Memasuki pelataran masih berupa tanah yang kering dan agak berdebu. Di sisi kiri adalah tebing bukit ditumbuhi kayu Kaliandra yang kering meranggas.Â
Maklum musim kemarau. Hanya beberapa kayu Sengon Laut yang menyisakan daun hijaunya. Semua peserta saya arahkan ke menuju Goa Jepang 1, yang paling dekat dengan tempat parkir kendaraan.
Goa Jepang pertama ini nampak jelas sosoknya. Dibuat dengan melubangi dinding bukit. Mulut goa ada di sisi Barat. Agar tidak runtuh, goa buatan ini diperkuat dengan  pasangan Bata Merah sepanjang sisi dan plafond-nya. Saya perkirakan, lebar dan tinggi mulut goa ini sekitar dua meter.Â
Begitu mendekat ke mulut goa, tercium aroma yang kurang sedap serta bunyi mencicit dari dalam goa. Sepertinya, goa ini adalah habitat Kelelawar. Sebenarnya penasaran ingin masuk, tapi ada tulisan peringatan "Dilarang Masuk Goa". Maka, niat masuk goa  pun diurungkan.Â
Dari goa pertama, peserta kegiatan saya briefing lalu saya persilahkan melakukan aktifitas hunting sesuai naluri masing-masing. Semua bergerak mencari jejak goa berikutnya.Â
Berjarak 50 meter dari goa pertama, ada papan petunjuk kecil sebagi penanda Goa 2. Maju 50 meter lagi ketemu Goa 3. kondisi kedua goa ini hanya tampat plafond atas mulut goanya. Tersisa lubang sempit, semacam  sarang musang. Hampir 90 persen mulut goa tertimbun tanah.Â
Awalnya, masyarakat sekitar Gunung Prau juga tidak tahu kalau ada goa di sisi barat bukit ini. Â Berbekal alat seadanya, mereka mereka-reka, menggali, mengaduk-aduk timbunan tanah sehingga akhirnya menemukan banyak goa.
Kami terus bergerak menyusuri pelataran Gunung Prau. Banyak  spot-spot selfie yang sudah dibuat untuk mempercantik lokasi wisata dadakan ini. Beberapa warung sederhana juga sudah disiapkan di sisi kanan jalan masuk.Â
Akhirnya, tiba di Goa 4. Dari luar, hanya tampak separuh mulut goa. Begitu saya dekati, tak ada bau amis kotoran Kelelawar. Spontan, naluri penjelajah dan rasa penasaran, mengajak kaki melangkah memasuki  goa. Saya ajak beberapa anak yang kebetulan membuntuti saya untuk masuk.