Agak di luar dugaan, elektabilitas Pramono-Rano di Pilgub Jakarta merangkak naik dan kini, tinggal dalam hitungan pekan, mereka berhasil mengungguli Kamil-Suswono yang diusung dan disokong koalisi gigantis (KIM Plus) dan tiga figur maqom Presiden (Prabowo, Jokowi dan SBY). Â Posisi unggul ini ditunjukan oleh hasil sigi Litbang Kompas dan LSI yang dirilis beberapa hari lalu.
Dalam versi Litbang Kompas Pramono-Rano meraih angka 38.3 %, Kamil-Suswono 34.6%, dan Dharma-Kun 3.3%. Sisa warga yang belum menentukan arah pilihan sebanyak 23.8% diperkirakan akan memberikan suara untuk Pramono-Rano sebanyak 12%, untuk Kamil-Suswono sebanyak 10.8%, dan untuk Dharma-Kun sebanyak 1%.
Hasil yang tidak jauh berbeda juga ditunjukan oleh Saiul Mujani Research and Consulting (SMRC). Elektabilitas paslon Pramono-Rano mencapai angka 46%. Sementara Ridwan Kamil-Suswono hanya ada di angka 39,1 persen, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana sebesar 5,1 persen. Sisanya sebesar 9.8% belum menentukan pilihan.
Beberapa pekan sebelumnya, posisi yang tidak jauh berbeda juga ditunjukan oleh hasil survei LSI. Pramono-Rano meriah 41.6%, Kamil-Suswono ada di angka 37.4%, dan Dharma-Kun 6.6%. Sisanya sekitar 15 persenan warga belum menentukan arah pilihannya.
Jika dalam beberapa hari kedepan hingga hari H pemungutan suara 27 November nanti jarak pergerakan angka-angka ini konstan, dapat dipastikan Pramono-Rano bakal memimpin Jakarta lima tahun kedepan.
Namun sebagaimana dikemukakan Litbang Kompas. SMRC maupun LSI, posisi angka-angka elektabilitas ini masih dinamis dan karenanya bisa berubah. Bisa saling menyalip, bisa juga ajeg (konstan) pergerakannya mengikuti hasil survei ketiga lembaga itu saat ini.Â
Yang pasti, siapapun pemenangnya dari kedua pasangan kandidat ini, mereka tidak akan menang dengan cara mudah. Bahkan sangat mungkin kemenangan itu hanya bisa dicapai melalui dua putaran Pilgub.
Dua Putaran dan Suara Dharma-Kun
Sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang juga ditetapkan kembali dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pilkada DKI memang beda sendiri dalam pengaturan penetapan pemenang Pilkada.
Didalam kedua UU tersebut dinyatakan, bahwa pasangan calon yang ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur adalah mereka yang memperoleh suara lebih dari 50% (limapuluh persen) suara. Dalam kajian Pemilu pengaturan ini mengadoposi sistem Pemilu First Past The Post (FPTP) dengan sedikit modifikasi.Â
Bahwa pemenang kontestasi adalah mereka yang meraih suara mayoritas dengan tambahan ketentuan harus melebihi angka 50% suara. Sama persis dengan pengaturan untuk Pilpres 2024 yang lalu.
Berdasarkan pengaturan tersebut, maka kemenangan yang bisa diraih langsung dalam satu putaran adalah jika terdapat hanya 2 pasangan calon yang berkontesasi.Â
Jika lebih dari 2 paslon (meski hanya 3 paslon misalnya) maka kemenangan dengan satu putaran agak rawan karena total suara akan tersebar ke lebih banyak pasangan calon. Inilah yang sedang dan akan dihadapi ketiga paslon dalam Pilgub Jakarta.
Dalam konteks Pilgub Jakarta 2024, dengan merujuk beberapa hasil survei diatas potensi terjadinya dua putaran cukup terbuka. Karena hasil sigi dua pasangan kandidat, angka elektabilitas Pramono-Rano dan Kamil-Suswono, relatif tidak terpaut jauh. Dan potensi dinamis saling kejar dan saling salip kedua pasangan ini nampaknya juga akan sangat ketat, tidak akan beranjak atau melenceng jauh dari hasil survei.
Sementara itu pasangan calon satunya lagi yang tidak diunggulkan, Dharma Kun, menurut hasil survei tadi juga memperoleh suara. Ini jelas turut memengaruhi potensi terbukanya dua putaran Pilgub Jakarta. Let's say, Dharma-Kun bisa meraih suara 5% saja.
Ini artinya sudah mengurangi sebaran suara yang bisa diraih oleh salah satu dari dua paslon kuat tadi. Apalagi jika raihan suara Dharma-Kun lebih besar lagi.
Tesis sederhananya, semakin besar perolehan suara Dharma-Kun maka semakin besar pula peluang terjadinya Pilgub Jakarta dua putaran. Karena dengan demikian sebaran suara menjadi lebih melebar. Tentu dengan satu catatan tadi, bahwa pergerakan atau pergeseran suara Pramono-Rano dan Kamil-Suswono konstan dan tidak beranjak jauh dari hasil rurvei LSI maupun Litbang Kompas.
Lantas pasangan calon mana yang memiliki potensi lebih besar untuk memenangi kontestasi jika Pilgub Jakarta berlangsung dua putaran?
Faktor-faktor KemenanganÂ
Ada sejumlah faktor yang bisa menjadi "kunci" kemenangan baik bagi Pramono-Rano maupun Kamil-Suswono.
Pertama adalah pemilih dari basis suara partai politik pengusung paslon. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, pemilih PDIP cukup solid akan memberikan suaranya kepada Pramono-Rano, yakni sebanyak 65.8%.Â
Sementara trend sebaliknya terjadi pada PKS. Pemilih partai ini hanya 36.6% yang menyatakan mendukung Kamil-Suswono. Pada faktor ini, Pramono-Rano unggul secara komparatitf.
Kedua, tersiar kabar bahwa partai-partai yang tergabung dalam KIM Plus sesungguhnya tidak cukup solid membantu Kamil-Suswono, kecuali Golkar dan PKS karena kedua figur paslon ini merupakan kadernya masing-masing.Â
Partai-partai lainnya terutama yang besar dan menengah seperti PKB, Nasdem, PAN, Demokrat, PSI dan PPP (memang) terkesan kurang bergairah mengampanyekan Kamil-Suswono.
Kedatangan Jokowi ke Jakarta dan menemui Ridwan Kamil kemarin boleh jadi karena situasi "kurang gairahnya" anggota KIM Plus untuk memenangkan Kamil-Suswono.Â
Dalam beberapa hari kedepan dampak kedatangan Jokowi ini akan terlihat, apakah terjadi peningkatan gairah elektoral atau tetap stagnan di tubuh KIM Plus. Â
Jika isu ketaksolidan KIM Plus itu benar dan pertemuan Jokowi dengan Ridwan Kamil juga tak mengangkat gairah politik elit-elit partai di KIM Plus, satu lagi potensi menguntungkan akan berpihak pada Pramono-Rano.
Ketiga, Kamil-Suswono memang masih memiliki dua lagi "peluru elektoral" yang bisa sangat membantu kemenangannya. Yakni pengaruh Presiden Prabowo dan (mantan) Presiden SBY.Â
Dua sosok yang tentu saja bukan kaleng-kaleng. Kelas Presiden. Tetapi pengaruh ini tentu hanya bisa lahir jika dukungan keduanya diartikulasikan secara kongkrit dan tegas seperti yang dilakukan Jokowi.
"Kalau bapak, ibu bertanya kepada saya, kenapa saya (mendukung) Ridwan Kamil? Karena rekam jejak. Saya ulang. Kenapa saya Ridwan Kamil? Karena rekam jejak," ujar Jokowi sebagimana dikutip berbagai media nasional.
Sejauh ini apa yang dilakukan Jokowi belum dilakukan baik oleh Pesiden Prabowo maupun mantan Presiden SBY. Kecuali statemen tak langsung yang dikemukakan oleh elit Gerindra bahwa Prabowo mendukung Kamil-Suswono.Â
Nasihat SBY sebagai mantan Presiden kepada Ridwan Kamil ketika berkunjung ke Cikeas akhir September lalu. Selebihnya saya belum membaca pernyataan lugas seperti yang dilakukan Jokowi.
Khusus terkait Presiden Prabowo, nampaknya beliau akan sangat hati-hati untuk memberikan pernyataan dukungan yang terbuka kepada Kamil-Suswono setelah "insiden" video dukungannya kepada Lutfhi-Taj Yasin dikritik banyak pihak.Â
Prabowo, saya kira, tidak akan mengulangi lagi "blunder politik" yang tidak perlu. Dan sebagai Presiden idealnya beliau memang "netral" dalam Pilkada di daerah manapun, setidaknya di panggung depan yang bisa dilihat oleh publik.
Jika dugaan itu benar, Prabowo akan lebih memilih fokus mengurus Indonesia yang memiliki banyak "pekerjaan rumah" ketimbang cawe-cawe urusan satu-dua Cagub-Cawagub, maka ini akan menambah peluang kemenangan bagi Pramono-Rano. Peluang ini bahkan bisa dimanfaatkan sebagai berkah politik untuk memenangi Pilgub dengan satu putaran.
Faktor Kunci: Ahoker dan Anak AbahÂ
Tetakhir jika Kamil-Suswono masih memiliki dua tokoh besar kelas Presiden (Prabowo dan SBY0, Pramono-Rano sesungguhnya juga memiliki tokoh setara mereka, yakni (mantan) Presiden Megawati dan dua figur besar Jakarta, yakni Ahok dan Anies.Â
Pendukung ketiga figur ini jika dapat dikonsolidasikan bersama secara maksimal dalam satu barisan "melawan" dominasi gigantis-partitokrasi yang didukung kekuasaan nasional jelas akan menjadi kekuatan "pengunci" keberhasilan Pramono-Rano.
Megawati tentu saja tidak perlu dibahas, beliau adalah Ketua Umum PDIP bahkan yang memajukan Pramono-Rano ke medan laga Pilkada. Pun Ahok, tidak perlu diragukan, baik loyalitas maupun ikhtiarnya. Ia bagian dari Timsesnya.
Tetapi mempertemukan keduanya dangan Anies Baswedan, misalnya dalam satu panggung kampanye besar niscaya akan jauh lebih dahsyat.Â
Beberapa hasil survei menunjukan bahwa para pemilih Anies di Pilpres 2024 lalu sebagian besar condong akan memberikan suaranya kepada Pramono-Rano, baik yang basisnya berada di akar rumput PKS, Nasdem, PKB maupun para pemilih non-afiliasi partai.
Pertemuan Pramono-Rano dengan Anies beberapa hari lalu tentu saja akan memberi pengaruh. Dan ini sudah dibuktikan dengan Deklarasi Anak Abah melalui Relawan "Warga Kawal TPS" (ini Relawan yang dulu mendukung Anies di Pilkada 2017) sehari setelah pertemuan tersebut.
Sebagaimana diungkapkan Sahrin Hamid, juru bicara Anies kepada media : "Hari ini secara resmi tugas dan dukungan yang sama kami berikan kepada Pramono Anung dan Rano Karno."
Demikian pula dengan "Deklarasi 2000 Ahokers kepada Mas Pram dan Bang Doel' di Senayan Oktober lalu. Ini jelas akan menjadi bagian dari faktor-faktor penting yang dapat mengantarkan Pramono-Rano ke tampuk Gubernuran Jakarta.
Tetapi penting untuk diingat, politik (apalagi politik elektoral) adalah soal artikulasi, tentang citra dan kelugasan dalam mengambil sikap. Dan bagi figur-figur dengan massa pendukung melimpah seperti Megawati, Ahok dan Anies artikulasi ini amat penting untuk menghilangkan keraguan mereka dalam menentukan pilihan.
Maka sekali lagi, andai saja Megawati dan Banteng-bantengnya, Ahok dan Ahokersnya, serta Anies dan Anak Abahnya dapat dipersatukan lebih kongkrit dan lugas dalam satu medan kampanye besar, Pilgub Jakarta boleh jadi tidak perlu dua putaran. Mereka semua akan menjadi faktor "kunci" kemenangan Pramono-Rano, cukup satu putaran.
Situasi dan hasil sebaliknya bisa terjadi, jika berbagai elemen di seputaran Megawati-Ahok dan Anies masih saja membuka-buka "luka lama" politik identitas yang sejatinya sama-sama tidak pernah menghendaki. Pramono-Rano bisa tumbang, bahkan Pilkada tidak tidak membutuhkan dua putaran.
Saat ini ada kekuatan gigantis yang lahir dari perilaku politik kartel dan gejala partitokrasi yang bisa menyurutkan perkembangan demokrasi dan ini merebak di perhelatan Pilkada 2024.Â
Untuk mencegah dampak buruknya kedepan fenomena ini harus dilawan. Ini jauh lebih penting, strategis dan visioner ketimbang terus saja meratapi luka lama.                   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H