Ternyata, saya termasuk orang yang suka otak-atik video, mengedit, dan memilah-milah mana bagian yang bisa ditampilkan dan mana yang tidak. Apalagi, memikirkan video sepanjang 1 menit saja sudah perlu waktu. Jadi, ternyata saya termasuk orang kecemplung ke dalam dunia "imej"---begitulah.
Hyperreality telah menggerogoti pola hidup saya juga.
Unggahan-unggahan feed-feed saya di IG adalah upaya saya yang secara sadar dan tak sadar telah menciptakan sebuah hyperreality atas realitas hidup saya. Semua telah dipoles, dibengkokkan, dibuat sedemikian rupa sehingga pas dan cocok masuk ke kriteria realitas yang ingin saya tampilkan. Saya seperti sutradara atau malah editor film tentang kehidupan saya sendiri.
Pertanyaan yang masuk ke benak saya sekarang adalah apakah foto dan video itu masih bisa dianggap realitas? Tentu saja, saya bisa langsung menjawab bahwa semua itu BUKAN realitas.Â
Realitas tak mungkin tergantikan dengan semua feed itu. Apa yang terpampang di IG adalah dunia tiruan semata. Dunia nyata saya jauuuuuuuuuh lebih berwarna dari sekedar video sekitar 1 menit di feed IG itu. Berwarna ini justru lebih nyata karena ada rasa sedih, pahit, getir, bahagia, sendu, riang, dan dunia keabu-abuan yang tentu saja tak pernah atau belum saya tampakkan di feed IG saya di medsos.
Yang pasti, entah posisi saya sebagai pencipta hyperreality atau sebagai penikmat hyperreality orang lain, saya sekarang seakan tak bisa lepas dari gawai.Â
Banyak sendi kehidupan yang tersambung lewat gawai tanpa harus ada kontak fisik antarinsan. Terlebih, dalam masa Covid ini, tawa riang bareng teman, pelukan hangat ibunda di hari Raya Lebaran, dan bau kue nastar Lebaran di rumah mau tak mau malah dipaksa tergantikan oleh hebatnya gawai-gawai di genggaman tangan.
Bertemu orang tua, sungkem orang tua pun mau tak mau harus dilakukan lewat Zoom atau groupcall di WA atau IG atau Google Meet atau yang lain. Namun, banyak dari kita yang pasti mengamini bahwa itu semua hambar.Â
Itu hanyalah gambar atau layar-layar bergerak yang harus kita yakini sebagai dunia nyata. Tak ada yang tangible atau bisa dipegang dan dirasakan kehangatannya. Namun, mau tak mau, kita harus memasukkan ke otak dan benak kita bahwa itu--untuk sementara--cukup mengobati rasa rindu kita.
Sampai kapan?
Bisa jadi---ini ketakutan saya---karena saking terbiasanya kita dengan gawai-gawai, maka realitas kita akan tergantikan dengan hyperrealitas. Realita semu--ya semu semuanya. Namun, kita tak ada pilihan selain menganggapnya sebagai sebuah kenyataan.