Agak merunduk  saya masuk  mulut goa. Setelah melewati mulut goa, ternyata di dalamnya cukup lapang. Kegelapan menyergap saat di dalam goa. Sorotan senter HP  sesekali saya arahkan ke sudut-sudut dan saya arahkan ke depan.Â
Kuatir saat berjalan menabrak sesuatu. Sebagian dinding goa nampak basah. Ada rembesan air di beberapa bagiannya. Nampaknya, pengelola sudah menyiapkan deretan lampu yang dipasang di dinding goa. Sayangnya pagi itu belum ada petugas sehingga tidak dinyalakan.
Setelah berjalan hampir 30-40 meter, kami tiba di ujung goa. Ternyata buntu. Dalam keremangan saya amati konstruksi goa buatan jaman Jepang ini. Lebarnya tidak kurang dari lima meter. Tinggi plafond-nya sekitar empat meter.Â
Mulai dari mulut goa sampai batas akhir, dinding dan plafond diperkuat dengan pasangan Bata Merah. Dibuat memutar membentuk lengkungan. Daya lekat antar bata merah sangat kuat. Tidak ada bagian-bagian yang ambrol di didingnya.  Entah campuran apa yang digunakan.
Karena di dalam goa bisa menampung sekitar 40-50 orang. Tapi jika sebagai tempat tinggal permanen kurang memenuhi syarat karena tidak ada sirkulasi udara yang memadai,
Keluar dari Goa 4, kami kembali melacak keberadaan goa berikutnya. Â Setelah berjalan sekitar 50 meter, kembali kami temukan Goa 5. Mulut Goa-nya nampak bersih.Â
Hampir seratus persen tampak utuh. Sama seperti goa sebelumnya. Dibangun dengan konstruksi Bata Merah. Tapi sekali lagi, kami mencium aroma kurang sedap dari dalam goa sehingga tidak tertarik untuk memasukinya.Â
Beberapa goa terakhir yang kami  temui kondisi mulut goanya masih tertimbun tanah. Hanya menyisakan lubang-lubang sempit seperti sarang binatang melata.Â
Melihat tinggalan yang ada di kawasan ini, sudah selayaknya jika kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya Daerah. Ditilik dari usianya sudah lebih dari 50 tahun. Tidak banyak tempat yang mempunyai koleksi goa semacam dan sebanyak  ini. Â