Di forum kecil kami yang biasanya adem ayem, tahu-tahu terjadi perdebatan. Yang paling senior di sana tak terima ketika kukatakan berdoa yang umum saja, karena Allah Mahatahu mana yang paling kita butuhkan.
"Harus spesifik, Tari! Kalau kita minta punya mobil. Minta segera, kalau perlu merk dan warnanya disebut."
"Kalau mobil yang itu ternyata dak baik untuk kita?" balasku.
"Ya minta yang baiklah!"
"Yang baik versi kita kan belum tentu memang baik untuk kita. Bukannya ribet minta sedetail itu, masak Tuhan diatur-atur."
"Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya ya, Tari. Kamu cari ayatnya gih!"
Padahal kalimatku sebelumnya juga berdalil, tapi sudahlah. Meninggalkan debat meski benar jauh lebih baik kan.
Pemicu perdebatan itu adalah sebuah motivasi dari salah seorang di antara kami yang setiap hari berusaha memberi sugesti positif. Bagus kan? Banget!
Baca juga: Emak-emak Matic Bukan Satu-satunya yang Ngawur di Jalanan
Kadang aku merasa toksik karena banyak motivasinya yang menurutku tidak realistis. Allah memang sesuai prasangka kita, tapi tidak dengan begitu kita bisa mengubah dunia semata dengan sugesti.
Aku tak berani main-main dengan ayat, bukan wilayahku. Tahu diri saja hendak menafsirkan ayat suci dengan amal seiprit dan pemahaman receh begini.
Contoh hal yang masuk akal bagiku itu begini. Ketika salah seorang kawan menemani temannya yang lain lagi mendatangi ahli nutrisi, mereka dihardik oleh si ahli.
"Kalau kalian ke sini karena ingin kurus, mending gak usah. Mahal. Di sini yang diubah mindset."
Temannya kawanku mungkin patah hati. Tapi menurutku itu masuk akal. Kamu set menu diet tapi hanya bertahan satu dua bulan, ya sehatmu hanya di dua bulan itu. Bahkan langsingnya mungkin sebulan, dan pada bulan berikutnya lebih ndut dari sebelum diet.
Tapi kalau mindset diubah, bahwa yang kamu makan hanya yang sekiranya dibutuhkan tubuh, itu jelas lebih berdampak. Ah, sebagai penggemar gorengan serasa munafik aku ngetik ini. Padahal cuma contoh, tapi nyata.
Tapi bahwa hanya bermodal sugesti kamu bisa jadi kurus, itu kan halu tingkat tinggi. Semisal terakhir inilah yang kerap disampaikan salah satu teman di forum kecil itu. Kalau begitu, apa kita akhirnya menganggap api yang tidak membakar Nabi Ibrahim semata karena nabi Allah itu mensugesti dirinya sendiri bahwa api tidak panas?
Lama-lama kita berpikir mukjizat hanya mitos, bahkan Tuhan pun tidak lebih berkuasa dari kita sendiri yang mampu mengubah apa pun dengan sugesti. Ujung-ujungnya, Tuhan hanya gambaran pikiran. Aslinya tidak ada.
Lama tidak seforum, bertahun kemudian aku berjumpa lagi dengan si motivator. Kali itu kami sama-sama hamil anak kedua, dan sama-sama sesar pada proses melahirkan sebelumnya. Â Â Â Â
Untuk kelahiran anak kedua, aku sudah dijadwalkan sesar oleh dokter. Sedangkan mbak motivator punya keyakinan kuat bahwa ia akan bisa melahirkan normal.
Untuk memperkuat sugesti, selama hamil ia tidak pernah mendatangi dokter. Sudah ada bidan yang akan menyambut anak keduanya.
Ia coba memotivasiku untuk punya keyakinan yang sama, tapi aku kadung kebal. Toh aku sudah berkonsultasi ke dua dokter. Keduanya menyarankanku untuk sesar saja karena risikonya terlalu besar.
Jarak kelahiran tiga tahun belum aman menurut mereka. Apalagi aku tak punya pengalaman mengejan dan belum pernah tahu rasanya kontraksi.
Ilmu kedokteran bukan wilayahku, dan aku berprasangka baik saja. Kecuali tanpa rekam jejak operasi sebelumnya atau tanpa masalah berarti, tentu kutolak saran yang memang berefek ke biaya itu.
Betapa hebat pengaruh motivasi, suamiku saja terpapar. Sambil bercanda ia bilang, "Nanti kata orang tak mau merasakan sakitnya melahirkan."
"Dan itu belum disebut perempuan? Yang bilang begitu dak tahu rasanya batuk dengan ratusan jahitan di perut. Belum pernah terbaring tiga hari, yang mau noleh bae rasanya pengin mati," jawabku kesal.
HPL si motivator berada di depan jadwal bedahku, jadi kita lihat saja. Mungkin sugestinya berhasil, atau firasatku yang terbukti. Tapi soal firasat tak kusampaikan, khawatir justru dituduh mendoakan. Aku gak sejahat itu juga keleus!
Baca juga: Sayangi Keluarga, Jangan Stroke!
Tibalah hari yang tidak kunanti. Temanku itu melahirkan di sebuah rumah sakit. Mendengar kata "rumah sakit" saja perasaanku sudah tak enak. Bukankah seharusnya ia di klinik?
Beberapa hari kemudian sebelum menjenguk, kuputuskan menelepon terlebih dulu. Hanya ingin bertanya di ruangan apa, ia justru curhat.
Panjang lebar kisahnya, bagaimana proses melahirkan kedua yang menurutnya lebih gila dari yang pertama. Tentang bidan yang panik dan akhirnya memutuskan angkat tangan. Tentang kontraksi yang sakitnya luar biasa.
Tentang robeknya rahim, jahitan sana-sini. Melahirkan secara sesar tapi "jalur normal" tetap harus dijahit, dan berbagai derita yang ngilu rasanya jika digambarkan.
"Sudah, jangan ambil risiko! Sesar saja langsung, biar jangan seperti aku!" sarannya.
Emang kapan aku punya niat ikut jalur sugestimu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H