Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tempat Terindah #13 ; Aku Tidak Ingin Melukainya

16 Mei 2015   04:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:59 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Chapther 13

Cheryl memungut tasnya kembali, menyilakan rambutnya dan membenahinya. Mencoba mengatur emosinya yang sempat berantakan. Perlahan Ryan menghampirinya, "Cheryl!" panggilnya.


Wanita itu menoleh padanya, "aku kira kamu nggak jadi datang, jadi....aku putuskan untuk menjemputmu!"

"Eh....,!" Cheryl mencoba memasang senyum, "kan tadi aku sudah bilang aku akan datang, tapi....ada hal penting apa sehingga aku harus ke sini?"

"Mungkin lain kali saja, lagipula aku lapar sekali. Bagaimana kalau kita keluar saja!" tawarnya.


"Ok, moodku juga mendadak jelek. Mungkin udara di luar lebih baik!" sahutnya menyetujui, "tapi pake mobilku saja ya!" pinta Cheryl.


Ryan bersikap seolah tak tahu apa-apa, beberapa kali ia melirik kekasihnya yang memang menunjukan sedikit amarahnya.


"Ada restoran itali yang baru buka, mau coba?" tawarnya mencoba mencairkan kehangatan, "boleh juga, tapi jangan memaksaku makan terlalu banyak, nanti aku jadi gendut dan tidak laku lagi di sanggar!"


Ryan menyunggingkan senyum, "dengan berat badanmu yang sekarang, aku pikir naik satu)dua kilo nggak apa-apa!" guraunya, "yang benar saja, itu termasuk gendut!" protes Cheryl.


*****


Alisa menghentikan langkah seketika begitu sampai di teras rumahnya. Di lihatnya Ridwan duduk di kursi yang berada di teras. Pria itu berdiri ketika melihat dirinya, untungnya tadi ia menolak ketika Nadine mau mengantarnya pulang. Alisa melangkahkan kaki kembali.


"Kamu....kenapa di sini?"

"Aku....hanya ingin tahu keadaanmu!"

"Aku baik-baik saja!"

"Baru pulang?"

"Tadi Nadine mengajakku main ke rumahnya!"

"Oh....!"

"Apakah ada yang penting?"


Ridwan terdiam memandangnya, "aku...., bisakah lain kali kita meluangkan waktu bersama?" tanya Ridwan. Alisa tertegun, "Wan, aku pikir.....mungkin sebaiknya kita menjaga jarak!"

"Apa maksudmu?"

"Kamu benar, Nadine tidak bersalah. Dan tak seharusnya dia terluka, aku....tidak ingin melukainya!"

"Apa!" desis Ridwan, "bukankah kamu bilang, kamu masih mencintaiku?" sekarang Ridwan yang menagih cinta mereka. "tapi sekarang ada seseorang di antara kita, seseorang yang bahkan tidak pantas untuk terluka. Aku tahu sepenuhnya bukan kesalahanmu, akulah yang salah.....aku yang membuatmu pergi. Aku yang membuatmu harus mengingkari janji. Dan mungkin, ini memang pantas untukku!"

"Tidak Alisa!"

"Cukup Wan, apa kamu tidak sadar....pernikahanmu sudah di depan mata. Apa kamu tidak memikirkan perasaan Nadine?"


Buliran bening mulai menggenangi mata Alisa, "bukankah kamu juga bilang....kalau kamu mencintainya. Maka jangan sakiti dia!"

"Alisa....!"

"Sudah malam, sebaiknya kamu pulang!" usir Alisa seraya melangkah tapi Ridwan meraih lengannya untuk menghentikan langkahnya. "kamu yang menagih janjiku, kamu yang memintaku untuk meninggalkan Nadine. Tapi sekarang, kenapa kamu mau yang menyerah?"


"Aku tidak menyerah, hanya.....aku sadar.....!" Alisa menghela nafas dalam, "kita tidak mungkin bisa bersama lagi!" katanya tanpa menoleh. "tapi bagaimana kalau aku ingin kita bersama?" tanya Ridwan. Alisa menolehnya perlahan, menatap mata Ridwan yang menatapnya dalam.


"Mungkin....., akan banyak yang terluka!" sahut Alisa.


Keduanya diam, Ridwan masih mencoba mencerna kalimat itu. Tapi saat ini, entah.....ia sungguh ingin bisa bersama wanita yang ada di hadapannya. Alisa mengalihkan pandangannya seraya melepaskan diri dari tangan Ridwan, tapi pria itu malah meraihnya ke dalam dekapannya.


"Ridwan, lepaskan aku!" tapi Ridwan malah mengencangkan dekapannya, "jangan sekarang, jangan!" pintanya. "aku sungguh sangat merindukanmu, mungkin.....memang tidak sebesar kerinduanmu. Tapi aku ingin bersamamu!" ungkapnya. Alisa terdiam, airmata kembali mengaliri pipinya. Ia sadar bahwa dirinya juga sangat merindukan pria yang kini memeluknya, tapi sekarang ada seseorang yang jauh lebih berhak dari dirinya.


Ridwan menenggelamkan wajahnya di rambut Alisa yang terurai lurus, menikmati harumnya helaian itu. Tapi Alisa justru mendorongnya, Ridwan masih mencoba mempertahankannya dan Alisa semakin kuat mendorong tubuhnya menjauh. Karena Ridwan yang kali ini keras kepala maka Alisa terpaksa melayangkan sebuah tamparan ke pipinya, membuatnya terpaku seketika. Alisa menatapnya dengan nafas tak teratur lalu tanpa bicara ia melangkah ke pintu. Membuka kuncinya dan menghilang ke dalam, menyandarkan dirinya di pintu. Sementara Ridwan masih terpaku di tempatnya berdiri, wajahnya masih ke samping akibat tamparan Alisa. Ia benar-benar menyadari bahwa dirinya memang masih sangat mencintai wanita itu, meski ia juga tak bisa mengingkari perasaannya terhadap Nadine. Wajarkah jika dirinya mencintai dua wanita sekaligus?


*****


"Apa!"


Cheryl terpaku mendengar pernyataan Ryan, "sayang, kita sudah cukup lama pacaran. Orangtuaku terus saja menanyakan kapan kita akan menikah?"

"Jadi kamu mau menikahiku karena desakan orangtuamu?"

"Bukan begitu, aku memang sudah menyiapkan lamaran untukmu. Hanya....orangtuamu di luar negeri terus, lalu bagaimana bisa lamarannya di laksanakan!" keluhnya.


"Bagaimana kalau kamu hubungi orangtuamu?"

"Kalau kamu memang serius ya kamu yang harus datang pada mereka!" suruh Cheryl seraya keluar dari dapur membawa dua gelas minuman, ia berjalan melangkahi kaki Ryan yang bersandar meja kaca. Duduk di sampingnya dan menyodorkan segelas untuknya, pria itu menerimanya dengan segera. Langsung menenggaknya hingga setengah, lalu ia meleyakan gelas itu di meja. Menyandarkan punggungnya kembali ke sofa yang empuk. Cheryl menyeruput sedikit demi sedikit minumannya, menikmati tiap tetes meluncur ke kerongkongannya.


Ryan melirik wanita di sampingnya yang hanya mengenakan kaos yang kedodoran dengan leher terbuka menyamping hingga ke bawah pundaknya, menampilkan kulit mulusnya dengan aroma ivory sabun yang di gunakannya untuk mandi tadi. Kaos putih itu juga cukup panjang hingga menutupi setengah pahanya yang slim. Sebagai seorang balerina, Cheryl memang memiliki tubuh yang sempurna dengan paras yang rupawan.


"Apa kamu tidak mau menikah denganku?" tanya Ryan. Cheryl meliriknya, meletakan gelasnya di meja lalu menatap pria itu. "kamu lebih muda dariku, kenapa tidak mencari gadis yang di bawahmu saja!"

"Hanya 3 tahun lebih muda, itu tak berarti apa-apa."


Cheryl melemparkan sebuah senyuman, "sejauh ini hanya kamu yang mengajakku menikah, aku hanya....!"

Ryan menatapnya lebih dalam, menunggu kelanjutan kalimat itu. "kamu masih belum bisa mencintaiku?" potong Ryan, Cheryl menatapnya lalu melempar pandangannya ke depan. "kalau kamu sudah tahu lalu kenapa kamu tetap bertahan?"


"Karena aku mencintaimu!" aku Ryan, "dan kamu juga tahu....., mungkin aku nggak akan bisa membalasnya!" tambah Cheryl, "aku akan menunggu, menunggu sampai kamu bisa mencintaiku!"


"Cukup Ryan!" seru Cheryl seraya berdiri, "seharusnya kamu tidak memaksakan diri!" tambahnya. Ryan ikut bangkit dari duduknya, meraihkan kedua tangannya ke perut wanita itu dan memeluknya hangat dari samping. "tidak apa-apa, jika kamu belum bisa mencintaiku!" desisnya lembut, membenamkan wajahnya pada rambut Cheryl yang berwarna coklat, menikmati keharumannya. "tapi jangan suruh aku untuk berhenti mencintaimu, karena itu tidak akan pernah terjadi!" bisiknya di telinga Cheryl sambil mempererat dekapannya. Cheryl hanya diam terpaku, matanya memerah. Ia tahu Ryan memang tulus mencintainya, dan cinta seperti itu yang memang ia inginkan. Tapi bukan dari Ryan melainkan dari pria lain. Dari pria yang ia tahu tidak mungkin bisa memberikannya. Sebutir airmata mengelinding dari matanya.


*****


Alisa sudah kembali membuka toko bakerynya, bagaimana pun Fitri dan Ita membutuhkan pekerjaan. Mereka sudah cukup nyaman bekerja di sana. Alisa mengangkat hpnya yang berdering sejak tadi, itu Nadine.


"Assalamu alaikum.....!"

"Waalaikum salam, Alisa. Nanti aku jemput ya, kita berangkat bareng!"

"Ehm....kamu di antar sopir?"

"Tidak, tadi aku minta Ridwan buat jemput aku!"


Ada kediaman sejenak sebelum Alisa membuka mulutnya kembali, "Nadine, maaf. Mungkin kita tidak bisa berangkat bareng karena pagi ini aku mau ke makam mama dulu sebelum ke sanggar!"

"Oh....begitu, ya sudah!" ada nada kecewa dari suara Nadine, "tidak apa-apa, nanti aku langsung ke sanggar saja. Kita ketemu di sana saja ya!"

"Iya, maaf ya!"

"Tidak apa-apa!"


Sebenarnya Alisa hanya tidak ingin bertemu Ridwan dalam keadaan seperti itu, dalam posisi bertiga seperti biasa. Ia tidak tahan melihat Nadine begitu dekat dengan pria itu, dan semakin sering ia bertemu Ridwan maka akan semakin sulit untuk bisa merelakannya. Sementara ia juga tak ingin melukai hati sahabatnya, sahabat yang baru ia dapatkan. Semoga saja seiring berlalunya waktu ia bisa melupakan Ridwan dari hatinya. Tapi apakah itu bisa?


Ridwan pamitan dengan Ibunya di meja makan, tapi sebelum anaknya beranjak Dewi menghentikannya dengan sebuah pertanyaan.


"Ibu dengar Alisa sudah keluar dari panti rehab, bahkan dia kembali ke sanggar yang sama!" seru Dewi, "apakah dia kenal baik dengan Nadine?"


"Kenapa Ibu tanyakan itu?"

"Alisa dan Nadine satu sanggar sekarang, dan kamu sering mengantar-jemput Nadine. Tentu saja kamu sudah ketemu lagi dengan Alisa kan?"


Ridwan memandang ibunya, ia menghela nafas dalam. "mereka bahkan berteman!" sahutnya, "apa?" seru Dewi. "lalu....apakah Nadine tahu siapa Alisa?"

"Sejauh ini.....Nadine belum tahu tentang masalalu kami!"

"Kalau begitu kamu harus minta Alisa untuk menjauhi Nadine!"

"Kenapa?"

"Kenapa, kamu tahu siapa Alisa. Dia pasti bisa membahayakan Nadine!" cemas Dewi, "itu tidak akan terjadi Bu!" bela Ridwan. Dewi menghela nafas dengan berat, "Alisa tahu kamu dan Nadine bertunangan?"

"Iya, dia tahu!"

"Lalu apa reaksinya?"


Ridwan kembali terdiam untuk sejenak, "Bu, sejauh ini kami baik-baik saja. Dan mungkin.....aku akan memikirkan ulang pernikahanku dengan Nadine!" jujurnya.

"Apa!" seru Dewi dengan suara tinggi, "apa yang baru saja kamu katakan?" tambah Dewi, "Ridwan, kamu tidak serius kan dengan kalimatmu itu?"


"Bu, aku dan Alisa masih saling mencintai. Aku pernah berjanji padanya untuk tidak mencintai wanita lain, tapi.....aku membiarkan Nadine datang dalam hidupku!"

"Lalu apa menurutmu Nadine pantas menerima itu? Pernikahan kalian sudah di depan mata dan kamu berniat membatalkannya?"

"Bukan begitu!"

"Tidak Ridwan, Ibu tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Lagipula sampai kapanpun, Ibu tidak akan bisa menerima Alisa lagi di keluarga kita setelah apa yang dia lakukan!"

"Bu!"

"Pokoknya kamu harus menjauhi Alisa!" tegas Ibunya lalu meninggalkan meja makan.


Ridwan terdiam, apakah ia terlalu cepat mengatakan hal itu pada Ibunya? Ia tahu Ibunya memang tidak mungkin lagi bisa menerima Alisa sejak Alisa masuk panti rehab, itu sebabnya dulu ia memilih pergi ke Oxford. Tapi sekarang Alisa bahkan berubah menjadi seseorang yang jauh lebih baik, lebih dewasa. Dia bahkan juga berfikir tidak ingin melukai Nadine dengan memilih menjauhinya, dan itu justru membuatnya semakin tak ingin melepaskan wanita itu lagi.


Kedua adiknya hanya menatapnya diam, Ridwan melirik keduanya lalu menyambar tasnya dan pergi ke pintu depan. Di perjalanan ia memungut hpnya dan menekan sebuah nomor,


"Hallo Nadine!"

"Kamu telepon lebih awal, kenapa?"

"Maaf, mungkin aku tak bisa menjemputmu. Ada meeting mendadak!"

"Apa?"


**********

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun