Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tempat Terindah #19 ; Kamu Mencintainya?

21 Juni 2015   11:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:42 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamu Mencintainya?

Nadine menatap keduanya dengan tajam, amarah, dan kekecewaan.

"Nadine!" desis keduanya bersamaan.

Tanpa sepatah katapun lagi yang terlontar Nadine membalikan tubuhnya dan mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu.

"Nadine!" seru Alisa hendak mengejarnya, tapi Ridwan meraih lengan mungilnya. Membuatnya harus menoleh kepada pria itu, tetapi dirinya tidak mengindahkan gelengan Ridwan. Ia melepaskan diri dari tangannya dan berlari mengejar sahabatnya.

Nadine sudah hampir meraih ke mobilnya, ia memang membawa mobil sendiri ketika datang ke sana. Suara Alisa menghentikannya, "Nadine tunggu!" seru Alisa yang juga menghentikan langkah di belakang Nadine yang memunggunginya.

"Aku bisa menjelaskannya, semua yang kamu lihat tidak sepenuhnya seperti itu!"

"Lalu seperti apa?" seru Nadine membalikan tubuhnya, menatap Alisa tajam. Matanya merah, pipinya basah. "kamu tega sama aku Alisa, sejak kapan kalian berhubungan di belakangku?"

"Tidak sepenuhnya seperti itu!"

"Kamu mencintainya?" potong Nadine.

Alisa terdiam.

"Nadine....!"

"Jawab pertanyaan aku Alisa, apakah kamu mencintai Ridwan?"

"Aku.....aku.....!"

"Tinggal jawab Ya atau tidak!"

Alisa memandangnya, bibirnya bergetar. Ia bingung untuk menjawabnya, tapi Nadine meminta jawabannya. Bagaimana pun ia harus menjawab.

"Iya!"

Plakk!

Sebuah tamparan melayang ke pipi Alisa, bekas tangan Nadine memerah di pipinya. Keduanya diam sesaat, Nadine memandang Alisa yang wajahnya masih terlempar ke samping oleh tamparannya. Tapi ia tak merasa menyesal melakukan itu karena menurutnya Alisa memang pantas mendapatkannya. Ia pun mmebalikan tubuhnya kembali dan memasuki mobilnya, meninggalkan Alisa yang masih diam di atas kakinya.

Perlahan Alisa memutar wajahnya kembali lurus ke depan, buliran bening menggelinding dari matanya. Hari ini, ia telah memperburuk hubungannya dengan Nadine juga hubungan Nadine dengan Ridwan. Sebenarnya hal inilah yang ia takutkan dan sekarang sudah tak mungkin lagi di hindari. Ada rasa yang jauh lebih perih di hatinya ketika melihat mata Nadine menatapnya seperti tadi, persahabatan yang baru saja terbangun rasanya hancur begitu saja dalam sekejap. Dan ternyata itu lebih pedih dari sekedar kehilangan cinta seorang pria, lalu apa yang harus di lakukannya sekarang? Menyesal membiarkan semua terjadi, membiarkan dirinya kembali masuk dalam kehidupan Ridwan? Tapi apakah itu salahnya jika mereka bertemu kembali? Alisa tertunduk dalam isaknya, membiarkan airmatanya membanjiri pipinya.

Ridwan melihat pundak wanita itu berguncang, ia juga sempat melihat Nadine menamparnya. Tanpa di sadarinya, ia telah merusak persahabatan dua wanita itu yang baru saja terjalin. Perlahan ia menghampiri Alisa, semakin mendekat guncangan di pundak wanita itu terlihat semakin jelas. Bahkan terdengar suara isaknya, ia menyentuh lengan Alisa. Berniat untuk menenangkannya, Alisa terbelalak. Ia menyingkirkan telapak tangannya sendiri dari mulutnya dan menoleh. Menatap pria di hadapannya tapi tanpa bicara ia melangkahkan kaki kembali ke sanggar.

"Alisa!"

Suara Ridwan memutus langkahnya, tapi ia tak menoleh. "mungkin....!" desis Ridwan yang langsung di potong olehnya.

"Cukup Wan, jangan katakan apapun. Pertemuan kita sore ini adalah sebuah kesalahan!"

"Keasalahan, apakah cinta yang kita miliki juga sebuah kesalahan? Kita lebih dulu memilikinya sebelum Nadine hadir!"

"Aku ingin sendiri!" sahut Alisa menghindari percakapan itu seraya melangkah pergi. Dan kali ini Ridwan tidak menghentikannya, mungkin sudah saatnya memberi tahu Nadine tentang masalalu mereka. Mungkin Nadine akan sedikit mengerti.

* * * * *

Nadine menyetir dengan di banjiri airmatanya, bayangan Ridwan dan Alisa menari bersama dengan mesra masih berada lekat di matanya. Yang lebih menyakitkan mereka bisa berciuman seperti itu, bahkan selama ini Ridwan tak pernah menciumnya dengan hasrat seperti itu. Alisa memang seorang pribadi yang menarik, pribadi yang mudah membuat pria jatuh cinta padanya. Tapi tak seharusnya ia menyambut Cinta pria yang sudah menjadi tunangan sahabatnya. Ternyata mencari teman yang benar-benar baik itu sulit, bahkan wanita seperti Alisapun bisa berbuat setega itu padanya.

Cheryl tersenyum girang seraya mendudukan diri di sofanya, di tangannya segelas casanova siap menemaninya kemenangannya. Ia sedang membayangkan pertengkaran Nadine dan Alisa, ia tak perlu repot menghancurkan hubungan mereka. Karena api sudah tersulut dengan sendirinya, ia hanya perlu meniupkan kemana arahnya. Ia menyeruput minuman di tangannya perlahan. Suara tawa lembut keluar dari mulutnya, rasanya sebentar lagi ia bisa meraih bendera kemenangan. Tapi suara bib dari hpnya membuatnya harus memungut benda itu yang berada di meja di depannya.

Iapun membesarkan bola matanya ketika melihat nama di layar hpnya. Senyuman bahagianya hilang seketika.

Ridwan mencoba menghubungi Nadine, tapi dari puluhan telepon ynag ia tujukan tak satupun di sahut oleh wanita itu. Ridwan memang tak mencoba menghubungi nomor rumahnya, untuk sementara orang tua Nadine tak perlu tahu permasalahan mereka.

Berbeda dengan Ibunya, "Ridwan, apa yang terjadi?" tanya Dewi ketika putranya baru saja memasuki rumah. "apa maksud Ibu?"

"Ratna bilang, setelah kamu mengantar Nadine pulang. Nadine bergegas pergi keluar lagi dan pulang dalam keadaan yang buruk, dia menangis!"

Ridwan tak menjawab, ia hanya diam berjalan ke kamarnya. Ibunya mengikuti seperti biasa, "Apa selama ini kamu masih berhubungan dengan Alisa juga? Wan, ibu sudah katakan jauhi Alisa, tapi kenapa kamu tidak mau mendengarkan. Apa kamu sudah tidak mau menghormati ibu lagi?"

"Bu, jangan merambah kemana-mana dan jangan menilai Alisa seburuk itu!"

"Dia memang membawa pengaruh buruk bagimu!"

"Cukup Bu!" Ridwan menoleh ibunya ketika sampai di pintu kamarnya, "aku sedang tidak ingin membahasnya!" lanjutnya lalu menutup pintu kamarnya. Bukannya ia kurang ajar, tapi saat ini ia butuh berfikir tentang apa yang akan ia beritahukan kepada Nadine nanti.

Alisa duduk di ranjangnya, merenungi apa yang akan terjadi nanti. Ia sungguh tak ingin persahabatannya dengan Nadine hancur, tapi sekarang.....sepertinya memang sudah di ambang kehancuran. Tapi bukankah ia tak bisa membalikan waktu? Meski begitu, ia juga tak mampu mengingkari hatinya. Bahwa ia masih sangat mencintai Ridwan, masih menginginkannya. Semakin ia coba untuk menepiskan perasaannya, rasa itu justru semakin tak mau pergi. Apakah itu salah? Ia kembali terisak dalam kesendirian, kini ia benar-benar kembali merasa sendiri.

* * * * *

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun