Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

PDIP, Pilgub Sumut, dan Ikhtiar Menjaga Substansi Pilkada

13 Agustus 2024   11:45 Diperbarui: 13 Agustus 2024   15:39 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua DPP PDI Perjuangan Komarudin Watubun (ketiga dari kanan) memberikan surat tugas sebagai bakal calon Gubernur Sumatera Utara dari PDI-P untuk Edy Rahmayadi di Lapangan Astaka, Kabupaten Deli Serdang, Sumut, Sabtu (10/8/2024). KOMPAS/NIKSON SINAGA

Apresiasi layak diberikan kepada PDIP setelah memutuskan untuk mengusung Edy Rahmayadi sebagai Calon Gubernur Sumatera Utara.

Seperti dilansir berbagai media, surat penugasan Ketua Umum DPP PDIP Megawati itu diserahkan oleh  Ketua DPP Bidang Kehormatan, Komarudin Watubun kepada Letjen (Purn) Edy Rahmayadi di Deli Serdang Sumatera Utara (Detik.com, 10 Agustus 2024).

Dalam surat tugas bernomor: 3211/ST/DPP-VIII/2024 itu, DPP PDIP juga menginstruksikan kepada Edy untuk melakukan tiga hal strategis. Yakni melakukan konsolidasi internal, melakukan pemetaan kekuatan politik, dan mengikhtiarkan penambahan partai pendukung. Tugas ini mirip dengan tugas DPP PKS kepada Anies Baswedan di Jakarta.

Bedanya, PDIP di Sumut tidak bergantung kepada partai lain. Karena perolehan kursinya di DPRD Sumut hasil Pemilu 2024 silam secara normatif cukup untuk mengajukan pasangan Cagub-Cawagub sendiri, tanpa koalisi.

Raihan kursi PDIP di DPRD Sumut sebanyak 21, lebih 1 kursi dari syarat ambang batas pencalonan Gububernur-Wakil Gubernur sebanyak minimal 20 kursi.

Sementara PKS di Jakarta masih membutuhkan tambahan beberapa kursi untuk bisa mengajukan pasangan Cagub-Cawagub sendiri. Raihan suara PKS di Jakarta sebanyak 18, kurang 4 kursi dari syarat minimal untuk dapat mengajukan paslon Gubernur-Wakil Gubernur sebanyak 22 kursi.

Oleh sebab itu, keputusan PDIP di Sumut dapat dikatakan final. Misalnya Edy gagal mengajak partai lain untuk bergabung, pencalonannya akan tetap berlanjut. Demikian antara lain yang diungkapkan Komarudin Watubun kepada media.

Sebagaimana kita tahu, hegemoni politik Koalisi Indonesia Maju (KIM) juga sangat kuat di Sumut, lebih kurang sama dengan di Jakarta, Banten, Jateng dan Jatim.

Mereka solid bakal mengusung Bobby Nasution, menantu Jokowi, sebagai Calon Gubernur. Bahkan semua partai pengusung isu perubahan di Pilpres 2024 silam (PKB, Nasdem dan PKS) juga memberikan dukungan kepada Bobby.

Dengan demikian, Bobby bakal didaftarkan ke KPU akhir Agustus ini melalui "kapal induk" kandidasi, yang de facto merupakan barisan KIM Plus.

Apresiasi untuk PDIP

Mengapa apresiasi pantas diberikan kepada PDIP dan semua partai yang memiliki keberanian melawan hegemoni tunggal dalam proses kandidasi Pilkada? Karena dengan cara demikian hadirnya calon tunggal dalam Pilkada dapat dicegah.

Dalam konteks Pilgub Sumut ini (dan semoga juga di Pilkada lainnya) menang-kalah bagi PDIP adalah urusan kemudian. Urusan kedua setelah pasangan calon didaftarkan, urusan ikhtiar perjuangan, strategi dan taktik yang masih bisa dirancang matang dan dipersiapkan maksimal.

Urusan kini dan mendesak adalah bagaimana menghadirkan Pilkada substantif kepada rakyat. Yakni Pilkada sebagai jalan merotasi kepemimpinan secara demokratis sejak awal, sejak proses kandidasi, yang wajib ditunjukan dengan cara menyediakan sebanyak mungkin pilihan bagi rakyat.

Bukan dengan memaksakan calon tunggal, lalu rakyat di-fait accompli untuk memilihnya, atau jika tidak setuju disilahkan memilih kotak kosong. Lawak selawak-lawaknya!

Substansi Pilkada berikutnya adalah soal kompetisi. Yakni mekanisme pengajuan gagasan-gagasan perbaikan dan kemajuan yang secara teknis lazim disebut "visi, misi dan program" yang wajib disampaikan kepada publik.

Pilkada adalah media bagi para kandidat pemimpin lokal untuk mengompetisikan, mengadu-tanding gagasan-gagasan visioner, kompetensi dan pengalaman, integritas moral dan sosial, serta penyemaian harapan-harapan bagi rakyat Tentang masa depan daerah dan kehidupan masyarakatnya.

Dalam Pilkada dengan calon tunggal kesemuanya itu tidak mungkin terjadi. Tidak akan ada proposal politik gagasan yang dibedah dan diuji secara diskursif dan kompetitif di ruang publik. Kecuali sekadar dokumen formal persyaratan pencalonan.

Dengan siapa dokumen visi, misi dan program itu bakal diadu-tanding, diuji kritis dan dikompetisikan? Dengan kotak kosong? Ini adalah lawak selawak-lawaknya.

Substansi Pilkada

Jadi, Pilkada dengan calon tunggal hemat saya bakal kehilangan setidaknya dua substansi. Substansi pertama yang hilang adalah pilihan appeal to appeal, manusia lawan manusia, kandidat pemimpin lawan kandidat pemimpin. Bukan manusia lawan kotak kosong.

Substansi kedua yang hilang adalah kompetisi gagasan dan pemikiran visioner. Jika fakta serupa ini yang kemudian terjadi, di Sumut atau di daerah manapun, masih pantaskah Pilkada disebut sebagai Pilkada?      

Dan yang tidak kalah penting, selain kehilangan substansi sebagai proses politik elektoral, Pilkada dengan calon tunggal juga potensial mengakibatkan partisipasi pemilih mengalami kemerosotan. Atau, partisipasi tetap tinggi, pemilih tetap berduyun ke TPS, tetapi arah pilihannya bukan untuk memberikan mandat kepada si calon tunggal. Melainkan untuk memenangkan kotak kosong.

Jika kotak kosong yang memenangi kontestasi, maka secara normatif Pilkada wajib diulang dari awal, dari proses kandidasi kembali. Masalahkah? Tentu saja. Karena anggaran harus ditambah meski mungkin tidak seberapa besar dibanding anggaran keseluruhan. Lalu pemilih bisa saja mengalami kejenuhan, dan Pilkada dengan begitu menjadi "pesta demokrasi" yang melelahkan.

Tetapi masalah yang lebih besar lagi jika kotak kosong memenangi Pilkada, fenomena demoralisasi (mestinya) bakal dialami oleh elit-elit partai yang memaksakan calon tunggal.

Bagaimana tidak? Pasangan kandidat yang diusung koalisi gigantis dengan prosentasi angka dukungan mayoritas (nyaris mutlak) dipecundangi kotak kosong. Malunya bisa sampai tahun 2029 ini. Ya tentu saja dengan catatan, mereka masih menyisakan moralitas politik malu.

Banten dan Jakarta Mencemaskan

Sekali lagi, apresiasi layak diberikan kepada PDIP terkait kandidasi di Pilgub Sumatera Utara. Bagaimana dengan Pilgub Banten dan Jakarta? Dua daerah ini mencemaskan. Terutama setelah dua peristiwa yang terjadi belakangan ini. Yakni mundurnya Ketua Umum Golkar dan  on the way-nya Ridwan Kamil ke Jakarta.

Untuk kasus Banten, mundurnya Airlangga dari jabatan Ketua Umum Golkar bisa menggagalkan rencana koalisi PDIP-Golkar mengusung Airin (Golkar) dan Ade Sumardi (PDIP) yang pekan lalu dikabarkan bakal deklarasi besok, Rabu 14 Agustus 2024.

Airin adalah kader Golkar yang bisa dibilang "orangnya" Airlangga. Dan Ade Sumardi adalah Ketua DPD PDIP Banten, mantan Wakil Bupati Lebak, yang disiapkan partainya untuk maju mendampingi Airin.

Rencana koalisi Golkar-PDIP di Banten ini bergantung pada hasil Rapat Pleno Golkar untuk menetapkan Plt Ketua Umumnya hari ini. Jika Plt Ketua Umum terpilih satu garis kebijakan dengan Airlangga, maka koalisi Golkar-PDIP aman, dan bisa melaju menghadapi Andra-Dimyati yang diusung kubu gigantis Koalisi Banten Maju (KBM).

Jika sebaliknya yang terjadi, maka selesai sudah. Pilkada Banten bakal jadi lawakan elektoral karena PDIP tinggal sendirian dan tidak mungkin mengajukan pasangan Cagub-Cawagub sendiri.

Di Jakarta, situasi mencemaskan juga berlangsung meski dengan konstelasi politik kandidasi yang berbeda. Koalisi Indonesia Maju (Plus) mendekati tuntas bakal mengusung Ridwan Kamil sebagai Cagub yang tidak lain adalah kader Golkar sendiri. Jika "Plus" dalam KIM itu artinya gabungan PKS, PKB dan Nasdem, maka selesai pula. Pilkada Jakarta bakal jadi lawakan elektoral seperti di Banten.

Karena dalam konteks ini PDIP sama persis situasinya dengan di Banten, tidak bisa mengajukan paslon sendiri lantaran tidak memenuhi syarat perolehan kursi atau suara ambang batas pencalonan.

Lantas, masih adakah peluang PDIP di Banten dan Jakarta untuk tampil sebagai penjaga marwah Pilkada seperti di Sumut? Peluang tentu saja masih ada. Tetapi memang berbeda besarannya.

Di Banten, praktis PDIP tidak akan bisa berbuat banyak, karena pencalonan Airin sangat bergantung pada hasil Pleno Golkar hari ini. Jika Plt Ketua Umum Golkar hasil pleno berani mengambil sikap politik kandidasi yang berbeda dengan KBM, maka bersama Golkar, PDIP bisa melaju menyelematkan Pilkada substantif di Banten.

Jika sebaliknya yang terjadi, maka PDIP selesai, tinggal memilih: ikut gabung dengan KBM biar gak jadi jomblo, atau berjuang memimpin rakyat Banten memenangkan kotak kosong.

Sementara di Jakarta besaran peluang masih cukup terbuka bagi PDIP untuk memastikan Pilkada layak disebut sebagai pesta demokrasi elektoral. Tinggal seberapa kuat, pintar dan bijak meyakinkan (secara opsional) PKB, PKS atau Nasdem untuk membangun kerjasama.

Kandidat Gubernur yang unggul sudah tersedia, Anies Baswedan. Figur-figur yang layak disandingkan juga melimpah, bisa dari PDIP sendiri, PKB, PKS, atau bahkan Nasdem. Kita tunggu besok, yang kabarnya PDIP bakal mengumumkan secara resmi para kandidat Kepala Daerahnya.


Artikel terkait:

Pilkada, Konsolidasi Demokrasi, dan Tanggung Jawab Partai Politik  

PDIP, Golkar, Airin, dan Menjaga Kewarasan Berdemokrasi di Banten 

KIM Plus, Pilkada Jakarta, dan Pengerdilan Demokrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun