Mohon tunggu...
Tomy Bawulang
Tomy Bawulang Mohon Tunggu... Human Resources - Pembaca

Pendengar, Penyimak, , dan Perenung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Multi Konteks Evolusi

4 Februari 2021   08:59 Diperbarui: 5 Februari 2021   10:43 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terjemahan sederhananya, ujaran yang tidak problematis yang klaimnya tidak cukup kuat untuk membuktikan sesuatu. Karena tidak ada premis yang dapat mendukung kesimpulan atau kesimpulan yang dapat ditarik mundur untuk mendukung premis. Dengan demikian maka tweet yang noninferential dan sederhana ini, tidak usah dipaksakan untuk dibuat premis yang kuat untuk mendukung kesimpulan inferensi atau tafsiran yang logikanya sejak awal sudah tidak nyambung.

 

Pembaca mungkin akan mendebat saya, "tapi kan ini konteksnya tidak sesederhana itu, pasti ada cara inferensi atau pendekatan tafsir lain yang bisa di pakai. Kan ada yang disebut makna tersurat dan tersirat. 

Oke saya coba menggunakan pendekatan psikolingusitik untuk menggali makna yang tersirat. Memang, jika menggunakan kacamata psikolinguistik (subjektif), saya bisa memaknai bahwa kalimat cuitan Abu Janda mengandung makna superioritas dan inferioritas. Secara intrinsik atau tersirat, sang pengucap menempatkan posisi superioritas terhadap objek kalimat "kau". Sebab dalam dialektika dan interpretasi psikolingistik ini bisa diinterpretasi seperti berikut:   "kamu belum selesai berevolusi" (Kemungkinan Proposisi),   makanya "Kamu tidak dalam kapasitas mengkritisi Pak AM Hendropriyono" (Kemungkinan Konklusi - theorem). Nah, apakah pemaknaan seperti ini cukup untuk menjadikan statement Abu Janda dianggap sebagai ungkapan kebencian yang mengandung unsur SARA? Jawaban saya: TIDAK! Sebab kalimat ini sendiri menghasilkan kesimpulan (theorem) yang prematur.  Kenapa? Masih ada runutan logika yang hilang -- missing link dalam kalimat tersebut yang harus dipenuhi untuk dapat menghasilkan kesimpulan logis yang sahih yaitu premise yang logis yang didalamnya harus mencakup makna definitif 'evolusi' yang disepakati bersama.

 

Masih ada cara lain?

 
Oke, saya coba berandai andai dengan menggunakan pendekatan logika kondisional "Jika - maka" atau "antecedent -- consequent" . Jika menggunakan model kondisional agar ini dapat memenuhi kriteria urutan logis dan bisa terdengar sebagai dasar argumen yang dibawah ke ranah hukum, maka kalimat itu dapat di'paksakan' menjadi kira kira seperti berikut:

 

"Jika Abu Janda menanyakan soal ketuntasan evolusi Natalius Pigai (Argument/Proposisi/statement - antecedent), Maka Abu Janda melakukan ujaran kebencian yang mengandung unsur rasisme/SARA (Konklusi/kesimpulan- theorem -consequent)".

 

Kita lihat, meskipun dipaksakan seperti ini, konklusi/kesimpulan pada kalimat ini pun sangat prematur dan tidak memenuhi runut logika. Bagian terpenting dari kalimat ini yang mestinya berfungsi sebagai Premise/bukti tingkat 'truth value' statementnya sangat lemah bahkan tidak ada. Kita bisa memaksa bahwa kata  'evolusi' ini kita jadikan premise namun, kita harus sepakat dulu makna evolusi ini dalam konteks yang mana? Ingat seperti yang saya jelaskan diatas bahwa kata "evolusi" itu multi konteks dan oleh karenanya menjadi multitafsir. Dalam kasus tweet Abu Janda, kita hanya bisa menebak bahwa konteksnya adalah perseteruan Abu Janda dengan Natalius Pigai karena pembelaan Abu Janda terhadap A.M Hendropriyono. Tapi konteks penggunaan kata "evolusi",  ini yang tahu persis adalah Abu Janda sendiri. Abu Janda -- dalam dialektika tersebut adalah authoritative agent yang punya otoritas mendefinisikan terminologi 'evolusi" dan menentukan  "contextual ground" terhadap definisinya. Jika pun definisinya didebat, maka perdebatan ini hanya bisa dilakukan pada 'contextual ground' atau ruang yang didefinisikan Abu Janda.  Ilustrasi sederhananya, mari kita ganti kata evolusi dengan kata 'bola' : "Sudah selesai kau main bola?" lalu tanpa konfirmasi kita langsung berasumsi bahwa yang dimaksud bermain bola adalah 'bola kaki/ sepak bola" Lantas kita membuat kesimpulan tentang 'bola' dalam ranah 'lapangan bola kaki'. Belum tentu kan? Jika yang bertanya kemudian berdalih "saya tidak menanyakan anda tentang bola kaki, yang saya maksudkan adalah bola volley" . Pertanyaan, atas dasar logika apa kita mendebat atau memperkarakan si penanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun