Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Hak Angket: Membersihkan Pemilu, Menguji Kepatuhan Para Pihak

27 Februari 2024   11:10 Diperbarui: 28 Februari 2024   08:45 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemungutan suara ulang. (Foto: Antara/Altas Maulana via kompas.com) 

Isu hak angket DPR yang berawal dari usulan Ganjar nampaknya telah memicu kecemasan di sebagian kalangan masyarakat, khususnya kubu Paslon 2 dan para pendukungnya. 

Ada dua hal yang mereka cemaskan. Pertama, hasil Pemilu yang berdasarkan Quick Count dan Real Count KPU menunjukan kemenangan Paslon 2 dianulir, dibatalkan atau setidaknya diulang. Kedua hasil angket berujung pada pemakzulan (impeachment) Presiden.

Kecemasan yang pertama tidak cukup beralasan. Karena penggunaan hak angket tidak akan berimplikasi langsung pada penetapan hasil Pemilu. Seperti diatur dalam UU 7 Tahun 2017 penetapan hasil Pemilu oleh KPU hanya bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu, dari sisi waktu juga tidak memungkinkan. Proses penyelesaian perselisihan hasil Pemilu di MK berdasarkan tahapan dan jadwal Pemilu relatif jauh lebih cepat dan pendek waktunya. 

Paling lambat akhir April hasil Pemilu termasuk Pilpresnya sudah ditetapkan oleh MK, dan kita tahu putusan MK final and binding, tuntas dan mengikat. 

Jika tidak ada permohonan gugatan oleh Paslon 1 dan/atau 3, hasil Pemilu bahkan bisa lebih cepat. Sementara proses penggunaan hak angket akan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk sampai pada simpulan akhir.

Berbeda dengan kecemasan yang pertama itu, kecemasan yang kedua bahwa penggunaan hak angket bisa berujung pada pemakzulan Presiden memang beralasan. Namun inipun dengan satu catatan, bahwa prosesnya dilakukan cepat.

Sehingga jika hasil angket menyimpulkan bahwa Presiden diduga kuat melakukan pelanggaran terkait perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 79 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), DPR masih punya cukup waktu untuk memproses dugaan pelanggaran ini ke MK.

Sebagaimana norma Pasal 79 ayat (3) UU 7 Tahun 2014 itu, Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Pada ayat berikutnya (ayat 4) di pasal yang sama disebutkan bahwa pelaksanaan Hak Angket dapat ditindaklanjuti oleh DPR dengan Hak Menyatakan Pendapat. 

Pada titik inilah, bedasarkan simpulan akhir angket, DPR bisa menyatakan pendapat perihal dugaan adanya pelanggaran hukum oleh Presiden (secara opsional) baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela. Inilah yang dicemaskan.

Penguatan Mekanisme Check and Balances 

Terlepas dari soal kecemasan atau juga pro-kontra pendapat publik yang belakangan kian ramai, hemat saya penggunaan hak angket tetap perlu dilakukan, bahkan penting berdasarkan dua alasan hukum dan moralitas politik berikut ini.

Pertama, Hak Angket merupakan bentuk pengawasan DPR (legislatif) terhadap pemerintah (eksekutif) yang diberikan oleh konstitusi (UUD 1945) untuk mencegah terjadinya abuse of pewer atau penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang ugal-ugalan oleh Presiden. Sehingga menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran hukum dan prinsip-prinsip demokrasi.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20A UUD 1945, bahwa "Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan" (ayat 1). 

Kemudian pada ayat (2) dinyatakan, bahwa "Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam Pasal-Pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat."

www.mediamerahputih.id
www.mediamerahputih.id

Selain sebagai bentuk pelaksanaan amanat UUD 1945, penggunaan hak angket sesungguhnya juga merupakan instrumen politik untuk memperkuat praktik mekanisme check and balances sebagai salah satu prinsip dasar negara demokrasi.

Tanpa pelaksanaan fungsi pengawasan legislatif yang kuat dan/atau absennya mekanisme check and balances yang memadai, praktik demokrasi akan kehilangan ruh dasarnya. Karena akibat lemahnya pengawasan dan absennya mekanisme check and balances inilah berbagai praktik abuse of power sering terjadi.

Membersihkan Pemilu, Menguji Kepatuhan 

Kedua, penggunaan Hak Angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan atau pelanggaran Pemilu/Pilpres penting dilakukan mengingat fenomena penyikapan terhadap hasil Pilpres yang berkembang sudah sedemikian rupa. Masing-masing kubu merasa yakin dengan sikapnya.

Kubu yang merasa bakal menang (yang didukung Presiden) yakin bahwa kemenangannya adalah hasil kontestasi yang fair, jurdil dan berintegritas sesuai peraturan perundang-undangan. 

Sebaliknya, kubu yang diperkirakan bakal kalah meyakini bahwa proses Pemilu jauh dari jurdil. Mereka bahkan sudah sampai pada kesimpulan awal bahwa Pemilu telah diwarnai oleh kecurangan yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).

Kedua kubu juga sama-sama mengklaim memiliki data, informasi dan bukti-bukti kuat yang melimpah yang menjadi dasar keyakinan sikap dan pandangannya. 

Fenomena saling klaim di ruang publik ini tentu tidak bisa dibiarkan tarus meliar. Karena berpotensi terus memicu emosi dan kemarahan masing-masing pendukung, yang akhirnya bisa berujung pada pertengkaran horisontal dalam masyarakat, menimbulkan instabilitas politik dan keamanan, lalu memancing aparat negara bertindak represif.

Karena itu saling klaim kebenaran sambil saling menuduh kecurangan itu harus dikanalisasi, dibereskan dan dituntaskan dengan cara adu kebenaran dan akurasi data. 

Konflik politik serupa ini biasa dalam negara demokrasi. Dan demokrasi telah memiliki cara untuk menyelesaikannya. Yakni melalui mekanisme hukum dan mekanisme politik.

Seperti sudah disinggung di depan, mekanisme hukum ditempuh melalui jalur peradilan perselisihan hasil Pemilu di MK. Terlepas dari fakta bahwa kepercayaan terhadap MK sedang melorot, pihak yang merasa dirugikan tidak ada pilihan lain kecuali mengajukan permohonan gugatan ke MK. 

Angkut semua bukti, dalil dan argumen. Bertengkarlah di medan hukum, di hadapan para hakim konstitusi, dan biarkan rakyat cukup menyaksikannya secara terbuka. Tidak perlu saling lempar batu di jalanan.

Selain mekanisme hukum, demokrasi juga menyediakan jalan politik untuk menyelesaikan konflik, termasuk konflik politik elektoral karena Pemilu diselenggarakan diatas peraturan perundang-undangan yang merupakan produk kebijakan pemerintah.

Seperti telah disebutkan di atas tadi, Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Jadi, hemat saya Hak Angket memang perlu digunakan. Melalui mekanisme ini kedua kubu beradu data, informasi, dalil dan argumen di ranah politik parlemen. 

Mengundang atau mendatangi, dan mintai kesaksian, keterangan, dan pendapat para pihak yang dianggap perlu untuk mendukung klaim dan/atau tuduhan kecurangan itu secara beradab. Dan biarkan rakyat cukup mengawasi bersama secara terbuka. Tidak perlu saling lempar batu di jalanan.

Dengan cara demikian, baik melalui mekanisme hukum di MK maupun melalui mekanisme politik di DPR, dugaan kecurangan Pemilu bisa sama-sama diuji secara fair, terbuka dan beradab. 

Tentu dengan catatan proses dan para pihak yang terlibat dalam upaya pencarian kebenaran dan keadilan (yakni hakim konstitusi di MK, anggota DPR, Pemerintah, serta para pihak lain yang terlibat misalnya para ahli, tokoh masyarakat, aktifis dll) bersikap jujur, menjunjung tinggi moralitas dan memegang teguh integritas masing-masing.

Jika kemudian tuduhan kecurangan TSM terbukti baik di MK maupun di DPR, kubu Paslon 2 harus dengan legawa menerima konsekuensinya: hasil Pemilu dibatalkan dan wajib diulang. Konsekuensi yang sama juga harus siap diterima oleh Presiden dan/atau penyelenggara Pemilu jika terbukti terlibat dalam kecurangan.

Sebaliknya, jika tuduhan kecurangan TSM itu tidak dapat dibuktikan baik di MK maupun di DPR, kubu 1 dan 3 juga harus secara fair menerima putusan akhirnya. Dengan cara demikian Pemilu (mestinya) menjadi bersih dari segala jenis noda (tuduhan kecurangan dan penyangkalan kecurangan), dan kepatuhan para pihak terhadap putusan hukum dan putusan politik juga terjaga.   

Artikel terkait: Hak Angket, Jalan Politik Menuju Pemakzulan Presiden?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun