Arahnya lugas, Anies-Gus Muhaimin menawarkan dan mengajak rakyat untuk mengubah "arah kiblat" berbagai garis kebijakan dan program pemerintahan Jokowi yang selama ini dinilainya banyak yang melenceng, jauh dari cita-cita pendirian negara ini.
"Arah kiblat" yang dimaksud tidak lain adalah rakyat. Semua garis kebijakan dan program pemerintah wajib berorientasi pada kepentingan seluruh rakyat, pada kebutuhan semua rakyat. Ironinya arah kiblat itu selama ini lebih memihak kepentingan sekelompok orang dan segelintir oligarkh.
Bereskan Ketimpangan dan Ketidakadilan
Akibat salah arah kiblat itu ketimpangan dan ketidakdilan kini mewarnai kondisi kehidupan bangsa. Demikian Anies membuka paparan debat semalam, jelas dan lugas tanpa perlu membuat lawan debatnya panas kuping karena faktanya memang demikian. Berikut ini narasinya.
"...persoalan terbesar bangsa kita hari ini, republik kita hari ini adalah ketimpangan, ketidaksetaraan, ketidakadilan. Ketimpangan antara Jakarta dan luar Jakarta, Jawa luar Jawa, kaya miskin, desa kota, pendidikan umum pendidikan agama, pendidikan kejuruan dan pendidikan teknis. Ini semua adalah ketimpangan yang hari ini menjadi fenomena membayahakan bagi republik ini. Bahkan di bidang perekonomian, segelintir orang menguasai sebagian besar perekonomian kita." Â
Masih dalam konteks isu besar ketimpangan dan ketidakadilan sebagai dampak dari arah kiblat yang keliru, Anies kemudian mengingatkan kita semua pada sejarah pendirian republik ini.Â
The founding fathers, 60 orang anggota BPUPKI mendirikan republik ini untuk semua orang, bukan untuk kepentingan dirinya, golongannya atau keluarganya. Kekuasaan yang dibangun untuk memberikan kesempatan kepada semuanya.
Dalam pandangan Anies, sekarang kita jauh dari cita-cita ini. Dan Anies bersama Cak Imin hadir untuk mengembalikan cita-cita para pendiri republik, menghadirkan kesetaraan dan keadilan untuk seluruh rakyat.
Wujudkan Bangsa yang Sehat,Â
Cerdas, Sejahtera, Berbudaya dan BersatuÂ
Dalam artikel kemarin di #Kompasiana, "Anies Baswedan dan Kepemimpinan Profetik", saya menulis, bahwa Anies piawai menata kata yang bukan sekedar "menata kata biasa".