Mungkin sejak dari rumah Pak Ihsan sudah tak sadar 100%. Saat ia pamit kepada Irsyad, seperti mengisyaratkan bahwa ia akan pergi selamanya. Lalu dengan ia memilih duduk di dekat pintu, mungkin agar memudahkan perjumpaan istimewanya dengan Malaikat Izro'il. Dan agar proses keluarnya ruh bisa dengan mudah, segar, dan plong, karena (dekat dengan pintu) pernafasan lebih lancar dan leluasa.
 ****
 Tak lama kemudian Irsyad, ibu, dan adik-adiknya mendapat kabar duka itu. Mereka kaget luar biasa. Tubuh Irsyad gemetar. Ia langsung bergegas lari menuju rumah Pak Sahlan yang jaraknya hanya 150 meter dar rumahnya. Sambil membendung tangis, mulutnya tak henti-henti memanggil ayahnya. Ayah yang telah banting tulang demi menafkahinya, memberinya uang saku, menyekolahkan, dan mendidiknya dengan sepenuh hati. Ia sempat berpikir untuk tidak menangis, namun tak bisa. Dalam hatinya berteriak, mengaduh kepada Allah: "Ya Allah, padahal aku baru pulang dari Madura setelah 2 bulan tak pulang. Kami baru berjumpa tidak lebih dari 3 menit." Namun ia kembali sadar: ayahnya telah meninggal dalam keadaan yang sangat mulia, sedang tahlilan. Irsyad mengusap pipi dan matanya yang basah oleh airmata. Lalu tersenyum.Â
Ia memperlambat larinya, lalu berjalan dengan tenang. Ia mendongak ke atas, melihat ke langit yang sedang penuh dengan bintang-bintang. Ia juga melihat bulan yang bersinar dengan terang. Malam itu sedang tanggal 13 kalender bulan. Lalu ia berbisik dalam kesunyian, dengan suara agak gemetar:
"Selamat jalan, Bapak. Kami bangga denganmu. Aku berjanji akan menjaga Ibuk, dan adek-adek dengan baik. Mohon restunya dari sana, Pak. Aku yakin, saat ini njenengan sedang berbahagia dalam perjumpaan dengan Allah. Kami ihlaskan engkau untuk showan kepada-Nya."Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H