Ilmu kedokteran bukan wilayahku, dan aku berprasangka baik saja. Kecuali tanpa rekam jejak operasi sebelumnya atau tanpa masalah berarti, tentu kutolak saran yang memang berefek ke biaya itu.
Betapa hebat pengaruh motivasi, suamiku saja terpapar. Sambil bercanda ia bilang, "Nanti kata orang tak mau merasakan sakitnya melahirkan."
"Dan itu belum disebut perempuan? Yang bilang begitu dak tahu rasanya batuk dengan ratusan jahitan di perut. Belum pernah terbaring tiga hari, yang mau noleh bae rasanya pengin mati," jawabku kesal.
HPL si motivator berada di depan jadwal bedahku, jadi kita lihat saja. Mungkin sugestinya berhasil, atau firasatku yang terbukti. Tapi soal firasat tak kusampaikan, khawatir justru dituduh mendoakan. Aku gak sejahat itu juga keleus!
Baca juga: Sayangi Keluarga, Jangan Stroke!
Tibalah hari yang tidak kunanti. Temanku itu melahirkan di sebuah rumah sakit. Mendengar kata "rumah sakit" saja perasaanku sudah tak enak. Bukankah seharusnya ia di klinik?
Beberapa hari kemudian sebelum menjenguk, kuputuskan menelepon terlebih dulu. Hanya ingin bertanya di ruangan apa, ia justru curhat.
Panjang lebar kisahnya, bagaimana proses melahirkan kedua yang menurutnya lebih gila dari yang pertama. Tentang bidan yang panik dan akhirnya memutuskan angkat tangan. Tentang kontraksi yang sakitnya luar biasa.
Tentang robeknya rahim, jahitan sana-sini. Melahirkan secara sesar tapi "jalur normal" tetap harus dijahit, dan berbagai derita yang ngilu rasanya jika digambarkan.
"Sudah, jangan ambil risiko! Sesar saja langsung, biar jangan seperti aku!" sarannya.
Emang kapan aku punya niat ikut jalur sugestimu?