Sebaliknya dengan postur birokrasi yang tambun (kaya struktur minim fungsi), selain menimbulkan inefisiensi anggaran dan birokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan (pembuatan regulasi dan kebijakan, pelayanan publik, perizinan usaha dll) beberapa potensi tak sehat juga bisa terjadi.Â
Misalnya rentang kendali (span of control) birokrasi (bahkan juga politik) yang terlalu lebar potensial dapat memperlemah kontrol  Presiden terhadap para pembantunya di kabinet.
Dalam konteks kendali Presiden ini pula, pembengkakan jumlah Kementerian (ditambah pula dengan perbanyakan jumlah Wakil Menteri) sesungguhnya juga memberi ruang yang lebih lebar terhadap berbagai potensi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power).Â
Karena kita tahu, setiap lembaga pemerintahan yang kepadanya diberikan otoritas biasanya akan saling memaksimalkan otoritasnya sendiri-sendiri. Dari perlakukan terhadap otoritas inilah penyimpangan dan penyelewengan dimulai.
Selain itu gejala yang demikian kerapkali disertai pula dengan tumbuhnya ego sektoral kelembagaan. Terlebih lagi jika koordinasi oleh para Menteri Koordinator (Menko) misalnya tidak berjalan dengan baik.Â
Maka bukan hanya ego sektoral yang akan terjadi, tetapi juga timpang tindih (overlapping) bidang tugas dan pekerjaan antar kementerian. Dan ini bisa berawal dan berujung pada lahirnya berbagai regulasi (yang saling berdekatan bidang pengaturannya).
Berbagai regulasi yang overlap (bahkan bisa sekaligus juga menjadi lebih banyak) dan mengisyaratkan ego sektoral itu pada akhirnya akan membuat kerja-kerja pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan program-program pembangunan maupun pelayanan publik menjadi lambat. Sampai pada titik ini semangat deregulasi akan bernasib sama dengan spirit debirokratisasi, sama-sama mengalami regresif, mengalami kemunduran.
Faktor Jokowi dan Menteri Toxic
Kritik publik yang kedua terhadap kabinet Prabowo adalah terlalu besarnya pengaruh Jokowi dalam penempatan figur-figur di kementerian. Lebih dari sepertiga jumlah Menteri (48) dan Pimpinan Lembaga di luar jajaran Kementerian (5) merupakan figur-figur lama di kabinet Jokowi.
Seperti pernah saya ulas dalam artikel sebelumnya, membentuk kabinet merupakan hak prerogatif Presiden. Ekstrimnya, bahkan jika seluruh anggota kabinetnya diisi oleh para Menteri era Jokowi juga tidak ada masalah sepanjang Prabowo sendiri tidak keberatan dan setuju dengan proposal Jokowi.
Masalahnya kemudian, dan ini sebetulnya yang dikhawatirkan publik. Pertama, dikhawatirkan Prabowo tidak cukup berdaulat dan mandiri sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang kepadanya disematkan hak prerogatif oleh konstitusi. Publik khawatir secara politik Prabowo akan banyak dikendalikan oleh Jokowi. Â
Kedua, atas nama terma "Keberlanjutan" yang telah menjadi tagline kampanyenya tempo hari publik juga khawatir Prabowo akan menggunakan "kacamata kuda" dalam menjalankan kepemimpinannya. Semua hasil dan capaian pemerintahan Jokowi dianggap tuntas dan sempurna, tanpa cacat dan kelemahan.Â