Pintu belakang dibukanya perlahan. Kakinya menendang pelan, tidak ingin ada suara ribut. Tapi kau memperhatikannya, sekira dua meter dari pintu kayu yang hanya dikunci dengan kayu kecil berporos paku.
Sekarang moncongnya telah masuk, lalu dengan mudah tubuhnya menyusul. Saat pandangan mata kalian bersirobok, ia menyeringai.
"Kenapa tidak bukakan pintu?" tanyanya.
"Memangnya kau siapa?" balasmu.
Ia  tertawa mengembik.
"Tutup lagi pintunya!" perintahmu. Sebab ayam tetangga ikut berdatangan di belakangnya.
Kambing itu menuruti titahmu, mendorong pintu dengan moncongnya, lalu memutar kancing kayu yang tadi ia buka.
Tidak ada apa-apa di rumah itu selain pakaian dan makananmu yang terlalu ala kadarnya. Itulah kenapa keamanan rumahmu hanya kauserahkan pada sepotong kayu kecil yang dipaku pada tiang pintu. Sekadar untuk menghindari ternak tetangga yang selalu semena-mena.
Lalu kalian saling diam. Tapi matanya terus memandangimu.
"Sudahlah, jangan bicara lagi. Aku tahu keinginanmu. Itu-itu lagi, tak masuk akal dan membosankan," rutukmu padanya.
"Aku kan tidak bicara. Kau yang mulai," jawabnya.
"Zaman makin gila. Ada kambing bicara pada manusia." Kau terkekeh sendiri, sama sekali bukan tertawa bersamanya.
"Waktunya makin dekat, Wan. Bawalah aku," rengek kambing itu padamu.
Kau pura-pura tak mendengar. Kembali dengan kegiatanmu semula, mengupas bawang.
"Atau ..."
"Mengajak perempuan kemari," potongmu langsung. "Tidak usah diulang-ulang. Aku sudah hafal."
"Ayolah!" kambing itu mengurangi ukuran jarak kalian.
"Dasar binatang cabul!" kau membentak.
"Semua binatang begitu," ia membalas sengit.
"Tapi yang binatang kau, bukan aku!"
Ia mengembik. Entah merayu atau malah tertawa. Siapa pun tak tahu.
"Kau akan menyesal jika tidak melakukannya ..."
"Diam, Kambing! Nanti kusembelih kau. Dasar kambing jantan gatal, aku ini masih punya iman." Kau segera bangkit dari dingklik, mengambil sarung kumal yang tergantung sejak kemarin di salah satu dinding rumah.
"Kau punya iman, tapi tak punya uang. Bagaimana kau bisa menikah kalau hanya mengandalkan upah mengupas bawang." Kambing itu terus menggodamu.
Kau angkat dia sekuat tenaga. Membuka pintu bergegas, dan meninggalkannya tanpa menutup kembali. Tak peduli pada ayam tetangga yang berebut masuk ke rumah sederhanamu. Â
---
Sebentar lagi Lebaran Haji. Orang-orang mulai membeli hewan ternak untuk dijadikan kurban. Biasanya pembeli akan menitipkan dulu hewan kurbannya sampai hari penyembelihan tiba. Tapi tidak dengan Pak Ali, tetanggamu yang paling kaya di seantero kampung.
Pak Ali membeli sepuluh ekor kambing, lima jantan dan lima betina. Ia bawa pulang semua, hingga menjadi tambahan pekerjaan bagi pembantu-pembantu di rumah besarnya. Begitu cerita seekor kambing jantan kepadamu.
Kambing itu yang mengikutimu pulang sehabis syukuran cucu pertama Pak Ali. Ia berjalan pelan tapi pasti, menyembunyikan suara langkah meski kakinya ada empat. Kambing itu berhasil masuk ke rumahmu tanpa kau sadari, karena kau terbiasa tak menutup pintu saat malam. Sebab ayam-ayam tetangga sudah pulang ke kandang mereka. Dan beberapa temanmu sering mampir untuk berbagi rokok denganmu.
Kau terkejut. Seekor kambing di dalam rumahmu. Tanpa pikir panjang kau segera mengusirnya. Bisa jadi masalah besar, kau akan dituduh mencuri. Bisa jadi ditelanjangi, diarak keliling, atau bahkan dibakar hidup-hidup seperti tersangka maling di banyak tempat.
Kau lebih terkejut lagi ketika kambing itu berbicara. Dengan bahasa manusia yang fasih. Bahasa Indonesia. Kau nyaris pingsan, andai saja bisa. Nyatanya banyak orang yang tidak pingsan meski sangat terkejut.
Kambing itu memperkenalkan dirinya. Namanya Nur, seperti nama perempuan. Dan kau ingat seseorang yang tak pernah kau lihat. Tapi sampai kedatangan Nur yang kesekian kali pun, tak pernah kau memanggil namanya. Hanya kambing, kau menyebutnya.
Kambing itu bercerita tentang keluarganya, yang dia bilang manusia semua. Tentang tempat asalnya, sejarah dirinya, dan segala hal yang kau simak baik-baik dalam keterpanaan. Sayang semua cerita itu kau hapus dari memorimu sejak hari keempat kedatangannya.
Hari itu ia datang dengan ekspresi yang berbeda---kau mulai hapal ekspresi kambing sejak kalian sering bertemu. Ia menempelkan tubuhnya padamu, lalu berbisik di telingamu. Kau tertawa, karena geli. Bukan karena mendengar ide darinya. Ia mengulangi kembali, untuk memastikan bahwa tawamu adalah tanda persetujuan.
"Aku punya gadis yang layak untukmu," bisiknya.
"Siapa?" kau bertanya. Penasaran, bagaimana pula seekor kambing tahu perkara jodoh menjodohkan.
"Anak Pak Ali. Ia cantik dan baik."
Refleks kau menggeleng. "Dia anak orang kaya, tak akan mau padaku yang terlampau miskin ini," keluhmu.
"Makanya, kau perkosa saja. Ajak kemari, lalu kau minumkan obat tidur."
Matamu mendelik. Kau tampar moncong kambing itu.
"Bapaknya orang terpandang. Dia pasti akan menutupi aib anaknya, dan langsung menikahkan kalian. Kalau kau bisa menaklukkan hati anaknya, apa pun yang ..."
Tamparan kedua mendarat sebelum kambing itu selesai dengan rencana briliannya.
Kau benar-benar murka!
Tapi justru sejak itu ia tak mau pulang kecuali kau usir. Dan sejak itu cerita yang sering ia ulang-ulang memudar dari kepalamu. Kau tak percaya lagi padanya. Kau merasa disesatkan.
---
Kambing itu meronta-ronta dalam gendonganmu.
"Diam kubilang! Aku sudah tak sabar menunggu lebaran untuk memakan dagingmu," katamu kesal, sembari menggendong kambing jantan itu menuju rumah empunya.
Ia terus meronta dan mengembik seperti kambing lainnya. Itu makin membuatmu kesal. Ditambah lagi tatapan para tetangga yang melihatmu membawa kambing itu.
"Kambing ini datang sendiri ke rumahku. Aku membawanya untuk kukembalikan pada Pak Ali. Aku tidak mencurinya, dia yang datang padaku." Begitu teriakmu pada orang-orang yang melihat di sepanjang perjalanan.
Kambing itu terus mengembik, kali ini nadanya berbeda. Sepertinya ia tengah menertawakanmu. Ingin kau cekik lehernya, tapi jika kambing itu mati, bisa selesai pula usiamu.
Akhirnya kau tiba di rumah Pak Ali. Ia berkacak pinggang, tekanan gerahamnya nampak jelas dari rahangnya yang mengeras. Matanya yang mendelik makin menguatkan kesan kemarahan.
"Tolong ikat kambingmu, Pak," katamu pelan. Dalam hati kau mengumpat, seharusnya kau yang marah, kaulah korbannya.
"Setiap kuikat, kau buka. Kuikat lebih kuat, kau potong talinya!" tuding orang tua itu.
"Siapa yang bilang begitu, kambing ini?" tanyamu ikut kesal.
"Mau bilang alasan apa lagi?" Pak Ali justru menantangmu. Dada keringnya ia busungkan.
"Alasanku tidak pernah berubah. Kambingmu yang datang ke rumahku. Kalau aku hendak mencurinya, untuk apa kukembalikan setiap hari?" orang-orang yang mendengar keributan pada berdatangan.
"Ini gara-gara kau, kambing gila!" umpatmu pada kambing yang tenang-tenang saja merumput di antara kaki kalian.
"Kau yang gila. Setiap hari mencuri kambing hanya untuk diajak ngobrol. Sudah, pulang sana!" ia menjorokmu.
Rasanya darahmu sudah sampai di ubun-ubun, siap tanganmu melayangkan pukulan.
BERSAMBUNG ke bagian 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H