Sehingga merasa tidak diperlukan lagi untuk melihat kebelakang maupun kesamping sebagai upaya koreksi dan perbaikan.
Jika itu terjadi tentu sangat ironis dengan pidato kenegaraannya beberapa hari lalu setelah pelantikan dimana Prabowo dengan lugas berkomitmen dan mengajak seluruh elemen bangsa (khususnya jajaran pemerintahannya nanti) untuk berani mawas diri dan melakukan koreksi atas capaian-capaian yang secara statistikal terlihat membanggakan namun sesungguhnya tidak selalu menggambarkan situasi yang sebenarnya di dalam masyarakat.Â
Mulai dari isu kemiskinan, pengangguran, pendidikan, korupsi, hingga tatakelola bisnis yang belum berkeadilan.
Ketiga, secara lebih khusus publik juga menyoroti sejumlah figur (untuk menghindari "free kick" redaktur Kompasiana, saya tidak akan menyebutkan nama-namanya) yang selama membantu Presiden Jokowi saja kerap dianggap bermasalah, tapi kini masuk lagi di kabinet Prabowo.
Sejumlah masalah itu misalnya terkait kisruh dan kegagalan menjaga kedaulatan data warga negara; yang sempat tersangkut kasus-kasus dugaan korupsi; hingga ke blunder-blunder verbal dan perilaku politik pada tahapan Pemilu/Pilpres.
Jadi teringat "tawsiyah" Luhut Binsar Panjaitan kepada Prabowo jauh sebelum dilantik, Mei 2024 jika tidak keliru. Kepada Prabowo kala itu, Luhut menyarankan agar tidak mengajak orang-orang toxic kedalam kabinet. Toxic kepribadiannya maupun toxic karakter politik dan kepemimpinannya.
Tentu saja fakta-fakta yang dikritisi publik tidak perlu mengurangi apresiasi kepada Presiden Prabowo sekaligus optimisme yang dibangunnya di awal perjalanan kepemimpinannya ini.
Misalnya dengan mengangkat figur-figur kompeten, dapat diandalkan dan berintegritas seperti (sekadar menyebut beberapa contoh) : Kyai Nasarudin Umar di posisi Kemenag, Abdul Mu'ti di posisi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Profesor Yusril Mahendra sebagai Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Sjafrie Sjamsoedin sebagai Menteri Pertahanan, dan Satrio Sumantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi.
Bahwa beberapa nama tersebut (atau yang tidak disebut yang jumlahnya jauh lebih banyak lagi, terutama yang berlatar politisi dari berbagai partai politik) merupakan bagian dari Timses Prabowo di Pilpres dulu, publik saya kira tidak terlalu mempermasalahkan sepanjang mereka semua memang memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik.
Balas Jasa dan Pusaran Paradoks
Pemikiran yang sama boleh jadi juga ada di benak masyarakat terkait isu berikutnya yang menuai banyak kritik. Yakni soal banyaknya sosok di Kabinet (Menteri maupun Wamen) dan juga badan-badan lain seperti Utusan Khusus Presiden dalam berbagai bidang pekerjaan yang berasal dari lingkaran Timses dan Pendukung Prabowo. Mulai dari partai politik, relawan, selebritas maupun tokoh masyarakat.Â
Bahwa masyarakat nampaknya juga tidak mempersoalkan fakta-fakta tersebut sepanjang mereka yang masuk kabinet memang memiliki kecakapan dan kepantasan untuk membantu Presiden. Jadi, bukan semata-mata karena telah berjasa waktu Pilpres. Dalam tradisi politik elektoral fenomena ini adalah biasa dan hemat saya perlu dihargai, inilah fatsoen politik yang berlaku dalam tradisi kontestasi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!