Desa Kuno yang terjaga Tradisinya
Menurut penjaga tiket, saat ketemu di loket tadi, sebut saja namanya Ni Ketut, Desa Penglipuran adalah desa kuno warisan dari zaman Bali kuno sebelum Majapahit datang.Â
"Disebut penglipuran, maksudnya adalah untuk pelipur hati. Menghibur hati," Ni Ketut mulai bercerita.
Ketika itu Raja Bangli harus mengungsi ke desa ini lantaran istananya diserang kerajaan lain. Warga desa menyambut Raja Bangli dengan suka cita dan memenuhi segala kebutuhannya termasuk menghibur sang raja. Maka raja pun bertitah menyebut tempat itu sebagai Desa Penglipuran.
"Ada tiga desa kuno di Bali yang masih asli. Desa Penglipuran, Desa Tenganan dan Desa Batur, dekat danau Batur, yang memiliki kekhasan pohon Trunyan," terang Ni Ketut tadi sembari meladeni penjualan tiket. Harga tiket per orang 15 ribu rupiah.Â
Warga Desa Penglipuran termasuk warga yang memegang teguh adat istiadat Bali. Berbagai tatanan sosial dan budaya serta keagamaan masih terpelihara (keasliannya). Mulai dari cara membangun rumah, aturan pernikahan sampai memperlakukan alam sekitar. Semuanya ada aturan yang mengikat. .
Semua rumah di Desa Penglipuran, denah zonasinya menganut konsep Sanga Mandala. Bangunan terbagi jadi sembilan bagian. Peletakan bangunan juga terbagi dengan konsep ruang Utama, ruang Madya dan ruang Nistha.
Zonasi ruang Utama tempat berdirinya Pura di ujung Utara desa. Sedangkan Madya tempat masyarakat mendirikan rumah tinggal. Serta Nistha ada di pojok bagian Selatan desa.
Saya perhatikan dengan seksama, semua rumah di Desa Penglipuran mempunyai ciri yang sama. Bagian depan rumah, memiliki gerbang/ gapura paduraksa (gapura yang atapnya berpadu) yang bentuknya seragam.
Orang Bali menyebutnya Angkul-angkul. Tak hanya bentuk bangunan, warna cat dan ornamen bangunan juga hampir seragam. Di depan rumah terdapat selokan saluran drainase yang lagi-lagi terjaga kebersihannya.Â