Mohon tunggu...
Wahyu Permana
Wahyu Permana Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan pengamat masala sosial kemasyarakatan dan pertahanan keamanan

Staf Ahli DPD RI, Ketua Lembaga Hak Konstitusi Indonesia, pegiat anti Narkoba di provinsi Banten, Direktur Eksekutif Pilkada Watch, Pengamat Sosial Kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kampanye Partisipasi Publik : Mungkinkah?

22 Oktober 2013   13:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:10 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik




Mendekati tahun 2014 suhu politik semakin meninggi. Setiap partai politik menekan dalam-dalam gas mesin politiknya untuk menghadapi Pemilu Bulan April Tahun 2014. Calon-calon wakil rakyat mulai sibuk turun ke daerah pemilihannya masing-masing, bertemu konstituennya, mengobral janji dan mimpi. Sambil mungkin berupaya menghapus memori rakyat akan janji-janji yang tak terlaksana di hari-hari kemarin.

Akankah rakyat kembali terjerumus ke lubang yang sama untuk memilih wakil-wakil mereka yang pintar berjanji tetapi ingkar menepati ?

Akankah Pemilu 2014 akan menghasilkan wakil rakyat yang mudah mengobral mimpi ? tapi malah melengos saat ditangih saat telah menduduki kursi empuk di gedung megah nan mewah. Wakil rakyat yang hanya datang, duduk, diam, dan duit atau 4 D istilah yang sering dilekatkan pada para wakil mereka di parlemen.

Tetapi hanya mengumpat dalam hati yang bisa rakyat lakukan hari ini, karena tak ada lagi yang bisa dituntut dari wakil-wakil mereka. Transaksi telah selesai dilakukan saat sejumlah uang, paket sembako, kaos partai, dan sekelompok pemusik dangdut yang disajikan pada saat kampanye untuk meriahnya pesta demokrasi. Peduli setan kesadaran konstituen, pemilih yang kritis, komitmen moral antara wakil dan rakyat, semua hanya utopia dan berujung sebatas transaksional belaka.

Sistem Pemilu Transaksional

Sistem transaksional ini pulalah yang menjadi salah satu akar permasalahan korupsi para wakil rakyat. Korupsi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah merengut hak-hak rakyat Indonesia sehingga tidak mendapatkan pelayanan dasarnya.

Tanpa etika dan moral, minimal rasa malu, para wakil rakyat, baik secara pribadi ataupun bersama-sama menggarong uang rakyat. Kasus Century, Hambalang, Departemen Agama, Departemen Pendidikan, dll, dsb. Ironisnya sistem yang selama ini berjalan nampaknya turut andil dalam mempertahankan budaya korupsi di parlemen.

Proses penegakkan hukum terhadap kasus-kasus korupsi dicurigai tebang pilih dan malah menjadi agenda dari penguasa. Para tersangka kasus korupsi kebanyakan adalah mereka yang berhadapan dengan penguasa yang hari ini menjalankan pemerintahan.

Tanpa merasa bersalah bahwa ada amanah yang dititipkan dari orang per orang yang telah memilihnya di bilik-bilik suara, yang menginginkan wakil mereka adalah seseorang yang amanah, jujur dan berkualitas. Tak merasa berdosa saat wakil rakyat hanya melakukan rutinitas datang, duduk, diam, duit, dan tidak memperjuangkan apapun untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat (minimal) di daerah pemilihannya.

Sangat jauh panggang dari api apabila ingin ada proses pencerdasan politik apalagi penanaman nilai-nilai luhur kebangsaan dari sang calon wakil rakyat dengan konstituennya. Karena proses pemilihan yang transaksional hanya memerlukan segala hal yang berupa materi: uang, tampang, pencitraan.

Tak perlu pintar meyakinkan rakyat melalui pidato bernas yang disajikan secara artikulatif karena menurut mereka rakyat hanya butuh orkes musik dangdut, uang tunai dan sembako. Tak penting merumuskan program kerja selama 5 tahun ke depan karena pemilih hanya butuh uang rokok dan uang bensin untuk menghadirkan mereka di acara pertemuan. Dan terpenting bagi mereka yang ingin menjadi anggota legislatif, siapkan sejumlah dana yang cukup untuk beli suara di KPUD untuk mendongkrak perolehan suara yang minim diraih.

Pemilu transaksional seperti layaknya jual beli di pasar. Ada uang ada barang, ada sembako ada suara, ada kaos ada dukungan, ada musik dangdut ada mobilisasi masa. Semua dihitung per kepala ditotal menjadi sebuah angka yang fantastis. Siapkan uang maka siaplah massa.

Sistem pemilu dan pola kampanye semacam itu tentunya tidak bisa diharapkan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas. Ketika uang bicara maka hanya mereka yang memiliki modal capital yang mampu melaksanakan segenap acara seremonial pesta. Padahal mereka yang memiliki uang tidak selamanya memiliki kapasitas dan integritas sebagai calon wakil rakyat. Pun tidak semua orang yang tidak memiliki uang juga memiliki kapasitas dan integritas yang baik.

Tetapi prosesnya harus dibuat sebaik mungkin agar proses rekruitmen calon wakil rakyat tidak hanya dimonopoly oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial semata. Proses regenerasi calon-calon pemimpin bangsa harus dibuka seluas-luasnya melalui mekanisme yang terbuka, berjenjang, dan efisien dari segi mobilisasi sumber daya.

Berharap pada partai politik selaksa menggantang asap sulit dibayangkan. Hampir semua partai politik sibuk dengan agenda kekuasaan, saling sandera dan terus melakukan langkah-langkah pencitraan melalui media. Sekali lagi rakyat dijejali dengan informasi yang searah, manipulatif, dan tidak mencerdaskan. Sungguh bukan itu yang diperlukan rakyat.

Ada Tanggung Jawab Kita

Ada tanggung jawab kita selaku generasi penerus yang telah menikmati sebuah kebebasan. Kebebasan yang hanya bisa dinikmati karena kita merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan. Kita berhutang kepada para pahlawan yang gugur mengorbankan harta dan nyawanya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kita harus meneruskan perjuangan para pahlawan dalam dimensi yang berbeda. Musuh kita adalah kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan. Musuh bersama kita adalah penguasa yang zalim yang menjadikan rakyatnya sebagai sapi perahan sementara mereka asik menghamba kepada negara asing dan kapitalis dunia.

Ada tanggung jawab kita kelompok masyarakat yang berpendidikan dan berpengahasilan menengah serta mampu mengakses informasi yang luas untuk berbuat lebih ketimbang pasif dan menarik diri dari pergulatan politik. Turun tangan, istilah yang sedang in hari ini dan tidak hanya sibuk berkomentar seraya menarik diri agar tidak ikut menjadi "kotor". Padahal membiarkan pengelolaan negara ini kepada orang-orang yang tidak memiliki komitmen dan integritas sebagaimana kualitas dan rekam jejaknya yang juga dipertanyakan, merupakan bentuk kejahatan yang tersembunyi.

Kita telah mengecap pendidikan yang baik hingga mampu bekerja baik pula dan memiliki tingkat kesejahteraan diatas rata-rata hidup bangsa Indonesia punya tanggung jawab sosial, moral dan politik untuk mengawal proses demokrasi agar berjalan dengan baik, jujur dan adil.

Kalau kita apatis dan menarik diri maka kita sama artinya dengan mengingkari nikmat yang sudah kita peroleh melalui subsidi pendidikan yang kita terima setiap tahunnya. Subsidi yang diberikan oleh negara dari uang hasil keringat seluruh rakyat Indonesia yang membayar pajak, yang merelakan masa depannya tergadaikan oleh sumber daya alam yang dikelola tidak benar oleh negara ini. Kita adalah buah dari penikmat subsidi pendidikan hingga kita bisa hidup sejahtera dan mapan hari ini.

Kita wajib mengembalikan arah perjuangan bangsa Indonesia ke dalam relnya sebagaimana yang konstitusi tetapkan. Kita jangan menyerah pada kekuatan politik yang korup, manipulatif dan berupaya menjajah bangsanya sendiri. Kita melihat dengan jelas kejaliman nampak didepan kita, karena itu kita harus melawan dengan Tangan Kita, Dengan Mulut Kita, dan Dengan Hati Kita. Dan itu adalah selemah-lemahnya wujud kecintaan kita kepada bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Sistem Transaksional dan Pembodohan Rakyat

Apabila proses politik hanya berdasarkan pada kekuatan uang tanpa kualitas maka yang terjadi adalah proses transaksional belaka. Logika sederhana ketika sang calon sudah terpilih adalah bagaimana mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan untuk membeli tiket menuju kursi wakil rakyat. Karena itulah kita sering mendengar praktek-praktek calo anggaran, BUMN sebagai sapi perahan, itu semua adalah akibat dari pola kampanye yang transaksional.

Pola-pola semacam itulah yang telah melahirkan Nazarudin, Angelina Sondakh, Emir Moeis, Andi Malarangeng, dll. Mereka-mereka adalah para calon wakil rakyat yang dulu berjanji untuk menjadi wakil yang jujur, amanah, dan tidak korupsi. Tetapi perjalanan waktu yang pada akhirnya membuktikan bahwa mereka tak lebih dari pedagang yang berfikir untung dan rugi. Janji tinggalah janji, saat menjabat semua janji dilupakan.

Pola kampanye transaksional tersebut sesungguhnya berakar dari pemikiran bahwa rakyat adalah bodoh dan hanya sebagai objek belaka. Rakyat dapat dieksploitasi dan dibohongi serta mereka tidak memiliki keinginan dan kemampuan untuk memiliki seorang wakil rakyat yang berkualitas, jujur dan amanah.

Lebih jauh lagi, mereka-mereka yang menggunakan pola transaksional sebenarnya hanya melihat politik sebagai sebuah jabatan semata. Politik sebagai prestise yang memberikan kedudukan yang terhormat kepada sessorang sehingga dia memiliki hak-hak istimewa dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Bagi mereka yang menggunakan pola-pola transaksional hanya menjadikan Pemilu sebagai seremonial belaka, semacam “pesta” demokrasi. Tanpa hasil dan tujuan yang jelas maka bukan tidak mungkin pola transaksional ini yang menjadi mainstream bagi para politisi yang tidak paham akan makna hakiki menjadi seorang politisi.

Politik adalah Pengabdian

Politik sejatinya adalah pengabdian yang lahir dari sebuah keterpanggilan dan keinginan untuk membangun kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian bangsa Indonesia. Ujung dari politik adalah kesejahteraan rakyat serta meningkatnya harkat dan martabat bangsa Indonesia dalam pergaulan dunia yang bermartabat. Lebih jauh lagi politik adalah pengabdian dan keinginan untuk melayani orang banyak.

Oleh karena itu politik juga harus dimaknai sebagai sebuah proses pencerdasan masyarakat dan proses pemberdayaan masyarakat. Ada dimensi pendidikan dalam politik sebagaimana proses ketauladanan ditegakkan melalui hal-hal yang prinsip walaupun itu cuma soal yang sederhana. Ada proses dialog dan tukar fikiran terhadap soal-soal yang dialami oleh rakyat. Moral dan etika seharusnya menjadi landasan dalam berpolitik bukan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.

Karena rakyat sejatinya adalah subjek dan pemegang kedaulatan. Karena itu rakyat harus dibangkitkan semangatnya serta diberikan pemahaman yang benar agar mampu berfikir kritis namun tetap objektif. Rakyat harus diberdayakan melalui kegiatan diskusi, dialog, tukar pikiran, urun rembug serta berbagai macam kegiatan yang bersifat partisipatif agar memancing rakyat memiliki keberanian untuk menyampaikan pikiran, ide, dan gagasannya. Rakyat harus mengemukakan isi hatinya dengan jelas, jujur dan apa adanya.

Jangan malah sebaliknya rakyat dibodohi dan hanya dimobilisasi untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Namun setelah terpilih rakyat sama sekali tidak disentuh untuk memperoleh informasi, wawasan dan pendidikan politik yang akan mencerdaskan sekaligus memberdayakan mereka. Pola-pola menjadikan rakyat sebagai objek dan bahan eksploitasi adalah tindakan amoral yang tidak bertanggung jawab. Hal itu hendaknya tidak dilakukan oleh mereka yang berniat mencalonkan diri menjadi wakil rakyat.

Pemahaman yang salah juga sering terjadi pada mereka yang berniat menjadi wakil rakyat. Bahwa wakil rakyat bukanlah seorang tuan dan rakyat abdinya apalagi justru malah minta dilayani oleh rakyat. Justru sebaliknya wakil rakyat adalah seseorang yang terpanggil untuk melayani dan mendengarkan keluhan rakyat sambil berupaya mencari solusi dari berbagai persoalan yang dialami rakyat. Melalui berbagai fungsi yang dimiliki seorang wakil rakyat dalam hal kebijakan anggaran, program, dan kegiatan dari kementerian serta instansi terkait agar diarahkan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat.

Namun, bagaimana dapat memperjuangkan aspirasi dan persoalan rakyat apabila mengetahui persoalannya pun dia tidak mampu. Bagaimana bisa membela kepentingan rakyat apabila tidak mampu merumuskan apa yang akan dilakukan selama menjabat nantinya. Lantas bagaimana rakyat akan memastikan wakil mereka akan bertindak amanah dan jujur serta serius memperjuangkan persoalan mereka apabila tidak ada mekanisme yang dapat mengontrol wakil rakyat baik secara langsung ataupun tidak langsung ?

Berapa banyak calon yang berjanji ? Berapa partai yang berusaha meyakinkan rakyat ? Berapa calon pemimpin dan kepala daerah yang berkampanye manis ? Ternyata dalam pelaksanaannya mereka semua mengingkari.

Saatnya Rakyat Proaktif Menentukan Wakil Mereka

Pola-pola kampanye yang dilakukan selama ini terbukti tidak memberdayakan rakyat dan malah hanya menjadikan rakyat sebagai objek semata. Para calon wakil rakyat hanya melakukan pencitraan tanpa upaya untuk membangkitkan kecerdasan kritis masyarakat. Selanjutnya rakyat tidak memiliki mekanisme kontrol terhadap sang calon setelah terpilih. Hubungan yang terbangun bersifat transaksional dan situasional pada saat kampanye semata tanpa ada kelanjutan setelah sang calon terpilih nantinya.

Karena itu sudah saatnya rakyat lebih proaktif dalam menentukan calon wakil mereka dan partai yang akan diusung untuk menjadi wakil mereka di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah.

Secara sadar, sistematis dan terorganisir rakyat harus melakukan sebuah gerakan untuk menentukan wakil-wakil mereka yang akan duduk dilembaga legislatif nantinya. Karena itu rakyat pula yang akan menentukan kriteria-kriteria dari calon wakil rakyat tersebut. Pola hubungan yang akan dibangun perlu juga ditetapkan oleh rakyat agar tidak terjadi pola “jual beli putus”. Sehingga selama masa jabatannya wakil rakyat tetap memiliki hubungan yang kuat, jelas dan efektif. Hal ini juga sebagai perwujudan dari wakil rakyat yang mengakar dan memahami kondisi dan persoalan pemilihnya.

Mekanisme kontrol juga mutlak dimiliki oleh rakyat terhadap wakilnya di parlemen. Jangan sampai setelah menjabat yang dilakukan wakil rakyat malah memperkaya diri dan partainya serta lupa untuk memperjuangkan rakyat di daerahnya. Termasuk untuk mengganti wakil-wakil rakyat yang terbukti secara langsung dan sah melakukan tindakan melanggar hukum termasuk korupsi. Rakyat berhak meminta partai dan lembaga penegak hukum untuk memberhentikan jabatan wakil rakyat secara langsung. Kesemua pra syarat dan kondisi ini ditandatangani oleh sang calon melalui kontrak politik yang ditandatangani di atas materai dan disahkan oleh notaris.

Kriteria yang ditetapkan oleh masyarakat tentunya normatif sebagaimana yang ditetapkan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Namun kriteria tersebut dipertajam dengan kesediaan sang calon untuk menandatangani sejumlah persyaratan yang ditetapkan lagi oleh masyarakat. Misalnya soal korupsi masyarakat dapat menetapkan sebuah kontrak politik yang menyatakan bahwa seandainya dalam masa jabatannya ditemukan adanya aset yang tidak tercantum seperti didalam laporan kekayaan pajak kepada negara, maka aset tersebut dapat disita oleh negara.

Melaporakan kekayaan dan penghasilannya kepada kantor pajak adalah sesuatu hal yang mutlak dan wajib dilakukan oleh setiap warga negara apalagi calon wakil rakyat. Mengapa ? Karena melalui mekanisme yang dimiliki oleh negara dan dapat dilakukan kepada setiap warga negara, penghasilan dan kekayaan yang dimiliki oleh sang wakil rakyat dapat diketahui termasuk oleh publik. Hal ini sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi harta dan kekayaan sebelum, saat dan setelah selesai memegang jabatan.

Bahkan rakyat dapat meminta kepada Partai Politik yang mengusung sang calon agar dapat mengambil kebijakan pemecatan apabila sang wakil rakyat nantinya terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Bahkan partai politik tersebut secara terbuka dapat mengkampanyekan kebijakan ini dan bahkan mencantumkannya dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai. Sehingga rakyat dengan sendirinya akan memilih partai yang memiliki komitmen kuat bukan hanya dalam janji dan kampanye politik untuk jujur dan bersih tetapi juga menetapkannya dalam aturan dan ketentuan berpartai.

Kampanye Partisipasi Masyarakat

Gambaran ideal tentang pemilihan calon wakil rakyat yang berkualitas, jujur dan amanah tentunya membutuhkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat semenjak dini. Logika mendasar dan sederhana adalah bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan menginginkan wakilnya yang baikpun jangan sampai malah menjadi faktor yang mendorong elit dan partai menjadi berpola transaksional.

Oleh karena itu, konsekwensinya rakyat juga harus membantu sepenuhnya sang calon mulai dari saat pencalonan, mengamankan suaranya, hingga mereka terpilih. Kawal terus setiap tahapan dan proses yang berlangsung agar calon yang benar-benar berkualitas dan menjadi pilihan rakyat akan terpilih nantinya dan duduk sebagai wakil mereka.

Karena itu sebaiknya sukarelawan tidak mengharapkan imbalan langsung berupa materi saat memberikan dukungan kepada sang calon. Bahkan, bukan tidak mungkin masyarakat juga yang harus menggalang dukungan finansial agar sang calon tidak diberatkan dan malah mengaburkan komitmennya untuk berperilaku jujur dan amanah saat menjabat nantinya.

Pola-pola semacam ini di negara-negara maju sudah biasa dilakukan melalui mekanisme public participatory campaign. Justru masyarakatlah yang proaktif dan terlibat secara penuh baik dalam hal finansial dan menghadiri berbagai kegiatan yang kesemuanya bersifat kesukarelaan.

Terbentuknya tim relawan untuk memenangkan seorang calon dengan sendirinya akan meminimalisir pola-pola kampanye transaksional yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan uang. Sebaliknya, secara nyata rakyat dapat melahirkan figur-figur muda yang jujur, bersih, berkualitas dan merakyat agar dapat menduduki jabatan selaku wakil rakyat.

Kontrak Politik

Karena partisipasi dan dukungan penuh sudah dilakukan oleh masyarakat hingga terpilihnya sang calon, maka dengan sendirinya masyarakat dapat menetapkan kontrak politik yang mengikat calon tersebut mulai dari proses pemilihan sampai habis masa jabatan nantinya.

Masyarakat dapat membuat mekanisme yang mengharuskan untuk mengalokasian jumlah tertentu dari penghasilan sang wakil rakyat untuk dikembalikan langsung kepada masyarakat melalui kegiatan kesehatan, pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Pengelolaan dana tersebut tentunya harus dilakukan secara profesional dan transparan oleh lembaga yang dibentuk bersama para sukarelawan tadi dan diaudit secara berkala. Sangat wajar dan masuk akal apabila pola ini diterapkan karena atas peran dan keterlibatan masyarakat maka sang calon dapat terpilih dengan dana yang minimal.

Selama lima tahun masa jabatannya maka akan terdapat dana untuk dipergunakan bagi peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan di daerah pemilihan sang wakil rakyat. Secara terprogram dan bergiliran masyarakat di setiap kecamatan dapat merasakan manfaat secara langsung kehadiran seorang wakil rakyat.

Secara khusus pola hubungan yang akan dibangun bersama para relawan nantinya adalah pola hubungan yang saling mengisi, saling memperkuat, dan saling memberdayakan. Akan banyak peluang dan kesempatan untuk pengembangan dan aktualisasi diri bagi para relawan setelah sang calon menjadi wakil rakyat. Tentunya peluang dan kesempatan tersebut dalam artian yang positif seperti kesempatan untuk mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi, atau kesempatan mengisi jabatan-jabatan publik di daerah. Intinya adalah hubungan antara relawan dan sang calon tetap akan dibangun selama masa jabatan anggota legislatif.

Hal ini penting agar tercipta pola saling kontrol dan saling mengingatkan satu sama lain agar tidak melakukan hal-hal yang negatif dan bertentangan dengan komitmen awal saat dibangun bersama.

Kriteria Calon Wakil Rakyat

Masyarakat dapat menentukan sekaligus menyiapkan para calon wakil rakyat yang memiliki kapasitas dan kemampuan serta integritas dan moral yang baik. Jangan seperti sebuah ungkapan bahwa rakyat membeli kucing dalam karung. Disinilah pentingnya melihat rekam jejak track record dari sang calon wakil rakyat selama dia mengemban amanah dalam profesi apapun sebelumnya. Dibutuhkan gambaran yang jelas bukan hanya komitmen dan keberpihakannya terhadap persoalan rakyat tetapi juga faktor integritas dan moral yang akan menjadi faktor penting dalam aspek ketauladanan dan kepemimpinan di masa datang.

Hal yang paling dasar adalah pemahaman sang calon terhadap kondisi riil masyarakat dan daerah yang diwakilinya. Pengetahuan yang bersifat teknis serta didukung oleh data-data terkini yang valid tentang persoalan di sejumlah sektor menjadi hal yang sangat membantu. Rakyat membutuhkan calon-calon yang paham terhadap kondisi ril dan persoalan yang dihadapi oleh mereka. Persoalan-persoalan mendasar seperti kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur dasar, adalah sebagian kecil sektor yang harus dikuasai oleh wakil rakyat secara utuh dan komprehensif.

Jangan sampai ketika menjabat nantinya, wakil rakyat tidak menguasai persoalan dan tidak mampu mendiskusikan sebuah permasalahan ketika melakukan rapat dan pembahasan dengan kementerian dan istansi terkait. Pemahaman yang mendalam terhadap sebuah persoalan harus dimiliki serta wawasan yang luas agar tepat dalam memposisikan sebuah konteks persoalan mutlak dimiliki wakil rakyat. Keterkaitan antara soal-soal mikro dan kebijakan makro ditingkat nasional harus mampu dijembatani agar dihasilkan sebuah solusi yang tepat sasaran dan efisien dalam penganggaran.

Pemahaman sang calon terhadap fungsi dan kewenangan yang dimilikinya akan sangat mendukung dalam memberikan gambaran jelas terhadap apa yang akan dilakukan selama 5 tahun masa jabatan. Termasuk, sejauh mana sang calon memiliki kemauan dan kemampuan untuk mensinergikan sebuah kebijakan serta mengkoordinasikannya dengan instansi terkait dan pejabat lintas sektoral dan antar tingkatan pemerintahan, menjadi pertimbangan sejauh mana efektivitas program yang akan dilaksanakan nantinya.

Program Wakil Rakyat

Dan last but not least adalah program apa yang akan dilakukan seandainya terpilih selama masa jabatan nantinya. Berbicara program tentunya dalam kapasitas selaku wakil rakyat dan lembaga legislatif yang memiliki fungsi anggaran, pengawasan, dan legislasi. Bukan program dalam konteksi lembaga eksekutif yang memiliki fungsi dan kewenangan yang bersifat langsung. Hal ini perlu juga disampaikan kepada masyarakat pemilih agar tidak terjadi kerancuan dalam memaknai fungsi dan kewenangan seorang wakil rakyat.

Program yang direncanakan tentunya harus seusai dengan kebutuhan masyarakat, realistis, dan dapat diukur pencapaiannya. Realistis ada skala prioritas dari sekian banyak persoalan yang ingin diselesaikan dan dapat dicapai dengan anggaran dan waktu yang tersedia. Tidak kalah penting adalah dapat diukur sejauh mana pencapaian keberhasilannya. Hal ini penting agar masyarakat dapat mengontrol sejauh mana wakil mereka sudah bekerja serius dan bersungguh-sungguh atau hanya datang, duduk diam dan duit saja.

Dalam perkembangnnya masyarakat dapat menggunakan tolok ukur sebagai sebuah penilaian atas kinerja dari wakil rakyat terhadap program-program yang sudah dijanjikan. Melalui pola-pola partisipasi publik, dapat diidentifikasi apa saja, berapa besar, kapan, dan bagaimana sang calon berjanji kepada masyarakat. Kemudian, selama masa menjabat diukur sejauh mana janji yang terucap mampu direalisasikan. Tentunya yang diukur semata-mata bukan hanya hasil akhir tetapi juga proses yang dijalankan oleh wakil rakyat selama menjabat. Hal ini harus menjadi pertimbangan mengingat fungsi dan kewenangan lembaga legislatif dalam hal budget, legislasi, dan pengawasan.

Oleh karena itu sangat penting artinya sebuah keterbukaan dan akuntabilitas atas kinerja wakil rakyat yang dapat diketahui secara langsung ataupun tidak langsung oleh konstituennya. Melalui media sosial seorang wakil rakyat dapat dilihat dan diukur sejauh mana keberhasilannya dalam merealisasikan janji-janji politik selama masa jabatannya.

Hasil Akhir

Apabila pola partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam menentukan calon wakil rakyat sudah dapat dilakukan maka bukan saja akan dihasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas tetapi juga wakil-wakil rakyat yang jujur, dan amanah. Karena mereka paham dan sadar bahwa apabila melanggar kontrak politik yang sudah diteken bersama rakyat maka dipecat adalah paling minimal yang mereka harus hadapi selain konsekwensi hukum.

Para wakil rakyat akan bekerja secara serius, fokus dan terukur untuk program-program yang realistis dan tepat sasaran bagi masyarakat di daerah pemilihannya. Secara signifikan akan terjadi peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan diberikannya kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat yang lahir dari kebijakan-kebijakan yang kepada pro rakyat.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun