Dari Peran Sosial Hingga Manajemen Impresi: Kontekstualisasi Politik Gender di Indonesia
Dalam konteks politik gender di Indonesia, konsep peran sosial yang dijelaskan oleh Goffman sangat relevan, terutama karena politisi perempuan sering kali dihadapkan pada ekspektasi sosial yang lebih rumit dibandingkan dengan rekan laki-laki mereka. Perempuan yang memegang posisi di ruang publik, seperti sebagai anggota parlemen, menteri, atau kepala daerah, harus memainkan peran sosial yang tidak hanya sesuai dengan tuntutan posisi mereka tetapi juga dengan norma-norma gender yang berlaku di masyarakat. Seperti yang dikatakan Goffman, "A status, a position, a social place is not a material thing, to be possessed and then displayed; it is a pattern of appropriate conduct, coherent, embellished, and well-articulated" (Goffman, 1959, p. 75). Dalam politik Indonesia, proses kampanye caleg perempuan sering kali menggunakan stereotip feminin yang menunjukkan karakteristik kepemimpinan yang penuh kasih sayang dan lebih sensitif, seperti bersikap lembut atau penuh empati. Berbeda dengan bagaimana calon legislatif pada umumnya yang digambarkan dengan sosok tegas dan agresif (Eagly & Karau, 2002).
Selain itu, manajemen impresi juga menjadi aspek penting dalam politik gender. Goffman menyatakan bahwa individu "mengontrol kesan yang dibentuk oleh orang lain tentang diri mereka" (Goffman, 1959, p. 22), dan politisi perempuan di Indonesia sering kali harus melakukan manajemen impresi yang lebih kompleks. Mereka perlu menjaga citra profesional yang berkompeten sambil tetap mempertahankan kesan feminin yang diterima secara sosial. Setiap penampilan publik, termasuk cara mereka berpakaian, berbicara, atau menyampaikan kebijakan, menjadi instrumen untuk mengelola kesan tersebut. Jika seorang politisi perempuan tampil terlalu tegas, ia mungkin dianggap melanggar norma-norma feminin; namun, jika ia tampil terlalu lembut, ia mungkin dianggap kurang kompeten.
Dalam hal ini, politisi perempuan di Indonesia harus terus menavigasi ekspektasi ganda yang menuntut mereka untuk menampilkan kompetensi kepemimpinan, tetapi tetap menjaga kesan sesuai dengan peran gender tradisional. Hal ini sering kali menciptakan tantangan yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan laki-laki dalam hal membentuk citra diri di hadapan publik. Manajemen impresi menjadi lebih krusial ketika perempuan di panggung politik harus menyesuaikan diri dengan perubahan konteks sosial dan politik, terutama dalam kampanye di mana mereka harus menarik audiens yang luas. Dengan demikian, konsep manajemen impresi dan peran sosial Goffman sangat berguna untuk memahami bagaimana perempuan di politik Indonesia berjuang menavigasi ekspektasi sosial dan norma gender yang kaku, sambil berupaya membentuk kesan sebagai pemimpin yang kompeten dan dipercaya.
Studi Kasus: Strategi Caleg Perempuan PKS dalam Menggaet Suara di Panggung Politik
Dalam panggung politik Indonesia suara perempuan sering kali teredam di bawah dominasi gema retorika maskulin. Pada pemilu tahun ini, hanya PKS yang memenuhi persyaratan kuota perempuan sebesar 30%. Dari hasil penelitian dan tulisan Rofhani (anggota Polgov UGM), kemenangan empat caleg perempuan PKS di Surabaya 2024 menggunakan strategi female subjectivity dalam menggaet perolehan suara. Female subjectivity sendiri digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana perempuan membangun identitas, memahami dan menafsirkan pengalaman, serta bagaimana norma-norma gender mempengaruhi pengalaman hidup mereka (Butler, 2006). Dalam konteks ini, tidak hanya menjadikan perempuan sebagai target utama, tetapi juga sebagai alat kampanye yang digunakan dengan mengingatkan aspek-aspek domestik kepada perempuan. Strateginya dengan mengaitkan diri mereka dengan perempuan, yaitu keluarga, kehidupan sehari-hari, dan isu-isu sentral yang dihadapi oleh perempuan.Â
Ditambah lagi, para caleg PKS perempuan menggunakan peran sosial mereka sebagai perempuan muslim yang taat agama dengan mengadakan pengajian ibu-ibu dalam agenda kampanye. Tulisan Rofhani dalam buku Politik Gender di Indonesia (2024), nyatanya bukan hanya di Surabaya saja caleg perempuan PKS yang mengamankan kursi pemilu dengan strategi female subjectivity. Di daerah asal saya, Depok, strateginya pun bisa dikatakan serupa. Â Apa yang ditunjukkan dalam front stage oleh caleg PKS perempuan ini, rata-rata menjustifikasi menonjolkan keberpihakan kepada perempuan, agama, dan keluarga. Misalnya, penggunaan panggilan "Hajjah" terhadap caleg PKS, seperti yang dilakukan Hajjah Enny Minarsih, S. Pd dari Surabaya dan Hajjah Eli Dahlia, S. Ag dari Depok, cukup signifikan menggaet suara pemilih saat di bilik suara. Terlebih, kepada pemilih yang tidak mendalami visi misi dan latar belakang karier politik mereka.Â
Front Stage vs Back Stage: Strategi PKS dalam Dramaturgi PolitikÂ
Di front stage, caleg perempuan PKS secara sengaja menampilkan diri sebagai perempuan yang saleh, peduli keluarga, dan memegang teguh nilai-nilai agama. Mereka memanfaatkan atribut keagamaan, seperti gelar "Hajjah" dan pemakaian kerudung untuk memperkuat identitas mereka di mata para pemilih. Ini adalah contoh konkret dari manajemen impresi yang dijelaskan oleh Goffman, di mana mereka mengatur setiap elemen presentasi diri mereka untuk mencapai kesan tertentu yang diinginkan dari audiens mereka, yaitu masyarakat. Strategi ini mengarah pada penciptaan kesan bahwa mereka adalah representasi ideal dari perempuan muslim yang taat. Tidak hanya mampu menjalankan peran domestik, tetapi juga berkontribusi di ranah publik. Merelman (1969) menyatakan bahwa politisi menggunakan simbol-simbol dramatis seperti ini untuk mempersonifikasikan ideologi dan nilai-nilai tertentu, yakni dalam kasus PKS, nilai-nilai tersebut mencerminkan identitas agama dan tradisi keluarga.
Di sisi lain, back stage menawarkan pandangan yang berbeda terhadap bagaimana caleg ini mempersiapkan strategi mereka. Di ruang back stage, politisi perempuan PKS tidak hanya memikirkan bagaimana mereka akan tampil di depan publik, tetapi juga merencanakan taktik kampanye, seperti menyusun pesan-pesan kampanye yang menargetkan isu-isu domestik yang dekat dengan kehidupan perempuan sehari-hari. Back stage, menurut Goffman, adalah tempat di mana individu melakukan persiapan sebelum tampil kembali di front stage. Di sini, politisi perempuan PKS mungkin mendiskusikan strategi dengan tim kampanye mereka bagaimana strategi yang tepat untuk menargetkan suara para perempuan di negara yang memiliki struktur patriarki ini, atau bahkan merumuskan bagaimana mereka akan mengaitkan pesan agama dengan agenda politik mereka. Ruang back stage ini memberikan mereka fleksibilitas untuk mengeksplorasi berbagai cara untuk menavigasi ekspektasi publik yang sering kali kontradiktif---harus tampil kompeten secara profesional sekaligus tetap mempertahankan citra sebagai perempuan yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Sejalan dengan Blackburn (2004), budaya patriarki di Indonesia diperkuat oleh nilai agama, khususnya Islam. Dalam hal ini PKS berhasil mengidentifikasi hal tersebut untuk mempersiapkan strategi politik yang gencar dan terbukti hasilnya pada pemilu tahun ini.Â
PKS dianggap sebagai partai dengan identitas Islam. Namun, kader PKS lainnya jarang menggunakan penyebutan haji atau hajjah dalam pemilu (Miichi, 2023). Selain itu, penambahan gelar pendidikan di belakang nama setelah memasukkan panggilan Hajjah, pun bagian dari strategi kampanye, khususnya untuk menarik pemilih perempuan dan masyarakat yang menghargai nilai-nilai agama serta pendidikan. Para caleg perempuan PKS ini memiliki keahlian dalam mengemas isu-isu kampanye yang sesuai dengan peran sosial yang secara tradisional dipegang perempuan (Alexander & Anderson, 1993). Dengan melakukan manajemen impresi yang kuat di front stage seperti memakai panggilan "Hajjah" dan gelar pendidikannya, impresi ini sangat menguntungkan bagi para caleg karena konstituen terpaku dengan panggilan tersebut---mencitrakan sosok perempuan saleh yang berpendidikan. Disebut menguntungkan karena mereka dapat melihat celah pada pemilih yang kurang peduli pada isu-isu politik formal dan cenderung menilai caleg perempuan berdasarkan stereotip. Artinya, masyarakat yang tidak melek politik akan mentah-mentah menelan tampilan para caleg di panggung politik dalam front stage karena terbuai oleh gelar yang belum tentu mewakilkan isu perempuan tanpa terpengaruh ideologi partai.