Mohon tunggu...
Wahyu Permana
Wahyu Permana Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan pengamat masala sosial kemasyarakatan dan pertahanan keamanan

Staf Ahli DPD RI, Ketua Lembaga Hak Konstitusi Indonesia, pegiat anti Narkoba di provinsi Banten, Direktur Eksekutif Pilkada Watch, Pengamat Sosial Kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kampanye Partisipasi Publik : Mungkinkah?

22 Oktober 2013   13:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:10 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apabila proses politik hanya berdasarkan pada kekuatan uang tanpa kualitas maka yang terjadi adalah proses transaksional belaka. Logika sederhana ketika sang calon sudah terpilih adalah bagaimana mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan untuk membeli tiket menuju kursi wakil rakyat. Karena itulah kita sering mendengar praktek-praktek calo anggaran, BUMN sebagai sapi perahan, itu semua adalah akibat dari pola kampanye yang transaksional.

Pola-pola semacam itulah yang telah melahirkan Nazarudin, Angelina Sondakh, Emir Moeis, Andi Malarangeng, dll. Mereka-mereka adalah para calon wakil rakyat yang dulu berjanji untuk menjadi wakil yang jujur, amanah, dan tidak korupsi. Tetapi perjalanan waktu yang pada akhirnya membuktikan bahwa mereka tak lebih dari pedagang yang berfikir untung dan rugi. Janji tinggalah janji, saat menjabat semua janji dilupakan.

Pola kampanye transaksional tersebut sesungguhnya berakar dari pemikiran bahwa rakyat adalah bodoh dan hanya sebagai objek belaka. Rakyat dapat dieksploitasi dan dibohongi serta mereka tidak memiliki keinginan dan kemampuan untuk memiliki seorang wakil rakyat yang berkualitas, jujur dan amanah.

Lebih jauh lagi, mereka-mereka yang menggunakan pola transaksional sebenarnya hanya melihat politik sebagai sebuah jabatan semata. Politik sebagai prestise yang memberikan kedudukan yang terhormat kepada sessorang sehingga dia memiliki hak-hak istimewa dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Bagi mereka yang menggunakan pola-pola transaksional hanya menjadikan Pemilu sebagai seremonial belaka, semacam “pesta” demokrasi. Tanpa hasil dan tujuan yang jelas maka bukan tidak mungkin pola transaksional ini yang menjadi mainstream bagi para politisi yang tidak paham akan makna hakiki menjadi seorang politisi.

Politik adalah Pengabdian

Politik sejatinya adalah pengabdian yang lahir dari sebuah keterpanggilan dan keinginan untuk membangun kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian bangsa Indonesia. Ujung dari politik adalah kesejahteraan rakyat serta meningkatnya harkat dan martabat bangsa Indonesia dalam pergaulan dunia yang bermartabat. Lebih jauh lagi politik adalah pengabdian dan keinginan untuk melayani orang banyak.

Oleh karena itu politik juga harus dimaknai sebagai sebuah proses pencerdasan masyarakat dan proses pemberdayaan masyarakat. Ada dimensi pendidikan dalam politik sebagaimana proses ketauladanan ditegakkan melalui hal-hal yang prinsip walaupun itu cuma soal yang sederhana. Ada proses dialog dan tukar fikiran terhadap soal-soal yang dialami oleh rakyat. Moral dan etika seharusnya menjadi landasan dalam berpolitik bukan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.

Karena rakyat sejatinya adalah subjek dan pemegang kedaulatan. Karena itu rakyat harus dibangkitkan semangatnya serta diberikan pemahaman yang benar agar mampu berfikir kritis namun tetap objektif. Rakyat harus diberdayakan melalui kegiatan diskusi, dialog, tukar pikiran, urun rembug serta berbagai macam kegiatan yang bersifat partisipatif agar memancing rakyat memiliki keberanian untuk menyampaikan pikiran, ide, dan gagasannya. Rakyat harus mengemukakan isi hatinya dengan jelas, jujur dan apa adanya.

Jangan malah sebaliknya rakyat dibodohi dan hanya dimobilisasi untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Namun setelah terpilih rakyat sama sekali tidak disentuh untuk memperoleh informasi, wawasan dan pendidikan politik yang akan mencerdaskan sekaligus memberdayakan mereka. Pola-pola menjadikan rakyat sebagai objek dan bahan eksploitasi adalah tindakan amoral yang tidak bertanggung jawab. Hal itu hendaknya tidak dilakukan oleh mereka yang berniat mencalonkan diri menjadi wakil rakyat.

Pemahaman yang salah juga sering terjadi pada mereka yang berniat menjadi wakil rakyat. Bahwa wakil rakyat bukanlah seorang tuan dan rakyat abdinya apalagi justru malah minta dilayani oleh rakyat. Justru sebaliknya wakil rakyat adalah seseorang yang terpanggil untuk melayani dan mendengarkan keluhan rakyat sambil berupaya mencari solusi dari berbagai persoalan yang dialami rakyat. Melalui berbagai fungsi yang dimiliki seorang wakil rakyat dalam hal kebijakan anggaran, program, dan kegiatan dari kementerian serta instansi terkait agar diarahkan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat.

Namun, bagaimana dapat memperjuangkan aspirasi dan persoalan rakyat apabila mengetahui persoalannya pun dia tidak mampu. Bagaimana bisa membela kepentingan rakyat apabila tidak mampu merumuskan apa yang akan dilakukan selama menjabat nantinya. Lantas bagaimana rakyat akan memastikan wakil mereka akan bertindak amanah dan jujur serta serius memperjuangkan persoalan mereka apabila tidak ada mekanisme yang dapat mengontrol wakil rakyat baik secara langsung ataupun tidak langsung ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun