Erving Goffman mengembangkan teori dramaturgi sebagai respons terhadap pengamatan mendalamnya terhadap interaksi sosial di era pasca Perang Dunia II, ketika perubahan signifikan terjadi dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Smith (2006), teori dramaturgi lahir dari kepekaan Goffman terhadap dinamika urbanisasi, budaya massa, dan kontrol sosial yang menguat pada masa tersebut. Perkembangan masyarakat industri yang ditandai oleh urbanisasi cepat dan semakin dominannya media massa memunculkan kebutuhan baru bagi individu untuk menyesuaikan perilaku mereka dalam berbagai konteks sosial. Dalam kondisi ini, interaksi antarindividu menjadi lebih formal, teratur, dan berorientasi pada manajemen impresi, yang menurut Goffman, menyerupai aktor di atas panggung teater.
Konteks sosial dan politik di mana Goffman hidup sangat mempengaruhi teorinya. Sebagaimana dicatat oleh Goffman et al., (1997) dalam The Goffman Reader, Goffman tumbuh di masa setelah Perang Dunia II, ketika tekanan sosial untuk berperilaku sesuai norma dan menjaga citra diri di ruang publik sangat kuat. Masa ini juga ditandai dengan meningkatnya kontrol sosial dan pengawasan terhadap individu, baik dari negara maupun masyarakat, yang mengharuskan orang untuk terus-menerus menyesuaikan diri dengan harapan sosial. Era ini melihat peningkatan kekhawatiran terhadap pengelolaan identitas, baik dalam hubungan interpersonal maupun di dalam sistem sosial yang lebih besar, yang semuanya menjadi tema sentral dalam pemikiran Goffman.
Hubungan Goffman dengan kontrol sosial pasca-Perang Dunia II, yang mencakup budaya massa dan urbanisasi, memengaruhi pendekatannya terhadap bagaimana individu di masyarakat modern harus terus-menerus "berperan" untuk menjaga kredibilitas dan identitas mereka di depan publik. Goffman melihat interaksi sosial sebagai sebuah panggung besar di mana individu harus menjaga "wajah" mereka sesuai dengan harapan sosial. Ini menjadi dasar dari teori dramaturgi Goffman, di mana ia menggambarkan kehidupan sehari-hari sebagai serangkaian pertunjukan yang diatur untuk memenuhi ekspektasi publik dan menjaga harmoni sosial. Dengan demikian, pengembangan teori dramaturgi oleh Goffman tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga merupakan refleksi dari kondisi sosial-politik zamannya. Urbanisasi, kontrol sosial yang meningkat, dan kebutuhan untuk memanipulasi impresi di hadapan publik menjadi fenomena yang diamati oleh Goffman dan diartikulasikan dengan kuat dalam karyanya.Â
Buah Pemikiran Goffman yang Mengungkap Sandiwara Kehidupan Sosial
Teori dramaturgi yang diperkenalkan oleh Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959) memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana individu berperilaku dalam interaksi sosial dengan menggunakan analogi teater. Goffman berpendapat bahwa kehidupan sosial adalah serangkaian pertunjukan di mana individu memerankan berbagai peran tergantung pada situasi dan konteks. Ide dasarnya adalah bahwa setiap individu, layaknya aktor, berusaha mempengaruhi dan mengelola kesan yang ditangkap oleh orang lain, melalui apa yang disebut sebagai impression management (manajemen impresi).
Dua konsep utama dalam teori ini adalah front stage dan back stage. Front stage adalah tempat di mana individu menunjukkan perilaku yang dapat diterima oleh publik sesuai dengan norma sosial dan harapan yang ada. Misalnya, ketika seseorang berada dalam situasi formal seperti di tempat kerja, mereka cenderung menunjukkan perilaku yang profesional, menjaga sopan santun, dan mengikuti aturan yang berlaku. Di panggung depan, individu secara aktif berusaha menjaga citra diri yang sesuai dengan ekspektasi audiens mereka. Sebaliknya, back stage adalah ruang privat di mana individu dapat bersantai dan melepaskan diri dari peran formal yang harus mereka mainkan di front stage. Di sini, orang-orang menunjukkan sisi diri yang lebih alami, autentik, dan kadang-kadang tidak sesuai dengan norma-norma yang diharapkan. Misalnya, Goffman menyatakan bahwa di ruang ini, individu bisa melakukan persiapan, merencanakan, atau bahkan memikirkan strategi bagaimana mereka akan tampil kembali di front stage.
Lebih jauh, Goffman menjelaskan bahwa dalam setiap interaksi sosial, ada komponen lain yang mendukung manajemen impresi tersebut, seperti penggunaan alat bantu atau props (seperti pakaian, gaya bicara, dan lingkungan fisik) yang mendukung peran yang dimainkan individu. Dalam konteks ini, teori dramaturgi bukan hanya menjelaskan bagaimana orang memerankan berbagai peran di berbagai situasi, tetapi juga bagaimana mereka mengatur setiap elemen dari presentasi diri mereka untuk mencapai kesan yang diinginkan dari audiens mereka. Melalui pendekatan ini, Goffman menyadarkan kita bahwa kehidupan sosial tidak hanya berisi tindakan spontan atau natural, tetapi sering kali merupakan hasil dari proses yang direncanakan dan terstruktur, di mana individu terus berusaha menavigasi dan mengelola persepsi orang lain terhadap mereka. Teori ini memberikan wawasan yang kuat tentang bagaimana identitas, kekuasaan, dan hubungan sosial dibangun dan dinegosiasikan dalam kehidupan sehari-hari
Relevansi Dramaturgi dengan Politik Gender
Dua karya penting yang mengaplikasikan pemikiran dramaturgi dalam politik, yakni The Dramaturgy of Politics oleh Merelman (1969) dan Dramaturgy and Political Mystification oleh Welsh (1985), keduanya menawarkan perspektif berbeda namun saling melengkapi dalam memahami kehidupan politik sebagai sebuah pertunjukan. Kedua karya ini sama-sama menyoroti bahwa politik modern lebih dari sekadar perdebatan ideologis atau kebijakan publik. Politik adalah panggung besar di mana politisi berjuang untuk mengontrol persepsi publik melalui pementasan yang cermat. Di satu sisi, Merelman melihat bagaimana politisi menggunakan teknik dramatik untuk menarik dukungan, sementara Welsh mengungkap bagaimana elit politik menggunakan pementasan ini untuk menutupi ketidaksetaraan yang ada dan mempertahankan dominasi kelas. Dengan demikian, teori dramaturgi menjadi alat yang kuat untuk memahami bagaimana kekuasaan dan otoritas dibentuk, dipertahankan, dan bahkan ditentang dalam sistem politik kontemporer.
Pendekatan dramaturgi ini relevan dalam konteks politik gender, terutama dalam menganalisis bagaimana perempuan di panggung politik sering kali harus menghadapi tantangan yang lebih besar dalam manajemen impresi dibandingkan rekan laki-laki mereka. Perempuan tidak hanya harus membuktikan kompetensi politik mereka, tetapi juga harus beradaptasi dengan ekspektasi sosial yang lebih ketat terkait peran gender. Di tengah sistem yang didominasi oleh laki-laki, politisi perempuan sering kali harus menggunakan female subjectivity sebagai sebuah strategi politik yang efektif (Savirani et al., 2024).
Dari Peran Sosial Hingga Manajemen Impresi: Kontekstualisasi Politik Gender di Indonesia
Dalam konteks politik gender di Indonesia, konsep peran sosial yang dijelaskan oleh Goffman sangat relevan, terutama karena politisi perempuan sering kali dihadapkan pada ekspektasi sosial yang lebih rumit dibandingkan dengan rekan laki-laki mereka. Perempuan yang memegang posisi di ruang publik, seperti sebagai anggota parlemen, menteri, atau kepala daerah, harus memainkan peran sosial yang tidak hanya sesuai dengan tuntutan posisi mereka tetapi juga dengan norma-norma gender yang berlaku di masyarakat. Seperti yang dikatakan Goffman, "A status, a position, a social place is not a material thing, to be possessed and then displayed; it is a pattern of appropriate conduct, coherent, embellished, and well-articulated" (Goffman, 1959, p. 75). Dalam politik Indonesia, proses kampanye caleg perempuan sering kali menggunakan stereotip feminin yang menunjukkan karakteristik kepemimpinan yang penuh kasih sayang dan lebih sensitif, seperti bersikap lembut atau penuh empati. Berbeda dengan bagaimana calon legislatif pada umumnya yang digambarkan dengan sosok tegas dan agresif (Eagly & Karau, 2002).
Selain itu, manajemen impresi juga menjadi aspek penting dalam politik gender. Goffman menyatakan bahwa individu "mengontrol kesan yang dibentuk oleh orang lain tentang diri mereka" (Goffman, 1959, p. 22), dan politisi perempuan di Indonesia sering kali harus melakukan manajemen impresi yang lebih kompleks. Mereka perlu menjaga citra profesional yang berkompeten sambil tetap mempertahankan kesan feminin yang diterima secara sosial. Setiap penampilan publik, termasuk cara mereka berpakaian, berbicara, atau menyampaikan kebijakan, menjadi instrumen untuk mengelola kesan tersebut. Jika seorang politisi perempuan tampil terlalu tegas, ia mungkin dianggap melanggar norma-norma feminin; namun, jika ia tampil terlalu lembut, ia mungkin dianggap kurang kompeten.
Dalam hal ini, politisi perempuan di Indonesia harus terus menavigasi ekspektasi ganda yang menuntut mereka untuk menampilkan kompetensi kepemimpinan, tetapi tetap menjaga kesan sesuai dengan peran gender tradisional. Hal ini sering kali menciptakan tantangan yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan laki-laki dalam hal membentuk citra diri di hadapan publik. Manajemen impresi menjadi lebih krusial ketika perempuan di panggung politik harus menyesuaikan diri dengan perubahan konteks sosial dan politik, terutama dalam kampanye di mana mereka harus menarik audiens yang luas. Dengan demikian, konsep manajemen impresi dan peran sosial Goffman sangat berguna untuk memahami bagaimana perempuan di politik Indonesia berjuang menavigasi ekspektasi sosial dan norma gender yang kaku, sambil berupaya membentuk kesan sebagai pemimpin yang kompeten dan dipercaya.
Studi Kasus: Strategi Caleg Perempuan PKS dalam Menggaet Suara di Panggung Politik
Dalam panggung politik Indonesia suara perempuan sering kali teredam di bawah dominasi gema retorika maskulin. Pada pemilu tahun ini, hanya PKS yang memenuhi persyaratan kuota perempuan sebesar 30%. Dari hasil penelitian dan tulisan Rofhani (anggota Polgov UGM), kemenangan empat caleg perempuan PKS di Surabaya 2024 menggunakan strategi female subjectivity dalam menggaet perolehan suara. Female subjectivity sendiri digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana perempuan membangun identitas, memahami dan menafsirkan pengalaman, serta bagaimana norma-norma gender mempengaruhi pengalaman hidup mereka (Butler, 2006). Dalam konteks ini, tidak hanya menjadikan perempuan sebagai target utama, tetapi juga sebagai alat kampanye yang digunakan dengan mengingatkan aspek-aspek domestik kepada perempuan. Strateginya dengan mengaitkan diri mereka dengan perempuan, yaitu keluarga, kehidupan sehari-hari, dan isu-isu sentral yang dihadapi oleh perempuan.Â
Ditambah lagi, para caleg PKS perempuan menggunakan peran sosial mereka sebagai perempuan muslim yang taat agama dengan mengadakan pengajian ibu-ibu dalam agenda kampanye. Tulisan Rofhani dalam buku Politik Gender di Indonesia (2024), nyatanya bukan hanya di Surabaya saja caleg perempuan PKS yang mengamankan kursi pemilu dengan strategi female subjectivity. Di daerah asal saya, Depok, strateginya pun bisa dikatakan serupa. Â Apa yang ditunjukkan dalam front stage oleh caleg PKS perempuan ini, rata-rata menjustifikasi menonjolkan keberpihakan kepada perempuan, agama, dan keluarga. Misalnya, penggunaan panggilan "Hajjah" terhadap caleg PKS, seperti yang dilakukan Hajjah Enny Minarsih, S. Pd dari Surabaya dan Hajjah Eli Dahlia, S. Ag dari Depok, cukup signifikan menggaet suara pemilih saat di bilik suara. Terlebih, kepada pemilih yang tidak mendalami visi misi dan latar belakang karier politik mereka.Â
Front Stage vs Back Stage: Strategi PKS dalam Dramaturgi PolitikÂ
Di front stage, caleg perempuan PKS secara sengaja menampilkan diri sebagai perempuan yang saleh, peduli keluarga, dan memegang teguh nilai-nilai agama. Mereka memanfaatkan atribut keagamaan, seperti gelar "Hajjah" dan pemakaian kerudung untuk memperkuat identitas mereka di mata para pemilih. Ini adalah contoh konkret dari manajemen impresi yang dijelaskan oleh Goffman, di mana mereka mengatur setiap elemen presentasi diri mereka untuk mencapai kesan tertentu yang diinginkan dari audiens mereka, yaitu masyarakat. Strategi ini mengarah pada penciptaan kesan bahwa mereka adalah representasi ideal dari perempuan muslim yang taat. Tidak hanya mampu menjalankan peran domestik, tetapi juga berkontribusi di ranah publik. Merelman (1969) menyatakan bahwa politisi menggunakan simbol-simbol dramatis seperti ini untuk mempersonifikasikan ideologi dan nilai-nilai tertentu, yakni dalam kasus PKS, nilai-nilai tersebut mencerminkan identitas agama dan tradisi keluarga.
Di sisi lain, back stage menawarkan pandangan yang berbeda terhadap bagaimana caleg ini mempersiapkan strategi mereka. Di ruang back stage, politisi perempuan PKS tidak hanya memikirkan bagaimana mereka akan tampil di depan publik, tetapi juga merencanakan taktik kampanye, seperti menyusun pesan-pesan kampanye yang menargetkan isu-isu domestik yang dekat dengan kehidupan perempuan sehari-hari. Back stage, menurut Goffman, adalah tempat di mana individu melakukan persiapan sebelum tampil kembali di front stage. Di sini, politisi perempuan PKS mungkin mendiskusikan strategi dengan tim kampanye mereka bagaimana strategi yang tepat untuk menargetkan suara para perempuan di negara yang memiliki struktur patriarki ini, atau bahkan merumuskan bagaimana mereka akan mengaitkan pesan agama dengan agenda politik mereka. Ruang back stage ini memberikan mereka fleksibilitas untuk mengeksplorasi berbagai cara untuk menavigasi ekspektasi publik yang sering kali kontradiktif---harus tampil kompeten secara profesional sekaligus tetap mempertahankan citra sebagai perempuan yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Sejalan dengan Blackburn (2004), budaya patriarki di Indonesia diperkuat oleh nilai agama, khususnya Islam. Dalam hal ini PKS berhasil mengidentifikasi hal tersebut untuk mempersiapkan strategi politik yang gencar dan terbukti hasilnya pada pemilu tahun ini.Â
PKS dianggap sebagai partai dengan identitas Islam. Namun, kader PKS lainnya jarang menggunakan penyebutan haji atau hajjah dalam pemilu (Miichi, 2023). Selain itu, penambahan gelar pendidikan di belakang nama setelah memasukkan panggilan Hajjah, pun bagian dari strategi kampanye, khususnya untuk menarik pemilih perempuan dan masyarakat yang menghargai nilai-nilai agama serta pendidikan. Para caleg perempuan PKS ini memiliki keahlian dalam mengemas isu-isu kampanye yang sesuai dengan peran sosial yang secara tradisional dipegang perempuan (Alexander & Anderson, 1993). Dengan melakukan manajemen impresi yang kuat di front stage seperti memakai panggilan "Hajjah" dan gelar pendidikannya, impresi ini sangat menguntungkan bagi para caleg karena konstituen terpaku dengan panggilan tersebut---mencitrakan sosok perempuan saleh yang berpendidikan. Disebut menguntungkan karena mereka dapat melihat celah pada pemilih yang kurang peduli pada isu-isu politik formal dan cenderung menilai caleg perempuan berdasarkan stereotip. Artinya, masyarakat yang tidak melek politik akan mentah-mentah menelan tampilan para caleg di panggung politik dalam front stage karena terbuai oleh gelar yang belum tentu mewakilkan isu perempuan tanpa terpengaruh ideologi partai.
Panggung Politik Pemilu vs Realita Setelah Menduduki Kursi Parlemen: PKS Membungkam Hak Keadilan Gender di Atas Segalanya
Dalam Savirani et al., (2024), secara kuantitatif PKS mengalami kemajuan karena menjadi satu-satunya partai yang penuhi kuota perempuan di 84 dapil pemilu di DPR. Namun, secara kualitatif, khususnya dalam perbaikan kebijakan undang-undang untuk melindungi perempuan, PKS justru membunuh mimpi perempuan. Hal ini tidak seperti yang mereka wacanakan dalam front stage pemilu, strategi female subjectivity hanyalah untuk meluluhkan hati audiens. Nyatanya, dalam beberapa kasus perbaikan kebijakan, anggota legislatif perempuan PKS yang telah menduduki kursi politik justru tetap menjunjung tinggi norma-norma patriarki dan memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak mewakili kebutuhan seluruh perempuan, terutama untuk perempuan dari kelompok marginal (Erikson & Josefsson dalam Savirani et al., 2024). Penekanan kualitas perwakilan perempuan sangat penting untuk mencapai representasi yang lebih bermakna, daripada hanya berfokus pada peningkatan jumlah perwakilan perempuan saja. Dari terpenuhinya kuota 30% secara kuantitatif tersebut, tidak menunjukkan korelasi positif secara kualitatif. Hal ini justru memberikan bukti bahwa banyaknya jumlah perempuan di lembaga perwakilan dengan kebijakan terkait kepentingan perempuan yang dihasilkan, tidaklah selalu merepresentasikan kepentingan perempuan yang termarginalkan.Â
PKS sering kali menggunakan perempuan sebagai daya tarik dalam front stage kampanye pemilu, tetapi menolak kebijakan-kebijakan (back stage) yang sebenarnya dapat melindungi dan memberdayakan perempuan, seperti RUU TPKS, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, dan PP Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja. Penolakan terhadap RUU TPKS, didasarkan pada kekhawatiran PKS bahwa undang-undang ini tidak memasukkan larangan tegas terhadap zina dan LGBT. PKS berpendapat bahwa norma "sexual consent" dalam RUU ini tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran, sehingga tidak efektif untuk mengurangi kejahatan seksual secara komprehensif. Namun, penolakan ini menghalangi upaya penting untuk melindungi korban kekerasan seksual, yang mayoritas adalah perempuan. Selain itu, PKS juga menolak RUU KKG dengan alasan bahwa undang-undang tersebut tidak sejalan dengan nilai agama dan budaya Indonesia. Penolakan ini merugikan perempuan dalam upaya mereka mendapatkan hak dan kesempatan yang sama di berbagai sektor, seperti pendidikan, pekerjaan, dan politik. Terakhir, penolakan terhadap PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja didasari kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mendorong perilaku seks bebas. Padahal, kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi kehamilan remaja dan penyebaran penyakit menular seksual dengan memberikan akses pendidikan reproduksi yang komprehensif.
Dengan catatan pernah menolak kebijakan-kebijakan ini, PKS secara tidak langsung menutup peluang perempuan untuk mencapai perlindungan dan pemberdayaan yang mereka butuhkan. Selama lima tahun ke depan, diharapkan PKS tidak mengulang kesalahan yang sama dengan "membunuh mimpi perempuan" secara struktural dan institusional. Maksudnya, tidak ada lagi penolakan terhadap kebijakan-kebijakan dalam upaya sistematis untuk melindungi hak-hak perempuan serta memberdayakan mereka baik secara seksual, fisik, dan mental karena melegitimasi ideologi islam 'kanan'. Ketiga kebijakan tersebut, jika diterapkan, memiliki potensi besar untuk memajukan perempuan di berbagai aspek kehidupan, terutama dalam hal keamanan, kesehatan, dan kesetaraan gender. Oleh karena itu, diperlukan upaya menciptakan suasana dan ruang yang mendukung, di mana perempuan dapat menyampaikan pandangan serta pengalaman mereka, menawarkan solusi untuk masalah sosial yang krusial, dan berpartisipasi secara aktif dalam pembahasan kebijakan tanpa terbawa ideologi partainya,
Kesimpulan
PKS menggunakan strategi politik dalam front stage dengan menampilkan citra perempuan yang saleh dan pro-keluarga untuk menarik suara pemilih, terutama dengan memanfaatkan atribut keagamaan dan stereotip gender tradisional. Namun, di back stage, mereka menolak kebijakan-kebijakan penting yang sebenarnya dapat memberdayakan perempuan dan melindungi hak-hak mereka atas nama agama. Sikap kontradiktif ini menunjukkan bahwa tindakan PKS lebih berfokus pada manajemen impresi demi dukungan politik daripada memperjuangkan kepentingan perempuan secara nyata. Teori dramaturgi tidak hanya menjelaskan bagaimana orang memerankan berbagai peran di berbagai situasi, tetapi juga bagaimana mereka mengatur setiap elemen dari presentasi diri mereka untuk mencapai kesan yang diinginkan dari audiens mereka. Melalui pendekatan ini, Goffman menyadarkan kita bahwa kehidupan sosial sering kali merupakan hasil dari proses yang direncanakan dan terstruktur, sebagaimana terlihat dalam strategi politik PKS. Mereka mengatur dengan cermat citra yang ditampilkan kepada publik, meskipun kebijakan nyata yang mereka dukung di balik layar bertolak belakang dengan kesan yang dibangun di panggung politik.Â
Daftar Pustaka
Alexander, D., & Andersen, K. (1993). Gender as a factor in the attribution of leadership traits. Political Research Quarterly, 46(3), 527--545. https://doi.org/10.1177/106591299304600305Â
Butler, J. (2006). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (1st ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203824979
Eagly, A. H., & Karau, S. J. (2002). Role congruity theory of prejudice toward female leaders. Psychological Review, 109(3), 573--598. https://doi.org/10.1037/0033-295X.109.3.573Â
Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. Doubleday.Â
Goffman, E., Lemert, C. C., & Branaman, A. (1997). The Goffman reader. Blackwell.
Merelman, R. M. (1969). The Dramaturgy of Politics. The Sociological Quarterly, 10(2), 216--241. https://doi.org/10.1111/j.1533-8525.1969.tb01286.x Â
Miichi, K. (2023). Indigenizing Islamism in Indonesia: Prosperous Justice Party's Approaches Towards Traditionalist Muslims. Politics, Religion & Ideology, 24(1), 120-133. https://doi.org/10.108 0/21567689.2023.2190893
Savirani, A., Sulastri, E., Pratama, H. M., Eriyanti, L. D., Saputri, R. A., Rofhani, R., & Suryani, D. (2024). Politik gender di Indonesia. Polgov Media dan Publikasi.
Smith, G. (2006). Erving goffman. Routledge
Welsh, J. F. (1985). Dramaturgy and political mystification: political life in the united states. Mid-American Review of Sociology, 10(2), 3--28. http://www.jstor.org/stable/23252765
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H