Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Cinta yang Terlarang #28 ; Maafkan Aku, Kita Harus Pisah!

28 Oktober 2014   15:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:27 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Jesie mendatangi Radit dan menceritakan kegalauan hatinya. Ternyata setelah dari dokter Axel juga langsung ke rumah Radit dan ia mendengar semua percakapan Radit dan Jesie. Akhinya Axel mengusir Jesie daei rumah Radit, ia bahkan menyuruh Jesie pergi dari hidupnya.


Radit menatap sahabatnya yang masih di pintu,baru kali ini ia melihat Axel seperti itu. Ia bisa mngerti jika sahabatnya bersikap begitu, tapi ini sangat tidak adil bagi Jesie. Gadis itu begitu mencintainya, bahkan dia tetap mau berpacaran dengan Axel meski ia tahu keadaan sahabatnya itu, gadis itu masih mau memeluknya, masih mau boncengan motor bersamanya. Mungkin pacarnya sendiri, Dira. Akan meninggalkannya jika posisi dirinya ada di posisi Axel. Tanpa terasa airmatanya mengalir deras, selama ini ia telah salah menilai Jesie. Ia pikir Jesie tak beda dari Amanda yang akhirnya akan menyakiti Axel, tapi gadis itu memberikan cinta yang tak di miliki siapapun terhadap sahabatnya. Andai ada yang bisa ia lakukan? Ia menyeka airmatanya ketika di lihatnya Axel berdiri dan menjauh dari pintu.

Axel melangkah ke arahnya, "Antar Jesie pulang ke rumahnya!" desis Axel.
"Xel, menurut gue loe nggak se...!"
"Antarkan Jesie pulang!" potongnya dengan tegas. Ia menatap Radit dalam. Radit mengerti arti tatapan itu. Ia menepuk bahu sahabatnya lalu berjalan ke pintu. Jesie masih bersandar di depan pintu dengan isaknya. Ketika ada suara kunci terbuka, ia segera bangkit. Pintu itu terbuka.

"Axel...!" girangnya, tapi kegembiraannya sirna begitu melihat siapa yang muncul di depannya. Radit segera menutup pintunya lagi rapat-rapat. Jesie melirik ke belakang Radit, berharap Axel muncul juga.

"Dit, Axel mana?"
"Jes, gue anterin loe pulang ya!" tawarnya.

Jesie tertegun, ia manatap Radit dan menggeleng pelan.

"Nggak, gue mau ketemu sama Axel!" tolaknya.
"Jes!"
"Tolong panggilkan Axel keluar, gue mau ketemu sama dia!" serunya hendak menerobos. Tapi Radit langsung menghalanginya.
"Minggir Dit, biarin gue masuk!" paksanya.
"Jes!" seru Radit meraih kedua pundaknya. Menghentikan gadis itu. "Please!" pinta Radit. Gadis itu terdiam.
"Jes, sekarang bukan saat yang tepat. Mungkin Axel butuh waktu!" jelas Radit.

Sekali lagi Jesie menggeleng, airmatanya deras meluncur ke bawah. Perlahan ia menunduk dan terisak, merebahkan kepalanya ke tubuh Radit. Radit bisa merasakan apa yang gadis itu rasakan, tapi saat ini ia tak bisa berbuat apa-apa.

Sementata Axel mengintip dari jendela, di balik gorden. Jesie masih menangis, tiba-tiba saja tangisnya hilang, ia terkulai dan hampir tersungkur. Radit langsung menangkapnya sebelum tubuh gadis itu menyentuh lantai.

"Jes, Jesie!" seru Radit.

Melihat hal itu Axel langsung berhambur keluar dan menghampiri keduanya.

"Jes!" desisnya hendak menyentuh gadis itu, tapi ketika tangannya hampir tiba di wajah Jesie ia menghentikan gerakannya. Menatap wajah Jesie lalu melirik tangannya sendiri. Ia langsung menarik tangannya kembali dan berdiri. Radit hanya diam menyaksikannya.

"Jes, Jesie!" Radit mencoba menyadarkannya tapi sepertinya gadis itu benar syok.
"Bawa dia pulang!" desis Axel.

Radit menoleh padanya.

"Xel, mungkin...!"
"Gue bilang anterin dia pulang!" teriaknya lalu kembali masuk ke dalam rumah, menyandarkan punggungnya di pintu. Nafasnya terengah-engah, tangisnya pun pecah. Ia kembali membiarkan dirinya bersimpuh di lantai, menangis seperti anak kecil.

Hatinya menjerit, kenapa selalu begini, Apakah dirinya tak pantas untuk bahagia? Di saat ia hendak mendapatkan sebuah cinta, pasti akan terenggut darinya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tak membiarkan Jesie lepas dari pelukannya. Tapi jika keadaannya seperti ini, bukankah ia harus melepaskan gadis itu? Kenapa semua itu terjadi padanya?

Radit segera membawa tubuh Jesie ke mobil dan melaju kencang, awalnya ia berniat membawa Jesie ke rumah sakit. Tapi sepertinya, membawanya ke rumahnya akan lebih baik.

*****

Semua orang masih di rumah Joni, menunggu Jesie pulang. Tapi sepertinya semua mulai khawatir.

"Apa menurutmu Jesie akan baik-baik saja?" tanya Siska pada Joni yang sedang mondar-mandir di depan mereka. Joni berhenti, ia menatap Siska lalu menggeleng pelan. Ia kembali duduk.

"Selama ini Jesie tidak pernah pacaran, karena memang aku yang melarangnya. Selain itu....rasanya dia juga tak pernah jatuh cinta sebelum bertemu Axel!" ia menghela nafas, "aku sangat mengenalnya, hal ini tidak akan mudah baginya!" seru Joni.

"Kenapa dia belum kembali juga?" cemas Siska.
"Biar ku hubungi Axel." seru Roni.

Ia mencoba menelpon adiknya, tapi sama sekali tak ada tanggapan. Ia mengulanginya berkali-kali, masih sama. Semua jadi bertambah khawatir. Suara sebuah mobil terdengar di halaman rumah. Joni langsung bangkit dan berlari keluar di ikuti yang lain.

Radit menggendong Jesie di deoan dadanya, Joni sangat terkejut melihat putrinya tak sadarkan diri. Ia langsung menghampirinya,

"Apa yang terjadi?" serunya.
"Maaf om, Jesie pingsan." jawabnya.

Joni mengambil tubuh putrinya dari pemuda itu. Roni juga menghampiri mereka.

"Radit, apa yang terjadi?"

*****

Joni membaringkan Jesie di kamarnya, putrinya adalah seorang gadis yang kuat. Selama ini dia tak pernah pingsan meski sedang sakit. Tapi belakangan ini masalah yang terjadi membuatnya jadi lemah. Karena sepertinya gadis itu tidak apa-apa maka mereka tak memanggil dokter. Membiarkannya beristirahat saja.

Radit menceritakan semua kejadian di rumahnya kepada semua orang. Semua orang terdiam, setelah menceritakan semuanya Radit pamit pulang karena ia juga khawatir dengan keadaan Axel. Roni ikut bersamanya.

Ketika sampai di rumah ternyata Radit dan Roni menemukan Axel di sana. Axel pergi beberapa saat setelah mobil Radit membawa Jesie. Hpnya juga nonaktif.

Sementara setelah sadar Jesie hanya diam membisu, tak mau mengucap sepatah katapun. Kondisinya malah lebih buruk dari tempo hari. Itu membuat Joni semakin khawatir, tapi saat ini ia pun tak tahu harus berbuat apa. Keadaan ini membuat semua orang hanya bisa pasrah dengan apa yang sudah di gariskan.

Jesie duduk bersandar di ranjangnya, pandangannya kosong. Tapi pikirannya melayang ke masa-masa indah saat bersama Axel. Saat pertama kali mereka bertemu, saat di keroyok preman. Saat terjebak hujan, bermain air di telaga. Sampai saat mereka berkuda bersama, semua itu membuat Jesie menangis mengingatnya jika sekarang semua harus berakhir seperti ini. Ia sungguh tak sanggup jauh dari Axel di saat seharusnya ia ada di sampingnya untuk bisa terus memberinya semangat. Kenapa Axel memutuskan seperti ini? Apa dia tidak tahu betapa cinta ini begitu dalam, kenapa harus begini?

Jesie kembali terisak dan membenamkan wajahnya.

Hari berlalu dengan suasana yang berbeda dari biasanya. Axel masih masuk sekolah selama beberapa hari, tapi ia tak melihat Jesie. Katanya ia ijin untuk beberapa hari. Setiap hari Reta datang ke rumah sahabatnya untuk mengajaknya ngobrol, meski yang di ajak bicara sama sekali tak menyahut. Reta bercerita hanyak hal. Hanya satu yang tak ia singgung, yaitu soal Axel. Karena hal itu pasti akan memnuat Jesie menangis. Berkat kehadiran Reta, Jesie sudah mau makan meski sedikit. Ia juga mulai bisa tersenyum lagi. Beberapa hari berpisah dengan Axel rasanya seperti sudah bertahun-tahun, setiap malam ia akan menangis sampai tertidur di atas bantalnya yang basah.

Seminggu setelah hari itu, Jesie kembali ke sekolah. Tapi sayang, giliran Axel yang memutuskan untuk tidak datang lagi ke sekolah. Ia melakukan rawat jalan di rumah, kondisinya juga makin memburuk. Itu karena dia tak pernah meminum obat yang di berikan dokter. Axel selalu memantau keadaan Jesie dari teman-temannya, dan ketiga temannya tahu hal itu dari Reta.

Axel merasa lega karena Jesie sudah kembali ke sekolah dan sudsh mulai terbiasa dengan keadaannya yang sekarang. Sepertinya gadis itu akan kembali seperti dulu, periang, pemberani. Semogabsaja Jesie akan baik-baik saja dan bisa melupakan dirinya dengan cepat.

**********

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun