Kita menganggap itu kenyataan karena kita ingin dianggap ikut eksis. Sekarang ini banyak dari kita yang ingin dianggap atau diingat atau diterima oleh orang lain.
Kita perlu pengakutan orang lain. Kalau dulu kita melakukannya dengan bertemu orang lain secara langsung, kini dengan adanya medsos, kita telah terbiasa kirim-kirim salam lewat medsos.Â
Lebaran kemarin pun demikian. Tak ada Covid saja kita sudah terbiasa bertemu lewat dunia hyperreality. Apalagi, di tengah situasi Covid ini, kita seakan-akan memiliki excuse baru yang bisa berdampak besar bahwa pengakuan orang lain lewat medsos jauuuuuuh lebih penting daripada pengakuan langsung secara fisik---sesuatu yang saat ini dihindari gara-gara ada social-distancing.
Yang pasti, saya kog merasa bahwa nanti pas pasca Covid sekali pun, kita sudah semakin terbiasa dengan hyperreality. Kita tak lagi bisa membedakan batas-batas mana yang real dan mana yang unreal.Â
Sekarang saja sudah bingung membedakan, apalagi nanti. Bertemu teman atau bahkan bertemu ortu atau bertemu anak sendiri lewat WA call telah menjadi semacam kebiasaan yang lama-lama bisa jadi dianggap sebagai pertemuan fisik yang real.Â
Well, mungkin itu sekedar kekhawatiran saya saja. Yang pasti, dunia digital janganlah sampai menggantikan dunia analog kita.
Sama seperti yang saya ceritakan di tulisan ini, bahwa apa yang sering saya unggah di medsos itu hanyalah dunia tiruan yang nampak "perfect" padahal di balik itu banyak lika-liku dan luka-luka yang tak kutampakkan. Sama halnya dengan videocall. Saat kita membuat videocall, bisa jadi ada hal-hal yang tak nampak karena sengaja disembunyikan.Â
Kita melihat lawan bicara kita lewat frame kecil di layar hape kita. Itu sangat dua dimensi banget. Sama sekali tak ada kesan tiga dimensi di mana kita bisa merasakan desahan nafas atau kehangatan lawan bicara kita.Â
Bayangkan itu Ibunda kita. Ibu kita yang kita telepon lewat WA call bisa jadi menyembunyikan sesuatu. Kita tak melihat utuh dan penuh sosok ibu kita hanya lewat layar 2 dimensi itu. Untuk itulah, hyperreality memunculkan semacam rasa disconnectedness walaupun terlihat real di layar gawai kita.
Untuk itulah, kembali ke awal-awal tulisan saat saya mempertanyakan apakah ada yang menganggap feed IG saya menarik atau malah membosankan, saya sekarang hanya bisa berharap agar siapa pun yang melihat the seemingly perfect-looking video di IG saya, bisa menyadari bahwa di baliknya......ada gading-gading retak yang tak nampak.
Di balik hyperrealitas saya bisa masak pancake, ada istri saya yang jauuuuuh lebih keren dan tak tertandingi dalam memasak. Saya hanyalah kelas teri yang begitu bisa bikin seupil pancake saja langsung ada ghiroh untuk meng-upload-nya di IG biar yang nampak adalah sosok Suray bisa memasak. Padahal itu semua semu. That's nothing more than hyperreality.Â