"Tahun 2016 Desa Penglipuran jadi viral. Pasalnya, desa warisan zaman kuno ini dinobatkan sebagai salah satu dari 3 desa terbersih sejagat. Berdampingan dengan Desa Giethoorn di Belanda dan Mawlynnong, di India"
Tiba di Penglipuran
Begitu terkenalnya Penglipuran, membuat saya begitu penasaran. Maka pagi itu, setelah kemarin malamnya menyelesaikan acara di rumah saudara dan menginap di homestay daerah Padang Galak, saya pun meluncur dari Denpasar ke Desa Penglipuran. Seperti biasanya, mengandalkan google maps agar tak salah jalan dan tujuan.
Awalnya keluar dari homestay Jalan Soka, Kesiman Kertalangu. Menuju Jalan By Pass Ngurah Rai. Putar Balik ke kanan di sebuah pertigaan. Diarahkan menuju Jl By Pass Ngurah Rai Tohpati. Membelah pinggiran kota Denpasar yang masih sepi. Lanjut ke jalan kembar Prof. Dr. Ida Bagus Mantra yang lebar dan lengang.Â
Tiga puluh menit kemudian oleh google maps dibelokkan ke kiri. Menuju jalan Banjar Siyut. Sepertinya bukan jalan utama. Jalannya agak sempit. Kendaraan terus melaju, ketemu pertigaan jalan Raya Tulikup yang lebih lebar. Lalu menuju Jalan Kembengan.
Lima belas menit kemudian memasuki kawasan sepi dengan jalan berkelok dan berliku. Suasana desa begitu ramah menyapa. Jalanan mulai menanjak. Pemandangan asri, udara sejuk dan segar dibalut penampakan tembok dan rumah khas Bali di kanan kiri.
Akhirnya, perjalanan selama satu jam, berakhir di halaman parkir Desa Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kabupaten Bangl. Pagi cerah dan sepi. Google Maps mencatat jaraknya sekitar 41Km dari Denpasar.
Udaranya yang sejuk menandakan desa ini ada di dataran tinggi. Saya lihat di peta, jika perjalanan dilanjutkan naik ke arah Utara, akan menuju kawasan pedesaan Gunung Batur.Â
Beberapa penduduk lokal, berpakaian khas Bali dan memakai udeng (penutup kepala) putih nampak sedang menyapu sudut-sudut halaman. Begitu keluar dari kendaraan, saya celingukan mencari tempat penjualan tiket.
Ternyata, tempatnya ada di pojok. Ada gadis Bali, berkain jarit panjang dan memakai selendang merah sedang berbenah. Mungkin tak menyangka saya dan rombongan sudah tiba sepagi ini.
Sembari menunggu, saya sempatkan melihat Peta Desa yang berdiri tegak di samping tempat penjualan tiket. Beberapa pertanyaan singkat saya ajukan kepada penjaga tiket yang ceria dan ramah. Setelahnya, kami pun melenggang memasuki kawasan Desa Wisata Penglipuran, sebagai rombongan turis blusukan pertama pagi itu.
Baca : Mengintip Candi Gunung Kawi yang Unik di Seantero Bali
Keunikan Perkawinan di Desa PenglipuranÂ
Kami berenam melangkah, disambut nameboard "Selamat Datang". Lalu beriringan menapaki jalan desa berlapis baru koral. Tonjolan-tonjolan mungilnya, lumayan untuk akupresur telapak kaki.
Di kanan-kiri jalan, dibatasi tanaman Kemuning yang sedang berbunga. Mekar berwarna Kuning. Benar kata orang, tempat ini bersih. Sepanjang kaki melangkah nggak ketemu sampah. Termasuk sampah guguran daun kering.Â
Lima puluh meter berjalan, tiba di pertigaan. Pilihannya, ke kiri bawah atau naik ke kanan atas. Jalan desa membujur Utara dan Selatan, membelah rumah-rumah penduduk jadi dua sisi berderet. Di tempat ini kami disapa beberapa penduduk desa yang begitu ramah. Ditunjukkan arah mana saja yang bisa kami tuju.Â
"Kalau ke bawah sana, ada Karang Memadu. Tempat tinggal warga yang berpoligami, " kata pak Wayan salah satu penduduk yang ketemu saya.. Penduduk Desa Penglipuran yang menikah lebih dari satu harus tinggal di sana. Terpencil di pojok desa, terang beliau.Â
"Di atas sana, terdapat Pura Penataran dan Hutan Bambu, " lanjut Pak Wayan, sambil tangannya menunjuk ke tempat lebih tinggi di arah Utara.Â
Saya dan teman-teman manggut-manggut saja mendengarkan cerita beliau.
Saya melihat sekeliling. Ada sebuah menara tempat meletakkan kulkul (tempat menggantungkan kentongan besar) di sisi kiri. Termasuk bale-bale panjang, tersusun dari kerangka kayu dan bambu. Dibuat tanpa dinding dan beratap ijuk. Fungsinya sebagai Balai Banjar Adat, kalau saya lihat di peta desa.
Desa Kuno yang terjaga Tradisinya
Menurut penjaga tiket, saat ketemu di loket tadi, sebut saja namanya Ni Ketut, Desa Penglipuran adalah desa kuno warisan dari zaman Bali kuno sebelum Majapahit datang.Â
"Disebut penglipuran, maksudnya adalah untuk pelipur hati. Menghibur hati," Ni Ketut mulai bercerita.
Ketika itu Raja Bangli harus mengungsi ke desa ini lantaran istananya diserang kerajaan lain. Warga desa menyambut Raja Bangli dengan suka cita dan memenuhi segala kebutuhannya termasuk menghibur sang raja. Maka raja pun bertitah menyebut tempat itu sebagai Desa Penglipuran.
"Ada tiga desa kuno di Bali yang masih asli. Desa Penglipuran, Desa Tenganan dan Desa Batur, dekat danau Batur, yang memiliki kekhasan pohon Trunyan," terang Ni Ketut tadi sembari meladeni penjualan tiket. Harga tiket per orang 15 ribu rupiah.Â
Warga Desa Penglipuran termasuk warga yang memegang teguh adat istiadat Bali. Berbagai tatanan sosial dan budaya serta keagamaan masih terpelihara (keasliannya). Mulai dari cara membangun rumah, aturan pernikahan sampai memperlakukan alam sekitar. Semuanya ada aturan yang mengikat. .
Semua rumah di Desa Penglipuran, denah zonasinya menganut konsep Sanga Mandala. Bangunan terbagi jadi sembilan bagian. Peletakan bangunan juga terbagi dengan konsep ruang Utama, ruang Madya dan ruang Nistha.
Zonasi ruang Utama tempat berdirinya Pura di ujung Utara desa. Sedangkan Madya tempat masyarakat mendirikan rumah tinggal. Serta Nistha ada di pojok bagian Selatan desa.
Saya perhatikan dengan seksama, semua rumah di Desa Penglipuran mempunyai ciri yang sama. Bagian depan rumah, memiliki gerbang/ gapura paduraksa (gapura yang atapnya berpadu) yang bentuknya seragam.
Orang Bali menyebutnya Angkul-angkul. Tak hanya bentuk bangunan, warna cat dan ornamen bangunan juga hampir seragam. Di depan rumah terdapat selokan saluran drainase yang lagi-lagi terjaga kebersihannya.Â
Rumah-rumah di sisi Barat jalan, meletakkan pura kecilnya dekat angkul-angkul. Sedangkan rumah sisi Timur, meletakkan pura kecil di sisi Timur Laut (belakang rumah).
Dari peta desa, saya hitung di Desa Wisata Penglipuran hanya ada sekitar 76 rumah.Â
Saya jadi membayangkan, jika pada saat hari tertentu rumah-rumah khas Bali ini dilengkapi dengan penjor bambu dan daun janur yang dironce. Dipadu kain kuning dan hitam putih khas Bali pasti akan tersaji pemandangan eksotik dan instagramable!.
Bisnis Rumahan
Keberadaan Desa Penglipuran sebagai Desa Wisata diresmikan mulai tahun 1992. Maka, warga pun memanfaatkan kunjungan wisatawan yang tiap hari memadati desa ini.Â
Saya memasuki beberapa rumah di Desa Penglipuran. Masyarakatnya sangat ramah. Mereka begitu kreatif menambah kepulan asap dapur dengan berbisnis rumahan. Beberapa rumah menyediakan aneka souvenir yang biasanya banyak diburu pelancong. Mulai dari Udeng, Kain Bali, Batik Bali sampai lukisan khas Bali. Rumah yang lain ada yang difungsikan sebagai homestay. Cocok bagi pelancong yang benar-benar ingin menginap dan menikmati suasana hidup di desa Bali kuno.
Tak mau kalah dengan tetangga yang lain, ada yang menyulap sebagian rumahnya untuk tempat nongkrong dan ngopi. Begitulah sedikit geliat ekonomi di Desa Penglipuran yang tenteram.
Setelah puas cuci mata keluar masuk rumah di Desa Penglipuran, sempat pula minum teh panas dan beli Udeng Bali, Â ami pun kembali menyusuri jalan desa. Beriringan menuju arah Utara yang kontur tanahnya lebih tinggi.
Di tempat yang paling tinggi dan berbatasan dengan hutan bambu inilah, dibangun Pura Penataran. Tempat warga desa melaksanakan ibadah ritual Hindu di hari-hari tertentu. Inilah tempat tersuci di Desa Penglipuran.Â
Setelah menyelisik keunikan Desa Penglipuran, tak salah jika memang desa ini ditetapkan sebagai salah satu desa terbersih sejagat dan viral di dunia maya. Desanya memang bersih dengan ciri khas rumah berarsitektur Bali yang unik. Dilengkapi aturan adat yang mengikat dan sangat dipatuhi warganya, sehingga terjaga tradisi dan nilai sosial keagamaannya. Cukup sulit saya kira, di zaman milenial bisa menemukan suatu komunitas/ masyarakat dengan tatanan sosial seperti di Desa Penglipuran ini.Â
Bacaan Menarik laiinya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H