Ada empat figur paling potensial di utara. Mereka adalah Airin, Andra, Rano dan Arief. Airin jelas tidak mungkin mau berpasangan dengan Dimyati, kecuali Dimyati yang menjadi Cawagub. Dan jika ini bisa diwujudkan, mereka akan menjadi pasangan kuat untuk memenangi Pilgub. Potensi yang sama juga ada jika Dimyati berpasangan dengan Rano, tetapi lagi-lagi Dimyati harus rela menjadi orang kedua.
Jika posisi yang dibidik adalah Cagub, maka pilihan yang realistis adalah Andra Soni. Tetapi ini juga tidak akan mudah. Andra dan Gerindra pasti akan mengajukan proposal bargaining yang tidak ringan mengingat mereka lebih unggul dibanding PKS dari sisi raihan suara dan kursi di DPRD Banten hasil Pemilu 2024.
Pilihan terakhir (dan boleh jadi paling bagus prospek politik elektoralnya) bagi Dimyati-PKS adalah Arief-Nasdem. Pilihan ini bukan tanpa alasan tentu saja. Berdasarkan perbandingan raihan suara dan kursi DPRD Banten hasil Pemilu 2024, PKS jelas mengungguli Nasdem yang hanya memperoleh suara sebanyak 525.069 atau 10 kursi. Levelitas jabatan terakhir dan pengalaman jabatan politik pemerintahan Dimyati juga lebih unggul dibanding Arief. Masalahnya kemudian, bersediakah Arief Wismansyah menjadi calon Wakil Gubernur mendampingi Dimyati Natakusumah? Itu saja.
Pragmatisme dan Politik Kartel
Di atas sudah disinggung, bahwa potensi kerumitan-kerumitan dalam proses kandidasi ini hanya akan terjadi apabila partai-partai (dan tentu juga para kandidatnya) mengedepankan platform ideologis serta nilai-nilai kebajikan (virtue) yang patut diperjuangkan dan dipersembahkan kepada rakyat dalam perhelatan Pilkada. Selalu tidak mudah memang jika yang diperjuangkan adalah idealisme dan kebajikan.
Sebaliknya, semua akan menjadi mudah, semudah menekan tombol like di medsos jika semua partai hanya mengedepankan pertimbangan-pertimbangan pragmatik sebagai dasar pijakan.
Dengan basis pragmatisme, partai-partai hanya akan berpikir yang penting menang, atau setidaknya ikut barisan pemenang. Urusan idealisme dan virtue tidaklah penting sama sekali.
Kecenderungan yang demikian akan semakin kuat jika watak politik kartel masih mendominasi pikiran para elitnya. Premis dasar politik kartel adalah bahwa partai-partai sesungguhnya tidak bersaing satu sama lain, melainkan berkolusi untuk melindungi kepentingan kolektif mereka dan memastikan partainya tetap memiliki akses terhadap ruang pemanfaatan kekuasaan.
Artikel terkait:Â https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/664c42d4147093457b56e1e4/hikayat-bandit-dalam-buku-pilkada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H