Mohon tunggu...
Syarif Dhanurendra
Syarif Dhanurendra Mohon Tunggu... Jurnalis - www.caksyarif.my.id

Pura-pura jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Jalan, Bapak

11 Januari 2017   19:46 Diperbarui: 11 Januari 2017   20:07 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu, tepat setelah maghrib, Irsyad baru sampai rumah, di Baron - Nganjuk. Dia baru saja melakukan perjalanan dari Bangkalan-Madura, tempat ia kuliah mencari ilmu. 

Irsyad turun dari motornya. Kemudian sambil tersenyum gembira, disambut oleh kedua orang tua, dan dua adiknya ia mengucapkan salam dan sungkem kepada ayah-ibunya. Dua adiknya pun menyalaminya.

"Ibu dan Bapak pripun kabare" tanya Irsyad, setelah ia melepas tasnya.

"Alhamdulillah, sehat semua" jawab Pak Ihsan, ayahnya Irsyad. "oh, iya, Syad. Bapak mau pergi dulu. Ada tahlilan, kamu istirahat aja, gak usah ke mana-mana karena baru sampai rumah." lanjut Pak Ihsan.

"Nggeh, Pak. Hati-hati." jawab Irsyad.

"Iya. Assalamu'alaikum." Pak Ihsan kemudian keluar rumah. Irsyad menjawab salam Bapaknya.

Irsyad lantas Sholat Maghrib. Setelah Sholat Maghrib ia duduk diruang keluarga sambil menikmati kopi. Dia melihat kedua adiknya sedang asyik tenggelam dalam bacaan Al-Qur'an. Adiknya yang satu perempuan kelas 3 SMP, dan satu lagi laki-laki kelas 4 SD. Mereka berdua ialah anak yang rajin dan baik akhlaknya. Irsyad bangga memiliki adik seperti mereka. Hati Irsyad selalu damai dan nyaman melihat kedua adiknya sehat dan bahagia. Dia selalu berusaha menjadi kakak yang baik, yang tidak mengecewakan.

Irsyad menyeruput kopi hangatnya, dia tersedak. Entah karena apa, kemudia ian langsung teringat Bapaknya.

"Buk, Bapak tadi tahlilan dimana ya?" tanya Irsyad kepada Ibunya.

Ibunya yang sedang asyik menata baju kemudian menjawab. "Ke rumah Pak Sahlan. Paling jam 7 sudah selesai, kan yang ngimami tahlil Kiai Man. Enak. Cepat." 

"Ow, iya." Jawab Irsyad, pendek.

 ****

 Di rumah Pak Sahlan tamu-tamu sudah berdatangan. Ruang tamu sudah mulai penuh. Pak Ihsan tampak baru sampai dan menyalimi Pak Sahlan yang menerima tamu di depan rumah. Semua yang hadir tampak ceria semua wajahnya, bahagia dan gembira. Tak ada yang murung mukanya. Mungkin kebahagiaan dan kegembiraan mereka karena akan mendapat berkat. Seperti tradisi tahlilan biasanya. Namun cerahnya wajah Pak Ihsan tampak sangat berbeda dari yang lain. Wajahnya seperti bercahaya, mengeluarkan aura spirit yang membuat orang lain menjadi tentram jatinya ketika memandang wajahnya.

Dengan memakai baju koko warna putih, sarung kotak-kotak bertuliskan "Gajah Duduk", dan peci hitam yang sudah memerah bludrunya, Pak Ihsan kemudian masuk ke lokasi tahlilan dan bersalaman kepada semua yang sudah hadir duluan. Lalu ia duduk di dekat pintu masuk, di sebelah kiri pintu. Mungkin biar mudah untuk keluar.

Tepat pukul 19.00 WIB acar tahlilan di rumah Pak Sahlan selesai. Para juru ladi pun mengeluarkan hidangan. Sepiring nasi rawon untuk setiap yang hadir. Dan berbagai macam jajan untuk camilan. Namun tampaknya Pak Ihsan sedang tidur lelap. Dia menempelkan badannya ke dinding dengan duduk bersila. Wajahnya menunduk, tangannya memegang tasbih, dan matanya terpejam. Ia terlihat sangat nyaman, mungkin saking lelapnya.

Pak Dodik yang duduk di sebelah kanannya kemudian membangunkan Pak Ihsan, sambil menyodorkan sepiring nasi rawon yang masih hangat. Namun Pak Ihsan tak bangun. Kemudian Pak Dodik memegang bahu dan agak memijatnya. Tetap sama, Pak Ihsan tak bangun. Pak Dodik punya ide: disenggol bahu dengan bahu agar ambruk, kemudian Pak Ihsan akan malu clinguk'an. Ia lakukan. Pak Ihsan roboh dari duduknya. Ambruk ke kiri. Lantas semua yang tahu hal itu pada memokuskan matanya ke Pak Ihsan. Pak Dodik mulai bingung.

Pak Sahlan sebagai tuan rumah lantas menggoyang-goyangkan tubuh Pak Ihsan sambil memanggil-manggil namanya agar lekas bangun. Tapi gagal. Pak Ihsan tetap tidur pulas. Kiai Man, imam tahlil sekaligus kiai yang paling dihormati di lingkungan itu, pun mendekat. Beliau pegang tangan Pak Ihsan, kemudian urat leher, dan dicek pernafasannya, lantas Kiai Man santak kaget. Beliau berkata lirih 'inna lillahi wa inna ialihi roji'un'. Tak ada yang mendengar suara Kiai.

"Cepat siapkan mobil. Kita bawa ke Rumah Sakit" Kata Kiai Man. "Pak Ihsan pingsan" lanjutnya.

"Nggah, Yai" jawab Pak Sahlan.

Pak Huri yang kebetulan adalah seorang dokter lantas mendekat dan ngecek, siap melakukan pertolongan pertama. Pak Huri keget. Wajahnya langsung pucat.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un." Kata Dokter Huri, "Pak Ihsan telah tilar ndunyo dengan Husnul Khotimah." lanjutnya.

Sontak perkataan Dokter lulusan UNAIR itu membuat semua yang hadir keget tak habis pikir. Semua orang lantas berkata dalam hati: "Padahal Pak Ihsan tampak baik-baik saja sejak tadi. Tak menunjukkan gejala-gejala orang sakit. Subhanallah. Maha Suci Allah atas segala sesuatu."

Mungkin sejak dari rumah Pak Ihsan sudah tak sadar 100%. Saat ia pamit kepada Irsyad, seperti mengisyaratkan bahwa ia akan pergi selamanya. Lalu dengan ia memilih duduk di dekat pintu, mungkin agar memudahkan perjumpaan istimewanya dengan Malaikat Izro'il. Dan agar proses keluarnya ruh bisa dengan mudah, segar, dan plong, karena (dekat dengan pintu) pernafasan lebih lancar dan leluasa.

 ****

 Tak lama kemudian Irsyad, ibu, dan adik-adiknya mendapat kabar duka itu. Mereka kaget luar biasa. Tubuh Irsyad gemetar. Ia langsung bergegas lari menuju rumah Pak Sahlan yang jaraknya hanya 150 meter dar rumahnya. Sambil membendung tangis, mulutnya tak henti-henti memanggil ayahnya. Ayah yang telah banting tulang demi menafkahinya, memberinya uang saku, menyekolahkan, dan mendidiknya dengan sepenuh hati. Ia sempat berpikir untuk tidak menangis, namun tak bisa. Dalam hatinya berteriak, mengaduh kepada Allah: "Ya Allah, padahal aku baru pulang dari Madura setelah 2 bulan tak pulang. Kami baru berjumpa tidak lebih dari 3 menit." Namun ia kembali sadar: ayahnya telah meninggal dalam keadaan yang sangat mulia, sedang tahlilan. Irsyad mengusap pipi dan matanya yang basah oleh airmata. Lalu tersenyum. 

Ia memperlambat larinya, lalu berjalan dengan tenang. Ia mendongak ke atas, melihat ke langit yang sedang penuh dengan bintang-bintang. Ia juga melihat bulan yang bersinar dengan terang. Malam itu sedang tanggal 13 kalender bulan. Lalu ia berbisik dalam kesunyian, dengan suara agak gemetar:

"Selamat jalan, Bapak. Kami bangga denganmu. Aku berjanji akan menjaga Ibuk, dan adek-adek dengan baik. Mohon restunya dari sana, Pak. Aku yakin, saat ini njenengan sedang berbahagia dalam perjumpaan dengan Allah. Kami ihlaskan engkau untuk showan kepada-Nya." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun