"Jes!" desisnya hendak menyentuh gadis itu, tapi ketika tangannya hampir tiba di wajah Jesie ia menghentikan gerakannya. Menatap wajah Jesie lalu melirik tangannya sendiri. Ia langsung menarik tangannya kembali dan berdiri. Radit hanya diam menyaksikannya.
"Jes, Jesie!" Radit mencoba menyadarkannya tapi sepertinya gadis itu benar syok.
"Bawa dia pulang!" desis Axel.
Radit menoleh padanya.
"Xel, mungkin...!"
"Gue bilang anterin dia pulang!" teriaknya lalu kembali masuk ke dalam rumah, menyandarkan punggungnya di pintu. Nafasnya terengah-engah, tangisnya pun pecah. Ia kembali membiarkan dirinya bersimpuh di lantai, menangis seperti anak kecil.
Hatinya menjerit, kenapa selalu begini, Apakah dirinya tak pantas untuk bahagia? Di saat ia hendak mendapatkan sebuah cinta, pasti akan terenggut darinya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tak membiarkan Jesie lepas dari pelukannya. Tapi jika keadaannya seperti ini, bukankah ia harus melepaskan gadis itu? Kenapa semua itu terjadi padanya?
Radit segera membawa tubuh Jesie ke mobil dan melaju kencang, awalnya ia berniat membawa Jesie ke rumah sakit. Tapi sepertinya, membawanya ke rumahnya akan lebih baik.
*****
Semua orang masih di rumah Joni, menunggu Jesie pulang. Tapi sepertinya semua mulai khawatir.
"Apa menurutmu Jesie akan baik-baik saja?" tanya Siska pada Joni yang sedang mondar-mandir di depan mereka. Joni berhenti, ia menatap Siska lalu menggeleng pelan. Ia kembali duduk.
"Selama ini Jesie tidak pernah pacaran, karena memang aku yang melarangnya. Selain itu....rasanya dia juga tak pernah jatuh cinta sebelum bertemu Axel!" ia menghela nafas, "aku sangat mengenalnya, hal ini tidak akan mudah baginya!" seru Joni.
"Kenapa dia belum kembali juga?" cemas Siska.
"Biar ku hubungi Axel." seru Roni.