Mohon tunggu...
Siti Nurrobani
Siti Nurrobani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate sociology student at UGM

Membuat dan menulis di Blog ini sebagai saluran dari aspirasi saya sebagai mahasiswa. Saya tertarik dengan isu politik, budaya, dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dramaturgi dalam konteks Politik Gender di Indonesia

17 Januari 2025   13:00 Diperbarui: 17 Januari 2025   11:52 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Erving Goffman (Sumber: Wikipedia) 

Panggung Politik Pemilu vs Realita Setelah Menduduki Kursi Parlemen: PKS Membungkam Hak Keadilan Gender di Atas Segalanya

Dalam Savirani et al., (2024), secara kuantitatif PKS mengalami kemajuan karena menjadi satu-satunya partai yang penuhi kuota perempuan di 84 dapil pemilu di DPR. Namun, secara kualitatif, khususnya dalam perbaikan kebijakan undang-undang untuk melindungi perempuan, PKS justru membunuh mimpi perempuan. Hal ini tidak seperti yang mereka wacanakan dalam front stage pemilu, strategi female subjectivity hanyalah untuk meluluhkan hati audiens. Nyatanya, dalam beberapa kasus perbaikan kebijakan, anggota legislatif perempuan PKS yang telah menduduki kursi politik justru tetap menjunjung tinggi norma-norma patriarki dan memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak mewakili kebutuhan seluruh perempuan, terutama untuk perempuan dari kelompok marginal (Erikson & Josefsson dalam Savirani et al., 2024). Penekanan kualitas perwakilan perempuan sangat penting untuk mencapai representasi yang lebih bermakna, daripada hanya berfokus pada peningkatan jumlah perwakilan perempuan saja. Dari terpenuhinya kuota 30% secara kuantitatif tersebut, tidak menunjukkan korelasi positif secara kualitatif. Hal ini justru memberikan bukti bahwa banyaknya jumlah perempuan di lembaga perwakilan dengan kebijakan terkait kepentingan perempuan yang dihasilkan, tidaklah selalu merepresentasikan kepentingan perempuan yang termarginalkan. 

PKS sering kali menggunakan perempuan sebagai daya tarik dalam front stage kampanye pemilu, tetapi menolak kebijakan-kebijakan (back stage) yang sebenarnya dapat melindungi dan memberdayakan perempuan, seperti RUU TPKS, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, dan PP Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja. Penolakan terhadap RUU TPKS, didasarkan pada kekhawatiran PKS bahwa undang-undang ini tidak memasukkan larangan tegas terhadap zina dan LGBT. PKS berpendapat bahwa norma "sexual consent" dalam RUU ini tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran, sehingga tidak efektif untuk mengurangi kejahatan seksual secara komprehensif. Namun, penolakan ini menghalangi upaya penting untuk melindungi korban kekerasan seksual, yang mayoritas adalah perempuan. Selain itu, PKS juga menolak RUU KKG dengan alasan bahwa undang-undang tersebut tidak sejalan dengan nilai agama dan budaya Indonesia. Penolakan ini merugikan perempuan dalam upaya mereka mendapatkan hak dan kesempatan yang sama di berbagai sektor, seperti pendidikan, pekerjaan, dan politik. Terakhir, penolakan terhadap PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja didasari kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mendorong perilaku seks bebas. Padahal, kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi kehamilan remaja dan penyebaran penyakit menular seksual dengan memberikan akses pendidikan reproduksi yang komprehensif.

Dengan catatan pernah menolak kebijakan-kebijakan ini, PKS secara tidak langsung menutup peluang perempuan untuk mencapai perlindungan dan pemberdayaan yang mereka butuhkan. Selama lima tahun ke depan, diharapkan PKS tidak mengulang kesalahan yang sama dengan "membunuh mimpi perempuan" secara struktural dan institusional. Maksudnya, tidak ada lagi penolakan terhadap kebijakan-kebijakan dalam upaya sistematis untuk melindungi hak-hak perempuan serta memberdayakan mereka baik secara seksual, fisik, dan mental karena melegitimasi ideologi islam 'kanan'. Ketiga kebijakan tersebut, jika diterapkan, memiliki potensi besar untuk memajukan perempuan di berbagai aspek kehidupan, terutama dalam hal keamanan, kesehatan, dan kesetaraan gender. Oleh karena itu, diperlukan upaya menciptakan suasana dan ruang yang mendukung, di mana perempuan dapat menyampaikan pandangan serta pengalaman mereka, menawarkan solusi untuk masalah sosial yang krusial, dan berpartisipasi secara aktif dalam pembahasan kebijakan tanpa terbawa ideologi partainya,

Kesimpulan

PKS menggunakan strategi politik dalam front stage dengan menampilkan citra perempuan yang saleh dan pro-keluarga untuk menarik suara pemilih, terutama dengan memanfaatkan atribut keagamaan dan stereotip gender tradisional. Namun, di back stage, mereka menolak kebijakan-kebijakan penting yang sebenarnya dapat memberdayakan perempuan dan melindungi hak-hak mereka atas nama agama. Sikap kontradiktif ini menunjukkan bahwa tindakan PKS lebih berfokus pada manajemen impresi demi dukungan politik daripada memperjuangkan kepentingan perempuan secara nyata. Teori dramaturgi tidak hanya menjelaskan bagaimana orang memerankan berbagai peran di berbagai situasi, tetapi juga bagaimana mereka mengatur setiap elemen dari presentasi diri mereka untuk mencapai kesan yang diinginkan dari audiens mereka. Melalui pendekatan ini, Goffman menyadarkan kita bahwa kehidupan sosial sering kali merupakan hasil dari proses yang direncanakan dan terstruktur, sebagaimana terlihat dalam strategi politik PKS. Mereka mengatur dengan cermat citra yang ditampilkan kepada publik, meskipun kebijakan nyata yang mereka dukung di balik layar bertolak belakang dengan kesan yang dibangun di panggung politik. 

Daftar Pustaka

Alexander, D., & Andersen, K. (1993). Gender as a factor in the attribution of leadership traits. Political Research Quarterly, 46(3), 527--545. https://doi.org/10.1177/106591299304600305 

Butler, J. (2006). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (1st ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203824979

Eagly, A. H., & Karau, S. J. (2002). Role congruity theory of prejudice toward female leaders. Psychological Review, 109(3), 573--598. https://doi.org/10.1037/0033-295X.109.3.573 

Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. Doubleday. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun