Mohon tunggu...
Wyndra
Wyndra Mohon Tunggu... Konsultan - Laki-laki

Profesional, penikmat film Warkop DKI & X-File.\r\nHORMATILAH KARYA TULIS MILIK ORANG. Tidak ada FB dan Twitter

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

(Sebuah Pengalaman) Awasi Pandangan Bintik Hitam

31 Juli 2019   10:00 Diperbarui: 22 Agustus 2019   10:52 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.shutterstock.com

Lebih baiknya penulis awali tulisan ini dengan satu hikmah kehidupan, sehat itu pilihan, sakit merupakan misteri, kematian adalah kepastian. Manusia berencana dan ber-ikhtiar, Sang Khaliq yang mengatur dan menentukan apa yang akan terjadi.

Terbayang kisah nyata, sukses kehidupan pribadi dan karier pebalap mumpuni Formula 1. Pria kelahiran Cologne, Jerman ini bisa menjadi sosok dalam dua kehidupan itu. 

Mempunyai keluarga bahagia, berbakat, sarat prestasi dan disegani para pesaingnya karena tercatat sukses meraih juara sebagai pebalap Formula 1 dalam 7 tahun (sejak tahun 1994), tersohor, fit dan sehat, serta tentunya berlimpah kekayaan. 

Sekilas semua telah diraihnya. Dirinya pun menjadi salah satu icon dan role model dalam olahraga otomotif dunia. Kehidupan yang nyaris sempurna itu berubah justru saat dia tengah menikmati liburan bersama keluarganya di Perancis. Tanggal 29 Desember 2013 kecelakaan menimpa dirinya ketika bermain ski. 

Cedera di kepala membuat pebalap yang mencetak rekor terbanyak sepanjang sejarah olahraga F1 itu mengalami koma, dan belum kembali normal hingga saat ini.

Kemiripan kisah itu juga pernah saya baca dalam satu pesan viral. Diceritakan seorang istri tentang suaminya yang mengalami musibah saat menjadi peserta half-marathon di penghujung tahun 2014. 

Sosok pria berusia 40-an tahun, menyayangi istri dan kedua anaknya, pergaulan yang hangat, pekerjaan cemerlang, fit dan sehat dengan kegemaran berolahraga mulai dari tenis, gym, lari, yoga hingga motokros. Tidak ada yang menyangka, sang suami mengalami insiden saat half marathon. 

Kondisinya yang tidak sadar sejak insiden itu mendorong sang istri untuk mengobatinya ke rumah sakit di Singapura. Berdasarkan hasil MRI, tim dokter mendiagnosa terjadi kerusakan pada otak akibat kurangnya oksigen yang seharusnya lancar mengalir ke bagian otak.

Tentunya kita berharap dan mendoakan, dua orang di atas bisa kembali pulih, berkumpul dan berinteraksi dengan keluarga dan teman-temannya seperti sediakala. Itulah kehidupan, yang kita bersama tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari dan selanjutnya.

Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi, yang bisa menambah pengetahuan bagi kompasianer khususnya yang memiliki keluhan miopi atau mata minus seperti penulis, sehingga diharapkan lebih hati-hati dalam aktivitas dan segera memeriksakan diri ke dokter bila terjadi keluhan seperti ini.

Ablatio Retina I : Segerakan Operasi

Menggunakan soft lens telah penulis lakukan sejak tahun 1990, menggantikan kaca mata. Ini setelah diperoleh rekomendasi dari dokter di salah satu klinik spesialis mata Jakarta Pusat.

Singkat cerita, akhir Januari 2019 Penulis mengganti soft lens lama dengan yang baru. Dua hari pertama pandangan lebih jelas, mata pun terasa lebih segar. 

Pada hari ketiga, muncul satu bintik hitam kecil dalam pandangan salah satu mata. Namun mata tampak normal saat berhadapan dengan cermin. 

Pada hari keempat, bintik itu mulai membesar dengan posisi yang sama seperti awal. Tidak ada rasa perih atau sakit. Saat memandang lurus, bintik yang posisinya dibagian bawah mata tidak muncul. Ia muncul saat mata digerak-gerakkan, tapi tetap pada posisinya. Pada hari selanjutnya, soft lens saya lepas karena kepala mulai terasa pening.

Dengan pemahaman yang seadanya, Penulis mendatangi dokter spesialis mata. Oleh dokter imunologi salah satu rumah sakit mata mengatakan : "Kornea Bapak normal. Silakan Bapak periksa ke bagian retina". Ya... Itu diagnosanya. Sayangnya, antrian pemeriksaan retina sudah demikian panjang, sementara pelayanan tutup tengah hari.

A. Diagnosa Ablatio Retina

Penulis terus mencari dokter mata di rumah sakit lain pada hari berikutnya. Bermodal informasi dari dokter rumah sakit tadi, Penulis mendapatkan antrian di dokter vitro-retina di rumah sakit Jakarta Pusat Dalam pemeriksaan awal, dokter mengatakan : "Nampaknya ada masalah pada retina Bapak. Silakan ke ruang pemeriksaan untuk dilakukan foto".

Kembali ke ruangan dokter dengan membawa foto, dokter menjelaskan lebih panjang : "Ini retina Bapak. Jadi memang inilah resiko mereka yang mata minus. Retina akan menipis dan rentan sobek, dan  selaput lain akan lepas kalau dibiarkan. Istilah medisnya ablatio retina atau retinal detachment. Tidak ada cara lain, harus segera operasi. Kalau tidak, retina lainnya yang menempel utuh bisa lepas, dan Bapak akan kehilangan penglihatan. Tidak ada cara medis untuk mengembalikan bila hal itu terjadi. Lusa jam 7 pagi saya jadwalkan untuk operasi". Mendengar hal itu, badan dan kepala Penulis langsung lemas dan pening. Tidak terbayang sama sekali harus menjalani operasi dalam waktu sekejap apalagi mata. Namun Penulis tidak punya pilihan lain, dan inilah situasinya.

Apakah hal ini akibat penggunaan soft lens baru, dokter menjawab pendek : "Tidak". Kembali dokter menjelaskan : "Akan ada 2 tindakan operasi. Pertama adalah adalah menempatkan silikon pada retina yang robek setelah dikembalkan di posisi semula. Selanjutnya Bapak harus tidur tengkurap selama 2 minggu, dan nanti ada bantal khususmya.. Kegiatan yang diperbolehkan hanya duduk saat makan, dan berada di kamar mandi. Mata tidak boleh kena air dan dikucek. Tidak boleh mengejan saat BAB. Tindakan kedua dilakukan 6 bulan setelahnya, yaitu melepaskan atau membuang silikon, dan katarak". 

Dokter juga menjelaskan resiko-resiko medis pada tindakan pertama, yaitu pendarahan, glaukoma, retina kembali lepas, hingga kebutaan. Sekadar mengingatkan, glaukoma dalam pengertian umum adalah peningkatan tensi pada bola mata normal, yaitu diatas 20 mmHg.

B.  Sekilas Mengenai Ablatio Retina

Dalam 2 pamflet dan brosur yang disebarkan rumah sakit ini, dijelaskan bahwa ablatio retina terjadi ketika retina terlepas dari posisi normal.  Retina tidak dapat berfungsi ketika ia lepas dari dasarnya. Pada robekan retina biasanya dilakukan tindakan laser atau tindakan cryotherapy, yaitu mematri retina. Pengobatan sinar laser retina dapat digunakan pada retina yang sobek (retina tear/hole).

Retina sendiri adalah lapisan saraf yang ada di bagian belakang mata yang menerima cahaya dan mengirimkan bayangan ke otak. Mata seperti kamera, lensa yang ada di bagian depan memfokuskan cahaya ke retina. Kita bisa menyamakan retina sebagai film yang ada di bagian belakang kamera

Kondisi-kondisi yang dapat menambah resiko terjadinya ablatio retina.:

1   rabun jauh (mata minus)

2.  kecelakaan

3.  mengalami ablasi pada mata sebelah

4.  mempunyai riwayat keluarga dengan ablatio retina

5.  ada bagian lemah pada retina (degenerasi retina perifer).

C.  Proses Tindakan dan Pengobatan

Saat banyak orang menikmati libur Imlek, Penulis berkemas menginiap di rumah sakit untuk esok paginya menjalani operasi. Ikhlas dan berdoa. Hanya itu. 

Bersama istri dan beberapa anggota keluarga. Tepat pukul 7 esoknya sudah berada di ruang operasi. Sekira 1 jam lebih 15 menit, operasi selesai. Penulis dibangunkan dengan 1 mata tertutup verband. Mulai pagi itu, kegiatan tidur tengkurap sudah dimulai. Bisakah tidur pulas ? Dengan ikhlas dan sabar, semua toh harus dihadapi.

Pengalaman prihatin juga diungkap oleh pasien lain saat Penulis di dalam ruang perawatan. Dua orang ini akan menjalani operasi yang juga mengalami masalah  retina. 

Rasa simpati sebagai sesama pasien menjadi begitu besar, bercampur rasa syukur karena Penulis telah selesai menjalani dengan baik. Satu orang menceritakan, telah menjalani operasi pemasangan silikon, dan sempat harus kembali menjalani operasi karena ternyata sobekan retinanya kembali lepas. 

Dia juga harus menjalani tindakan mengatasi glukoma. Pasien lain, mahasiswa tingkat awal asal Kalimantan yang masih kuliah di Jakarta. Dia harus menjalani operasi karena retinanya terdiagnosa bermasalah, setelah mengalami benturan akibat permainan bola air.

Esoknya, Penulis diperbolehkan pulang setelah dokter visit membuka verban. Tidak lupa obat oral dan tetes mata yang dikonsumsi. 1 minggu berjalan, dan Alhamdulillah berjalan baik. 2 minggu dengan tidur tengkurap selesai. Sempat mengalami tensi tinggi bola mata pada minggu berikutnya, namun syukur Alhamdulillah, tertangani baik dengan terapi obat.

Fase lanjutan dalam masa ini adalah munculnya katarak. Menurut dokter, 70% pasien yang memasang silikon pada retina akan mengalami katarak. 

Sejak akhir bulan Mei dan sepanjang Juni 2019, pandangan semakin buram dan kusam. Membaca Al-Quran menjelang akhir Ramadhan tidak lagi bisa dilakukan. 

Pun membaca pembicaraan melalui HP juga berhenti. Istri lah yang banyak membantu dan mengarahkan Penulis. Pada akhir bulan Mei ini, dokter mengatakan bahwa operasi lanjutan sudah bisa dilakukan pada awal Juli. Rasa syukur kepada Sang Khaliq yang telah memberikan kelancaran.

Ablatio Retina II : Pengangkatan Silikon dan Katarak

Resiko-resiko bisa terjadi setelah pengangkatan silikon dan katarak. Diantaranya adalah glaucoma dan kebutaan. Sehari sebelum dilakukan, Penulis menjalani 3 model pemeriksaan mata. 

Dari ketiganya pemeriksaan pertama adalah mengukur ketebalan lapisan bola mata yang akan diganti (yang mengalami katarak). Ukuran minimal diangka 2000. 

DIbawah itu, dokter akan menambah jenis obat menghindari atau memulihkan resiko luka. Pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi katarak tidak berarti memilki angka dibawah minimal.

Sekira pukul 7 Penulis mulai menjalani operasi lanjutan. Alhamdulillah berjalan baik dalam waktu 1 jam, dan kembali ke ruang perawatan dengan mata ditutup verban. 

Esoknya paginya verban dibuka saat visit dokter. Saat dibuka, pandangan tidak langsung kembali normal. Pandangan kabut berangsur berkurang atau menipis. 

Bahkan bayangan unik saat mata terpejam terlihat dalam 2 hingga 3 hari pasca operasi. Tidak ada pesan khusus dokter seperti keharusan mata tetap tertutup, atau yang semacamnya. 

Larangan agar mata tidak diusap dan kena air diberikan selama 7 hari. Tetes mata dikonsumsikan hingga 30 hari, sedangkan obat oral juga selama 7 hari.

Saat tulisan ini dipublikasikan Kompasiana, belum genap 30 hari pasca operasi. Pandangan Alhamdulillah membaik. Penulis hanya bisa menduga penyebab ablatio retina. 

Kegiatan olahraga intens yang Penulis lakukan sejak akhir tahun 2017 hingga sebelum munculnya bintik hitam nampaknya menjadi faktor dominan. Jumping jack, push-up spider, russian twist, sumo squat, dan rangkaian gerakan lain yang Penulis lakukan setiap pagi selama 2 jam mungkin menjadi penyebab utama, walau dalam 1 tahun pertama dilakukan tanpa alat/beban. 

Ketidakpahaman Penulis terhadap keterbatasan diri menjadi pelajaran sangat berharga untuk dikoreksi. Selalu ada hikmah atas setiap kejadian/peristiwa, walau tidak langsung kita ketahui atau sadari saat itu. Kita baru menyadari apa hikmah tersebut dalam beberapa waktu ke depan. Entah kapan. Wallahualam bis sawab....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun