

"Indah....!"

Sekali lagi suara Ibu terdengar.

"Indah!"

Kali ini ku dengar langkah kaki mendekatiku di iringi seruan namaku, aku mengenali suara itu. Itu suara Ibu dan itu....bukan khayalanku. Itu benar-benar suara Ibu, kurasakan tangannya menggapai tubuhku.

"Indah!"

"Ibu!" ku tatap wajahnya, airmatanya menetes hangat di pipiku. "Indah....!" tangisnya.

"Maafkan Indah Bu!"

Ibu hanya menggeleng, "Ibu yang minta maaf sama kamu, maafkan Ibu karena tidak bisa membuatmu bahagia. Maafkan Ibu karena membuatmu seperti ini!"

"Tidak Bu, Indah yang salah. Indah minta maaf, Indah nggak pernah benci sama Ibu....., Indah sayang sama Ibu. Maaf, jika Indah melampiaskan kebencian Indah sama bapak ke Ibu, Indah.....Indah hanya- benci sama diri Indah sendiri!"

"Ibu tahu!"

"Bu....dingin..."

"Apa?"

"Dingin Bu, maukah...Ibu peluk Indah?"

Ibu langsung memelukku, erat, "masih dingin Bu....,!" desisku mulai lemah. "Ibu memelukmu, Ibu akan selalu memelukmu!"

"Dingin...., peluk Indah Bu!"

"Ibu sudah memelukmu!" tangisnya, aku melirik kedua abangku yang meneteskan airmata, entah airmata apa itu? Bahagiakah atau sedih melihatku sekarat. Tapi aku senang karena itu pertama kalinya mereka menitikan airmata untukku, pertama kali juga ku rasakan pelukan Ibu yang begitu hangat setelah sekian tahun. Mungkin saat bayi Ibu sering memelukku, tapi aku sudah lupa rasanya selama ini. Dan mungkin....rasanya memang seperti ini. Begitu menenangkan, dan itu....juga terakhir kalinya ku rasakan pelukan Ibu karena tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

* * * * *

27 Juni 2015, Jakarta.

Y_ Airy

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun