---
Kambing itu meronta-ronta dalam gendonganmu.
"Diam kubilang! Aku sudah tak sabar menunggu lebaran untuk memakan dagingmu," katamu kesal, sembari menggendong kambing jantan itu menuju rumah empunya.
Ia terus meronta dan mengembik seperti kambing lainnya. Itu makin membuatmu kesal. Ditambah lagi tatapan para tetangga yang melihatmu membawa kambing itu.
"Kambing ini datang sendiri ke rumahku. Aku membawanya untuk kukembalikan pada Pak Ali. Aku tidak mencurinya, dia yang datang padaku." Begitu teriakmu pada orang-orang yang melihat di sepanjang perjalanan.
Kambing itu terus mengembik, kali ini nadanya berbeda. Sepertinya ia tengah menertawakanmu. Ingin kau cekik lehernya, tapi jika kambing itu mati, bisa selesai pula usiamu.
Akhirnya kau tiba di rumah Pak Ali. Ia berkacak pinggang, tekanan gerahamnya nampak jelas dari rahangnya yang mengeras. Matanya yang mendelik makin menguatkan kesan kemarahan.
"Tolong ikat kambingmu, Pak," katamu pelan. Dalam hati kau mengumpat, seharusnya kau yang marah, kaulah korbannya.
"Setiap kuikat, kau buka. Kuikat lebih kuat, kau potong talinya!" tuding orang tua itu.
"Siapa yang bilang begitu, kambing ini?" tanyamu ikut kesal.
"Mau bilang alasan apa lagi?" Pak Ali justru menantangmu. Dada keringnya ia busungkan.