Hari itu Airin terlihat cukup menghindari Bosnya, di pagi hari ia hanya memberi salam pagi yang hambar. Waktu istirahat ia sudah kabur duluan dari meja, agar tak mendengar ajakan sang Bos untuk makan bersama atau bicara.
Tapi saat jam pulang kerja, pria itu sudah keluar duluan dari ruangannya tanpa menyapa siapapun. Airin pikir itu bagus, mungkin dia akan langsung pulang.
Tapi begitu dirinya sampai di apartemen, pria itu sudah bertengger di depan pintunya dan terlanjur melihatnya melangkah ke sana. Dirinya memang menghentikan langkah, mau berbalik dan pergi rasanya sudah tak mungkin. Ia pun melanjutkan langkahnya menuju pintu apartemennya perlahan. Kini mereka berdiri berhadapan, saling bertatapan dalam diam.
"Aku tahu kau menghindariku, itu sebabnya aku sengaja menunggumu di sini!"
"Aku lelah dan mau istirahat, sebaiknya kau pergi!"
"Kita masih punya pembicaraan yang belum selesai,"
"Tak ada lagi yang perlu di bicarakan!"
"Airin, ada banyak hal yang harus di luruskan."
Mereka kembali diam, keheningan menyelimuti. Memang benar masih banyak hal yang perlu di selesaikan.
"Mungkin lebih baik kita bicara di tempat lain!"
Mereka pun pergi ke coffe shop terdekat, dua cangkir capucinno terhidang di meja mereka. Belum tersentuh, dan sudah menurun suhunya. Tapi keduanya masih diam, tak tahu kata apa yang akan terlontar untuk menghilangkan senyap yang menyelubungi.
"Aku minta maaf, karena datang padamu dengan cara seperti ini. Kau yang memutuskan pergi dariku tanpa aku tahu alasannya. Tapi aku tahu, apa yang kau ucapkan 7 tahun lalu......semuanya bohong!" ungkap Randi.
Airin masih diam.
"Kau tidak suka aku bohong padamu kan, lalu kenapa kau bohong paraku? Tentang perasaanmu, tentang apa yang terjadi....., itu juga cukup menyakitkan. Kecelakaan itu....., adalah kecerobohanku. Keluargaku memutus kontak dari masalalu karena aku koma, mungkin....lebih dari setahun."
Airin mendongak, menatapnya.
"Aku sempat duduk di kursi roda tapi aku tak ingin seperti itu, pada akhirnya aku bertekad rutin menjalani terapi. Setelah aku mulai bisa menggunakan tongkat, aku mulai mencari informasi tentangmu. Sangat sulit, kau menghilang setelah wisuda. Aku...., aku tahu apa yang papaku lakukan terhadap keluargamu, aku ingin minta maaf tentang hal itu. Mereka sudah menyadarinya!"
"Dan kenapa kau yang harus minta maaf, aku hampir saja kehilangan ayahku di penjara karena perbuatan papamu. Aku lebih rela diriku yang di sakiti, asal jangan orangtuaku!" airmata menetes dari pelupuknya. "aku mencoba melupakannya, mungkin aku sudah memaafkan papamu tapi untuk melupakan hal itu...., itu sangat sulit!"
"Tapi kau masih mencintaiku kan?"
"Aku tidak tahu, yang aku tahu....., aku hanya ingin tahu kalau kau masih hidup dan baik-baik saja. Tidak lebih dari itu!"
"Begitukah?" desis Randi meragukan pernyataan Airin.
Airin mencoba menghapus airmatanya, tapi kembali mengalir.
"Apa kau tak ingin memberi kesempatan untuk kita berdua. Untuk cinta kita?"
Airin menatapnya dengan mata basah, ia melihat harapan yang besar di mata Randi, untuk mereka bisa bersatu. Tapi entah kenapa ia justru takut untuk memulainya lagi.
"Mungkin....., aku memang mencintaimu. Tapi aku tidak tahu, apakah aku mencintaimu sebagai Randi atau sebagai Arjuna yang belakang hadir dalam hidupku. Tapi mungkin....., akan lebih baik jika kita mencari jalan masing-masing!"
Randi terdiam, jujur. Ia cukup kecewa mendengar hal itu, tapi mungkin gadis itu benar. Dirinya telah menjadi dua orang dalam hidupnya. Dan itu akan membuat hubungan mereka makin rumit. Jika seandainya ia tak bertukar tempat dengan temannya, mungkin akan jauh lebih baik. Tapi ia juga tak tahu akan seperti apa hubungan mereka saat itu.
Perlahan Randi mengangguk.
"Kau benar, banyak pria yang jauh lebih baik dari aku. Yang mungkin, bisa membuatmu lebih bahagia!" Randi menghela nafas panjang menahan airmata yang juga sudah tak sabar ingin keluar. "Aku bahagia.....kita pernah memiliki dua bulan hubungan yang baik, belakangan ini. Itu memang singkat, tapi itu sangat berarti bagiku. Terima kasih...., kau memberiku kesempatan untuk kembali dekat denganmu. Meski.....sebagai orang lain!"
Airin masih diam mendengarkan.
"Apakah.....kita benar harus berakhir di sini? Setidaknya.....kita tahu alasan untuk saling berpisah!"
"Sekarang kita berdua tahu apa alasannya, asal kau tidak duduk di sini sampai jamuran atau mobilmu tabrakan saat pulang!" desis Airin dengan sedikit tawa, "agar peristiwa itu tidak terulang, rasanya tidak lucu kalau harus terjadi dua kali!"
Randi juga menyunggingkan senyum mendengarnya, "aku janji, itu tidak akan terjadi. Aku juga tidak mau wajahku di operasi dua kali. Itu sungguh tidak menyenangkan!"
Ada tawa ringan yang beradu dari mulut mereka.
"Kau tidak akan resign kan dari kantor?" tanya Randi. Airin menatapnya. "jangan hanya karena masalah kita kau harus mengorbankan pekejaanmu, akan merasa bersalah jika itu terjadi!"
"Kalau pun aku resign, aku tidak yakin bu Rani akan mengijinkanku. Dia bahkan sudah menyiapkan banyak pekerjaan yang membuatku akan sangat sibuk ke depan!"
*****
Airin beranjak lebih dulu, ia termangu selama perjalanan pulang. Karena dekat ia berjalan kaki saja, Randi masih diam di tempat semula. Perpisahan ini memang menyakitkan, bukan akhir seperti ini yang ia inginkan. Kehilangan gadis yang di cintainya lagi, benar-benar kehilangan. Tujuh tahun berpisah saja sudah seperti tujuh kehidupan menahan rindu. Bagaimana kalau sekarang harus berpisah seterusnya, rasanya jiwanya seperti mati. Tapi jika ia membiarkan dirinya mati dan sampai terdengar Airin, pasti gadis itu akan kembali merasa sebagai penyebabnya. Menyisakan rasa bersalah yang besar.
*****
Esoknya, Airin tak melihat Randi masuk kantor. Justru bu Rani memperkenalkan Direktur Marketing yang baru dengan nama Arjuna Arga Wijaya. Beberapa orang memang bingung karena Direktur Marketing yang baru memiliki nama depan yang sama dengan nama sebelumnya.
Saat makan siang....
"Memangnya Juna kemana Rin?" tanya Vida.
"Maksudmu bosku, dia ada kan!"
"Bukan Arjuna yang sekarang, kau tahu kan maksudku?"
"Entahlah, ku rasa dia resign!"
Vida memandang sahabatnya dengan tatapan selidik.
"Ada apa di antara kalian? Sejak resepsiku....ku lihat kalian jadi aneh. Kalian bertengkar, putus?"
"Putus, apa maksudnya putus? Kami tak pernah pacaran!"
"Beberapa hari terakhir, kamu nampak menghindarinya. Dia membuat kesalahan?"
"Aku sedang tidak mau membahasnya!"
Vida yakin terjadi sesuatu dengan mereka berdua. Maka saat sudah kembali ke kantor ia pun menelpon Arjuna ( Randi ) tapi nomornya sudah tak aktif lagi. Padahal ia ingin sekali tahu apa yang terjadi.
Karena selama beberapa hari memang tak ada kabar sama sekali tentang Arjuna Ramandika, Vida menemui bu Rani dan menanyakannya secara pribadi. Awalnya bosnya itu tak mau cerita, tapi akhirnya karena ia tahu hubungan Vida dan Airin memang sangat dekat. Ia pun akhirnya menceritakan semuanya, tentang siapa sebenarnya Arjuna Ramandika. Setelah tahupun Vida tak mencoba menanyakan hal itu pada sahabatnya. Ia malah pura-pura tak tahu saja, asalkan temannya itu tidak kembali terpuruk seperti selama ini. Tapi ia memang jarang melihat senyum di wajah Airin lagi, bahkan bisa di hitung berapa kali sahabatnya itu tersenyum. Sejujurnya ia mulai khawatir.
*****
Saat masih sibuk di mejanya, telepon di samping tangannya mengeluarkan bunyi tut...... Ia segera mengangkatnya.
"Iya pak!" jawabnya.
"Bisakah ke ruanganku sebentar!"
Airin memasuki ruangan Arjuna, mereka kini duduk berhadapan dalam diam.
"Kau sudah tahu siapa aku kan?" desisnya.
Airin mengangguk saja.
"Aku senang karena hal itu tidak mengganggu pekerjaanmu. Tapi satu yang tidak aku suka, kau tak pernah tersenyum!"
Airin menatapnya lebih dalam.
"Jika kau ada waktu di jam istirahat nanti. Maukah makan siang denganku, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Sangat penting!"
Airin berfikir sejenak, ia mulai curiga bahwa yang ingin di bicarakan bosnya adalah tentang Randi! Tapi ia mengangguk dan menyanggupi.
"Iya!"
"Bagus, sekarang kau bisa kembali ke mejamu!"
*****
Kini mereka sudah duduk berdua di sebuah restoran. Suasana masih cukup dingin.
"Kau pasti sudah bisa menebak apa yang akan aku bicarakan, itu benar. Ini....tentang temanku!" seru Arjuna, "Sejujurnya aku kecewa dengan keputusan kalian untuk berpisah, maaf jika aku ikut campur. Aku memang baru mengenal Dimas saat dia masuk ke fakultas yang sama denganku, tapi aku dua semester di atasnya. Tapi ajaibnya kami cukup dekat sebagai senior dan junior. Kami bahkan pada akhirnya dapat menyeselaikan skripsi bersama. Dia cukup jenius hingga bisa menyandang Cume Laude hanya dalam waktu tiga tahun!"
"Dia berubah haluan dari cita-citanya menjadi arsitek, kau tahu kenapa? Untukmu, jika dirinya berada di jalur yang sama ia pikir itu akan lebih mudah untuk kembali bersamamu!" jelas Arjuna. "saat tahu dimana kau bekerja dan kebetulan aku akan menjadi bosmu. Aku menawarinya untuk meminjam jabatanku di sana, tentunya kau tahu sebagai anak tunggal Dimas akan meneruskan bisnis keluarganya. Aku tahu apa yang di lakukan om Mahardika terhadapmu dulu, beliau tak sempat minta maaf padamu karena sekarang beliau sudah meninggal. Dia memberitahukan semua perbuatan pada Dimas di hari terakhirnya menghela nafas. Dia menyesali perbuatannya setelah tahu apa akibat dari perbuatannya."
Airin menatapnya, matanya sembab dengan cerita Arjuna.
"Aku tahu bagaimana usaha Dimas mencarimu, aku tahu bagaimana hampir tiap hari dia menceritakanmu padaku. Dia bisa saja memilih wanita yang mengejarnya di Sidney, tapi ternyata cintanya padamu begitu kuat dan besar. Dia ingin membuat dirinya pantas bersamamu, dia ingin....kau satu-satunya yang ada dalam hidupnya. Jika kau ingin menyalahkan seseorang karena identitas palsunya selama ini, harusnya kau menyalahkan aku. Karena pertukaran tempat kami adalah ideku, dan menurutku.....mengingat kesendirianmu selama ini, bukankah kau juga masih mencintainya. Mencintai orang yang sama, selama dia menjadi Arjuna....dia tetap menunjukan siapa dirinya kan. Tetap menjadi Randi yang kau kenal. Lalu apa masalahnya?"
Airin terdiam.
"Sore ini Dimas akan terbang ke Sidney, jika kau ingin mengubah pikiranmu ku rasa belum terlambat. Dan....!"
Arjuna meletakan sebuah kertas di atas meja. Alamat Dimas di Sidney.
"Mungkin itu akan berguna!" katanya lalu beranjak.
Setelah pria itu pergi, baru airmata Airin mengalir deras.
*****
Bandara Soekarno - Hatta.
Dimas bangkit dari bangku, ia menoleh ke belakang untuk beberapa saat sebelum memasuki gate. Berharap akan ada yang muncul di sana. Tapi yang ia harapkan sama sekali tak nampak, mungkin memang harus berakhir seperti ini. Jika ia tak bisa bersamanya, biarlah kenangan mereka menemaninya menjalani hari. Mungkin suatu hari Airin akan menemukan pria yang jauh lebih baik darinya, pria yang bisa membuatnya bahagia. Dan ia akan ikut tersenyum dengan kebahagiaan itu.
Randi duduk di kursinya, menunggu pesawat tinggal landas. Ia memandang foto seorang wanita di layar laptopnya. Foto yang ia ambil di pulau hari itu, juga beberapa foto yang mereka miliki selama dua bulan bersama, meski bukan sebagai sepasang kekasih. Ia tersenyum memandangi semua memori itu, tapi ada butiran bening yang menetes ke keyboard laptopnya.
Suara pramugari yang terdengar memberitahukan bahwa pesawat akan segera lepas landas membuatnya harus menutup laptopnya. Ia menghapus airmata yang menggelinding dari pelupuknya, lalu ia mencoba memasang senyum di wajahnya.
**********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H