Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Konstelasi Politik Menjelang Kandidasi Pilgub Banten

5 Juni 2024   14:48 Diperbarui: 5 Juni 2024   15:31 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perhelatan Pilgub Banten potensial berlangsung sangat dinamis (sekaligus rumit) di fase kandidasi dan kompetitif di fase kontestasi. Sedikitnya ada 4 faktor yang dapat mendorong ke arah situasi ini.

Pertama, berdasarkan perolehan suara Pemilu 2024 tidak ada satupun partai yang mencapai angka ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah. Bahkan juga tidak ada pemenang tunggal karena perolehan kursi terbanyak diraih bersama oleh tiga partai politik. Yakni Golkar, PDIP, dan Gerindra, masing-masing meraih 14 kursi di DPRD Provinsi.

Situasi yang demikian akan memaksa partai-partai untuk membangun koalisi agar dapat mengusung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Dalam konteks ini komunikasi dan penjajagan antar partai untuk menyiapkan tiket-tiket Paslon potensial akan ramai diwarnai oleh berbagai manuver politik.

Kedua, kedigdayaan politik keluarga Ratu Atut yang selama ini mendominasi kontestasi pemilihan di Banten cenderung melemah. Saat yang sama telah muncul aktor-aktor politik baru yang lebih mandiri dan tidak terafiliasi atau berjejaring dengan dinasti di Banten, seperti Arief Wismansyah (Nasdem), Andra Soni (Gerindra), atau Rano Karno (PDIP) yang nampaknya bakal kembali maju.

Situasi ini akan membuat medan pertarungan elektoral menjadi terbuka dan kompetitif. Airin Rachmi Diany, yang nampaknya disiapkan oleh keluarga Ratu Atut untuk merebut kembali momentum hegemoni kepolitikan di Banten bukanlah figur yang (sangat) kuat. Airin tidak sekuat Atut di Pilkada 2006 dan 2011.

Ketiga, dua figur mantan petahana terakhir, yakni Wahidin Halim (mantan Gubenur) dan Andika Hazrumy (mantan Wakil Gubernur) hampir pasti tidak akan maju kembali. Kabar terakhir, Wahidin dalam posisi wait and see, masih akan melihat perkembangan karena takut "Jebakan Batman" (Kompas.com, 8 Mei 2024). Sementara Andika sudah memutuskan untuk maju dalam Pilkada Kabupaten Serang.

Dengan demikian Pilgub Banten bakal diramaikan oleh figur-figur yang benar-benar baru, kecuali Rano (jika jadi dimajukan PDIP) yang pernah menjadi Wagub di era Gubernur Ratu Atut periode kedua.   

Keempat, dari nama-nama yang sudah beredar hingga saat ini, belum ada satupun figur yang unggul secara telak dibanding para kompetitornya. Dari hasil sigi dua lembaga survei terakhir (IPRC dan ARCHI Research and Strategy) sekira sebulan yang lalu, Airin memang unggul. Tetapi besaran gap angkanya belum cukup siginfikan dibanding pesaing-pesaingnya sebagaimana dapat dibaca dari data berikut ini.

Hasil survei IPRC (dalam prosentase) menunjukan Airin unggul dengan perolehan suara 20,2. Disusul Rano 14,2, Wahidin 10,6, Iti Jayabaya 6,6, dan Zaki Iskandar 5,8. Sementara berdasarkan hasil survei ARCHI Research and Strategy, Airin meraih 22,22, Rano 14,81, Iti Jayabaya 13,58, Arief Wismansyah 11,11, Ratu Ageng Rekawati 9,88, Wahidin, 8,64 dan Gembong Sumedi 7,41. (Radar Banten, 21 April 2024).

Keunggulan sementara Airin (versi lembaga survei) atas figur-figur lainnya boleh jadi karena sokongan efektif dari media sosialisasi yang sudah ditebar di antero Banten jauh sebelum nama-nama lain muncul di ruang publik. Baliho, poster, dan spanduk Airin sudah bertebaran bahkan jauh sebelum Pemilu 2024 digelar. Jadi, wajar jika responden yang tersasar sebagai sampel dalam survei banyak yang menyebut nama Airin.

Kerumitan Kandidasi

Bertolak dari konstelasi elektoral diatas proses kandidasi mungkin bakal diwarnai kerumitan-kerumitan politik karena berbagai faktor yang akan diulas nanti. Tetapi situasi ini hanya akan terjadi jika proses pemaketan pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur mengedepankan platform ideologis dan marwah masing-masing partai politik. Sebaliknya, jika alas pijak kandidasi semata-mata pragmatika politik maka proses kandidasi akan berlangsung mudah, sat-set, bahkan mungkin tanpa dinamika yang berarti.

Potensi kerumitan pertama bermuara pada peta perolehan kursi di DPRD Banten hasil Pemilu 2024. Tiga partai politik yang meraih suara tertinggi, yakni Golkar (932.670), Gerindra (886.432), dan PDIP (853.565) tentu akan sangat berkepentingan untuk memajukan kadernya sebagai kandidat Gubernur.

Diantara ketiga partai tersebut, Golkar yang paling mungkin dan realistis untuk dapat memajukan kadernya sebagai Cagub. Selain perolehan suaranya paling tinggi, Golkar sudah lama mempersiapkan Airin sebagai bakal calon Gubernur. Yang kedua tentu PDIP, terutama karena memiliki Rano Karno yang sudah berpengalaman sebagai Wagub dan Gubernur. Gerindra hanya mungkin karena faktor perolehan suara. Dari sisi kader yang saat ini sedang dipromosikan, yakni Andra Soni, popularitas dan level pengalaman politiknya masih dibawah Airin maupun Rano.

Di bawah ketiga partai tersebut, ada PKS yang meraih suara sebanyak 773.102 dengan 13 kursi di DPRD Banten. Meski berada di urutan keempat pemenang Pemilu, PKS sudah fix bakal memajukan Dimyati Natakusumah sebagai calon Gubernur. Ambisi PKS terbilang wajar, karena dari sisi perolehan suara tidak terlampau jauh perbandingannya dengan Golkar, Gerindra dan PDIP. Di sisi lain, Dimyati sebagai kadernya sudah mempersiapkan diri lebih awal dibandingkan Rano dan Andra Soni.

Tetapi sekali lagi, keempat partai itu tidak bisa mengusung sendirian pasangan calon karena perolehan suara maupun kursi di DPRD Banten hasil Pemilu 2024 gagal menembus ambang batas (threshold) pencalonan. Maka koalisi (kerjasama) dengan partai lain adalah pilihan yang tidak bisa dihindari untuk dapat mengajukan pasangan calon. Nah, soal pembentukan koalisi ini potensial bakal melahirkan kerumitan berikutnya.

Airin-Golkar  

Kerumitan dalam proses pembentukan koalisi dan pemaketan pasangan calon bakal dialami oleh keempat figur bakal kandidat yang paling realistis maju sebagai calon Gubernur berdasarkan peta perolehan suara partai dan ikhtiar yang sudah dilakukannya masing-masing.

Pada kubu Airin dan Golkar, kerumitan paling problematik terletak pada soal kemampuan mengcover kelemahan popularitas dan elektabilitasnya di wilayah selatan Banten, yakni Lebak dan Pandeglang. Airin masih lemah di dua kabupaten ini. Makanya tepat jika belakangan Airin terkesan kuat bakal menggandeng Ade Sumardi, mantan Wakil Bupati Lebak, yang cukup populer di selatan, terutama di Lebak.

Masalahnya kemudian Ade adalah kader, bahkan Ketua DPD PDIP Banten. Masalah? Ya, jika (sekali lagi) dilihat dari sisi platform ideologis dan marwah kepartaian. PDIP adalah partai papan atas baik di Banten maupun di aras nasional. PDIP juga memiliki Rano Karno, kader yang tak kalah otentiknya dengan Ade Sumardi, yang bahkan pernah menjadi Wagub dan kemudian menjabat Gubernur Banten.

Dan yang paling penting, standing position PDIP pasca Pilpres 2024 kemarin nyata-nyata bakal mengambil peran sebagai oposisi dan berada di luar pemerintahan Prabowo-Gibran. Setidaknya pemosisian ini diisyaratkan berkali-kali oleh Megawati, Puan Maharani, dan Hasto Kristyanto.

Kesediaan membangun koalisi dengan Golkar di Pilgub Banten dengan mengendors Airin sebagai Cagub dan hanya mengambil posisi sebagai Cawagub untuk Ade Sumardi sambil mengabaikan potensi besar Rano hemat saya dapat mendegradasi kepercayaan publik pada PDIP.

Andra-Gerindra

Bagaimana dengan Andra Soni dan Gerindra? Meski saat ini menjabat Ketua DPRD Banten, Andra belum cukup populer di masyarakat Banten, kecuali tentu saja di Daerah Pemilihannya. Popularitasnya masih jauh dibawah Airin, Rano dan Dimyati. Bahkan mungkin juga dibawah Arief Wismansyah, Iti Jayabaya, Gembong Sumedi dan Ade Sumardi.

Gerindra terlalu beresiko memajukan Andra sebagai Cagub. Kecuali misalnya disandingkan dengan Iti Jayabaya sebagai Cawagubnya. Variabel utara-selatan dapat, gabungan suara melampaui ambang batas, dan nilai politik gender mainstreaming juga bisa diperoleh.

Posisi yang paling realistis untuk Andra adalah Cawagub. Misalnya mendampingi Dimyati sebagai Cagubnya. Tetapi ini pasti tidak mudah. Suara Gerindra lebih besar dari PKS, dan saat ini Gerindra menjadi leader di pentas koalisi nasional pemerintahan Prabowo-Gibran. Gerindra setidaknya, jika bukan Andra, pasti memiliki kepentingan politik untuk menjaga marwah sebagai pertai papan atas di Banten.

Menjadi pendamping Airin? Hampir mustahil meski sama-sama berada di koalisi nasional Pemerintahan Prabowo-Gibran. Sama hampir mustahilnya dengan mendampingi Rano (jika dimajukan sebagai Cagub oleh PDIP) atau Arief Wismansyah (Nasdem), figur muda potensial yang mulai ngebut mensosialisasikan diri belakangan ini. Alasannya sederhana. Andra, Airin, Rano dan Arief adalah sama-sama orang Tangerang Raya. Kehampir mustahilan ini juga berlaku bagi keempat "figur kota" tersebut untuk saling bersanding, kecuali jika pilgubnya Pilgub Tangerang Raya.

Rano-PDIP

Jika parameternya levelitas jabatan politik terakhir dan pengalaman dalam jabatan pemerintahan, Rano Karno adalah sosok Cagub paling unggul dibandingkan belasan figur lainnya. Saat ini Rano anggota DPR RI (setara dengan Dimyati Natakusumah dan Iti Jayabaya yang juga pernah menjadi anggota DPR RI), dan pernah menjabat sebagai Wagub dan Gubernur Banten.

Tetapi problematika kandidasi juga bakal dihadapi oleh Rano. Mirip Airin, Rano juga membutuhkan sosok pendamping yang bisa mengcover suara elektoral di Lebak dan Pandeglang. Popularitas plusnya sebagai artis tidak akan memberi pengaruh signifikan dalam kontestasi Pilkada, dan ini pernah terbukti pada Pilgub 2017 silam dimana ia dikalahkan oleh Wahidin-Andika.

Tiga figur paling potensial di selatan, yakni Dimyati, Iti Octavia dan Ade Sumardi, masing-masing memiliki sisi kerumitan tersendiri bagi Rano-PDIP. Dengan Ade Sumardi sudah pasti mustahil, karena sama-sama kader PDIP, sementara untuk bisa mengusung pasangan calon PDIP harus berkoalisi dengan partai lain.

Bagaimana dengan Dimyati? Mantan Bupati Pandeglang ini adalah kader sekaligus disiapkan oleh PKS sebagai Cagub. Menyandingkan PDIP dengan PKS dalam koalisi Pilgub nampaknya sulit bisa diwujudkan karena alasan ideologis, apalagi jika Dimyati diposisikan sebagai Cawagubnya. Entah jika posisinya dibalik. Dimyati sebagai Cagub, Rano sebagai Cawagub.

Pilihan yang paling realistis dan memiliki prospek politik bagus bagi Rano adalah Iti Jayabaya. Tentu dengan catatan Ade Sumardi tidak menjadi Cawagubnya Airin. Iti adalah Ketua DPD Partai Demokrat Banten, peringkat kelima dalam Pemilu 2024 kemarin dengan raihan suara sebanyak 586.689 atau 11 kursi di DPRD Banten. Popularitas Iti di selatan, khususnya Lebak tentu tidak diragukan karena ia mantan Bupatinya selama dua periode.

Pilihan Rano atas Iti Jayabaya sebagai Cawagubnya bisa menjadikan pasangan ini sebagai lawan tanding paling kuat menghadapi Airin, Dimyati, Andra atau Arief. Dengan siapapun mereka berpasangan. Atau bahkan seandainya keempat figur ini saling berpasangan satu sama lain.

Dimyati-PKS

Beberapa hari lalu Dimyati Natakusumah menerima Surat Keputusan (SK) dari DPP PKS tentang Bakal Calon Gubernur Banten Periode 2024-2029. Dengan demikian Dimyati adalah Bacagub Banten kedua yang mendapat SK dari masing-masing DPP Partainya untuk maju dalam kontestasi Pilgub Banten.

Namun begitu, seperti Bacagub lainnya, Dimyati juga menghadapi problematika kandidasi yang sama rumitnya. Popularitas Dimyati hanya kuat di selatan, terutama Pandeglang, dan mungkin sebagian wilayah Serang. Karena itu ia membutuhkan figur dari utara untuk mengcover suara elektoral di Tangerang Raya. Diatas sudah disinggung pilihan-pilihan kemungkinan yang bisa terjadi dalam proses kandidasi nanti.

Ada empat figur paling potensial di utara. Mereka adalah Airin, Andra, Rano dan Arief. Airin jelas tidak mungkin mau berpasangan dengan Dimyati, kecuali Dimyati yang menjadi Cawagub. Dan jika ini bisa diwujudkan, mereka akan menjadi pasangan kuat untuk memenangi Pilgub. Potensi yang sama juga ada jika Dimyati berpasangan dengan Rano, tetapi lagi-lagi Dimyati harus rela menjadi orang kedua.

Jika posisi yang dibidik adalah Cagub, maka pilihan yang realistis adalah Andra Soni. Tetapi ini juga tidak akan mudah. Andra dan Gerindra pasti akan mengajukan proposal bargaining yang tidak ringan mengingat mereka lebih unggul dibanding PKS dari sisi raihan suara dan kursi di DPRD Banten hasil Pemilu 2024.

Pilihan terakhir (dan boleh jadi paling bagus prospek politik elektoralnya) bagi Dimyati-PKS adalah Arief-Nasdem. Pilihan ini bukan tanpa alasan tentu saja. Berdasarkan perbandingan raihan suara dan kursi DPRD Banten hasil Pemilu 2024, PKS jelas mengungguli Nasdem yang hanya memperoleh suara sebanyak 525.069 atau 10 kursi. Levelitas jabatan terakhir dan pengalaman jabatan politik pemerintahan Dimyati juga lebih unggul dibanding Arief. Masalahnya kemudian, bersediakah Arief Wismansyah menjadi calon Wakil Gubernur mendampingi Dimyati Natakusumah? Itu saja.

Pragmatisme dan Politik Kartel

Di atas sudah disinggung, bahwa potensi kerumitan-kerumitan dalam proses kandidasi ini hanya akan terjadi apabila partai-partai (dan tentu juga para kandidatnya) mengedepankan platform ideologis serta nilai-nilai kebajikan (virtue) yang patut diperjuangkan dan dipersembahkan kepada rakyat dalam perhelatan Pilkada. Selalu tidak mudah memang jika yang diperjuangkan adalah idealisme dan kebajikan.

Sebaliknya, semua akan menjadi mudah, semudah menekan tombol like di medsos jika semua partai hanya mengedepankan pertimbangan-pertimbangan pragmatik sebagai dasar pijakan.

Dengan basis pragmatisme, partai-partai hanya akan berpikir yang penting menang, atau setidaknya ikut barisan pemenang. Urusan idealisme dan virtue tidaklah penting sama sekali.

Kecenderungan yang demikian akan semakin kuat jika watak politik kartel masih mendominasi pikiran para elitnya. Premis dasar politik kartel adalah bahwa partai-partai sesungguhnya tidak bersaing satu sama lain, melainkan berkolusi untuk melindungi kepentingan kolektif mereka dan memastikan partainya tetap memiliki akses terhadap ruang pemanfaatan kekuasaan.

Artikel terkait: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/664c42d4147093457b56e1e4/hikayat-bandit-dalam-buku-pilkada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun