Membuka debat dengan isyarat, Anies kembali menunjukan kelasnya sebagai salah satu pemimpin paket komplit. Mari kita periksa detailnya.
Debat Pilpres pamungkas tadi malam berbeda (lumayan) jauh dengan empat kali debat sebelumnya. Peaceful dan landai. Ketiga Capres tampil cukup menyejukan tanpa kehilangan substansi, tanpa meminggirkan isu-isu krusial dan substantif dari pertengkaran diskursif.
Beberapa sisi yang pada debat-debat sebelumnya cukup dominan mewarnai forum, tadi malam nyaris tak keluar lagi.Â
Kecuali sejumlah sentilan-sentilun dengan teknik tiki-taka Ganjar-Anies menyoal beberapa isu misalnya soal Bansos, tidak ada lagi gimik-gimik out of contect. Bahkan juga tanpa percikan emosi yang kerap meluap dari Prabowo. Proficiat untuk semua kandidat. Â Â
Hanya saja, bagi warganet yang sadar betul bahwa debat adalah forum elaborasi, eksplorasi dan adu argumen debat semalam dinilai "turun derajatnya".
 Ada yang menyebut debat semalam jadi mirip kerja kelompok, rapat kerja, atau musyawarah mufakat. Terlalu adem. Its ok, dalam tradisi demokrasi preferensi dan ragam selera tetap patut dihargai.
Waktunya Perubahan!
Kembali ke soal isyarat yang digunakan Anies saat mengawali paparannya dalam debat semalam. Isyarat itu termasuk gimik tentu saja, tapi jelas gimik kontekstual.Â
Tangan kanan menunjuk jam yang melingkar di pergelangan lengan kirinya, lalu memutar kedua tangannya demikian rupa.
Waktunya perubahan! Inilah pesan yang hendak Anies sampaikan melalui isyarat itu. Kita tahu, sejak awal Anies mengusung tema sentral perubahan, dan ini terus digelorakan dalam setiap kesempatan kampanye.Â
Arahnya lugas, Anies-Gus Muhaimin menawarkan dan mengajak rakyat untuk mengubah "arah kiblat" berbagai garis kebijakan dan program pemerintahan Jokowi yang selama ini dinilainya banyak yang melenceng, jauh dari cita-cita pendirian negara ini.
"Arah kiblat" yang dimaksud tidak lain adalah rakyat. Semua garis kebijakan dan program pemerintah wajib berorientasi pada kepentingan seluruh rakyat, pada kebutuhan semua rakyat. Ironinya arah kiblat itu selama ini lebih memihak kepentingan sekelompok orang dan segelintir oligarkh.
Bereskan Ketimpangan dan Ketidakadilan
Akibat salah arah kiblat itu ketimpangan dan ketidakdilan kini mewarnai kondisi kehidupan bangsa. Demikian Anies membuka paparan debat semalam, jelas dan lugas tanpa perlu membuat lawan debatnya panas kuping karena faktanya memang demikian. Berikut ini narasinya.
"...persoalan terbesar bangsa kita hari ini, republik kita hari ini adalah ketimpangan, ketidaksetaraan, ketidakadilan. Ketimpangan antara Jakarta dan luar Jakarta, Jawa luar Jawa, kaya miskin, desa kota, pendidikan umum pendidikan agama, pendidikan kejuruan dan pendidikan teknis. Ini semua adalah ketimpangan yang hari ini menjadi fenomena membayahakan bagi republik ini. Bahkan di bidang perekonomian, segelintir orang menguasai sebagian besar perekonomian kita." Â
Masih dalam konteks isu besar ketimpangan dan ketidakadilan sebagai dampak dari arah kiblat yang keliru, Anies kemudian mengingatkan kita semua pada sejarah pendirian republik ini.Â
The founding fathers, 60 orang anggota BPUPKI mendirikan republik ini untuk semua orang, bukan untuk kepentingan dirinya, golongannya atau keluarganya. Kekuasaan yang dibangun untuk memberikan kesempatan kepada semuanya.
Dalam pandangan Anies, sekarang kita jauh dari cita-cita ini. Dan Anies bersama Cak Imin hadir untuk mengembalikan cita-cita para pendiri republik, menghadirkan kesetaraan dan keadilan untuk seluruh rakyat.
Wujudkan Bangsa yang Sehat,Â
Cerdas, Sejahtera, Berbudaya dan BersatuÂ
Dalam artikel kemarin di #Kompasiana, "Anies Baswedan dan Kepemimpinan Profetik", saya menulis, bahwa Anies piawai menata kata yang bukan sekedar "menata kata biasa".
Tadi malam saya melihat, lebih dari sekedar menata kata, Anies juga piawai merumuskan gagasan-gagasannya yang bergizi. Ngonek dengan tema-tema debat yang disiapkan KPU.Â
Dirumuskan secara utuh dan komprehensif, dipaparkan dengan artikulasi yang jelas dan lugas, serta mudah dicerna dan difahami. Dan semuanya itu cukup ia tuangkan dalam sesi paparan pembuka yang jika dibaca hanya butuh waktu tak lebih dari 4 menit.
Demikianlah. Setelah memulai dengan penegasan semangat "waktunya perubahan", kemudian memetakan kondisi ketimpangan, ketidaksetaraan dan ketidakadilan pada bangsa ini, Anies kemudian menegaskan misinya untuk mengubah keadaaan itu. Berikut ini narasinya.
"Kita menginginkan persatuan karena ditopang dengan rasa keadilan. Persatuan itu tidak mungkin terjadi dalam ketimpangan. Persatuan membutuhkan rasa keadilan. Karena itu, misi kami, tegas. Mewujudkan bangsa yang sehat, yang cerdas, yang sejahtera, berbudaya dan bersatu."
Peaceful Tanpa Kehilangan Daya Kritis
Selain apa yang diuraikan di atas, ada dua sisi lain lagi yang menarik dari Anies dalam debat terakhir tadi malam. Pertama menyangkut soal substansi tema-tema yang dibahas.Â
Kedua soal cara bagaimana Anies menyampaikan gagasan, sanggahan dan sikapnya terhadap lawan debat, khususnya terhadap Prabowo yang dalam banyak momen kampanye terbukanya di berbabai daerah kerap menyindir bahkan meledek Anies.
Soal substansi tema. Dalam catatan saya, semua isu strategis terkait tema diadress oleh Anies. Tidak ada yang terlewat, meski tentu saja sesuai durasi waktu yang tersedia yang memang pendek-pendek.Â
Anies bicara beberapa aspek detail dari tema umum pendidikan, ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial, sumber daya manusia, bahkan juga kebudayaan dan inklusi.
Dalam konteks ini, setara dengan Ganjar yang juga cukup komprehensif menyasar isu-isu penting. Hal ini dilakukan baik dalam merespon pertanyaan terulis tim Panelis maupun dalam sesi saling tanya dan sanggah.
Soal cara penyampaian. Berbeda cukup jauh dengan debat-debat sebelumnya, Anies tampil dengan cara yang lebih peaceful, kalem dan tak memancing emosi lawan, namun tanpa kehilangan daya kritis dan kelugasannya. Sebut saja misalnya ketika Ganjar bertanya soal Bansos dengan nada "memancing".
Anies merespon dengan tebaran senyum, dan kalimat yang tak terlalu panjang namun menghunjam. Menurut Anies, inti dari penyaluran bansos adalah memberi bantuan untuk penerima manfaat sesuai dengan kebutuhanya, bukan untuk si pemberi. Respon ini dilengkapi dengan narasi:
"Kalau penerima butuh bulan ini ya diberi bulan ini, kalau butuh tiga bulan lagi ya tiga bulan lagi. Tidak bisa dirapel semua dijadikan sesuai kebutuhan. Itu yang disebut bansos tanpa pamrih."Â
Negara Welas Asih, Rahman dan Rahim
Terakhir, kembali Anies menunjukkan bukan saja kepiawaian menata kata dan (kini) merumuskan gagasan-gagasannya. Tetapi juga menunjukan soliditas, fokus dan konsistensi gagasan-gagasan visionernya hingga akhir debat.
Fakta itu bisa dicermati ulang dalam narasi penutup, closing statementnya. Sebelum mengakhiri debat, Anies kembali menegaskan isu-isu ketimpangan dan ketidakadilan, yang menjadikan negara seakan hadir tanpa belas kasih kepada rakyatnya yang papa dan terpinggirkan.
Karena itu Anies berjanji akan mengakhiri kecenderungan negara yang berdagang dengan rakyatnya, negara yang pelit pada rakyatnya. Sebaliknya, ia berkomitmen mengubah keadaan, menjadikan negara yang hadir dengan perasaan yang halus, yang rahman dan rahim, yang . Inilah pesan penutup rangkaian debatnya.
"Karena itu pesan yang kami bawa adalah pesan negara yang menyayangi, negara yang welas asih, dan negara yang membereskan soal ketimpangan, negara yang membereskan soal ketidakadilan. Membesarkan yang kecil, tanpa mengecilkan yang besar. Menguatkan yang lemah tanpa melemahkan yang kuat. Mari Katong lakukan Perubahan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H