Mengapa apresiasi pantas diberikan kepada PDIP dan semua partai yang memiliki keberanian melawan hegemoni tunggal dalam proses kandidasi Pilkada? Karena dengan cara demikian hadirnya calon tunggal dalam Pilkada dapat dicegah.
Dalam konteks Pilgub Sumut ini (dan semoga juga di Pilkada lainnya) menang-kalah bagi PDIP adalah urusan kemudian. Urusan kedua setelah pasangan calon didaftarkan, urusan ikhtiar perjuangan, strategi dan taktik yang masih bisa dirancang matang dan dipersiapkan maksimal.
Urusan kini dan mendesak adalah bagaimana menghadirkan Pilkada substantif kepada rakyat. Yakni Pilkada sebagai jalan merotasi kepemimpinan secara demokratis sejak awal, sejak proses kandidasi, yang wajib ditunjukan dengan cara menyediakan sebanyak mungkin pilihan bagi rakyat.
Bukan dengan memaksakan calon tunggal, lalu rakyat di-fait accompli untuk memilihnya, atau jika tidak setuju disilahkan memilih kotak kosong. Lawak selawak-lawaknya!
Substansi Pilkada berikutnya adalah soal kompetisi. Yakni mekanisme pengajuan gagasan-gagasan perbaikan dan kemajuan yang secara teknis lazim disebut "visi, misi dan program" yang wajib disampaikan kepada publik.
Pilkada adalah media bagi para kandidat pemimpin lokal untuk mengompetisikan, mengadu-tanding gagasan-gagasan visioner, kompetensi dan pengalaman, integritas moral dan sosial, serta penyemaian harapan-harapan bagi rakyat Tentang masa depan daerah dan kehidupan masyarakatnya.
Dalam Pilkada dengan calon tunggal kesemuanya itu tidak mungkin terjadi. Tidak akan ada proposal politik gagasan yang dibedah dan diuji secara diskursif dan kompetitif di ruang publik. Kecuali sekadar dokumen formal persyaratan pencalonan.
Dengan siapa dokumen visi, misi dan program itu bakal diadu-tanding, diuji kritis dan dikompetisikan? Dengan kotak kosong? Ini adalah lawak selawak-lawaknya.
Substansi Pilkada
Jadi, Pilkada dengan calon tunggal hemat saya bakal kehilangan setidaknya dua substansi. Substansi pertama yang hilang adalah pilihan appeal to appeal, manusia lawan manusia, kandidat pemimpin lawan kandidat pemimpin. Bukan manusia lawan kotak kosong.
Substansi kedua yang hilang adalah kompetisi gagasan dan pemikiran visioner. Jika fakta serupa ini yang kemudian terjadi, di Sumut atau di daerah manapun, masih pantaskah Pilkada disebut sebagai Pilkada? Â Â Â
Dan yang tidak kalah penting, selain kehilangan substansi sebagai proses politik elektoral, Pilkada dengan calon tunggal juga potensial mengakibatkan partisipasi pemilih mengalami kemerosotan. Atau, partisipasi tetap tinggi, pemilih tetap berduyun ke TPS, tetapi arah pilihannya bukan untuk memberikan mandat kepada si calon tunggal. Melainkan untuk memenangkan kotak kosong.