Semuanya Semu?
Wait, berapa likes atau views atau comment-kah yang muncul di feed IG-ku? Ada nggak ya yang menganggap video IG-ku itu menarik atau jangan-jangan malah ada yang menganggapnya membosankan? Dipikir-pikir, berapa kali sih diri ini memikirkan hal-hal itu tiap saat? Jawabnya mudah: sering.
Padahal, shallow banget kalau dipikir-pikir. Mengapa juga sih mikirin hal-hal seperti itu? Karena memikirkan hal-hal itu sama saja diri ini kecemplung ke dalam lingkaran kedangkalan yang ujung-ujungnya malah bisa-bisa bikin hati resah.
Padahal, I know myself. Di balik hyperrealitas saya tersenyum di banyak feed IG saya, ada warna abu-abu di dalam hidup saya yang tak mungkin atau (belum) nampak saja. Itulah hyperreality.Â
Okay, saya sering membaca bahwa medsos itu semu. Yup, sudah tahu dan sadar sejak (mungkin) 4 tahun lalu pas diri ini kecemplung pakai IG--salah satu medsos yang sampai saat ini rajin saya pakai.
Okay, saya sering juga membaca bahwa daripada pakai medsos yang semu itu, mendingan saya keluar ketemu orang lain, berpetualang sana-sini, melakukan ini itu seperti biasa dan simpan itu sendiri sebagai kenangan pribadi tanpa harus nyimpen dan nunjukinnya di dunia maya. Anggaplah dunia ini nirmedsos.
Namun, apa daya, pas diri ini mencoba hidup di dunia nirmedsos, tiba-tiba harus dihadapkan dengan pageblug seperti ini. Medsos justru seakan menjadi tempat bagi diriku untuk melihat, mengintip, dan menumpahkan realitas hidup. Lagi-lagi, diri ini dibenturkan dengan dan dicemplungkan ke dalam lingkaran kedangkalan(?).
Siapa yang membenturkan dan mencemplungkan? Saya tak mau menyalahkan si Covid-19!
Itu karena saya sendirilah yang secara sadar tetap "bersilaturahmi" dengan medsos yang akhirnya membawa diriku (kini) terkadang bergumam, "Jangan-jangan ada yang nggak suka dengan unggahanku, jangan-jangan ada yang senewen dengan feed-ku, jangan-jangan ada yang anggap Suray ini kurang kerjaan, jangan-jangan Suray ini kerjaannya tiap hari hanya bikin video, jangan-jangan dan jangan-jangan yang lain!"
Itulah perasaan yang muncul selama hampir 4 bulan terakhir.
Satu hal yang pasti, saya sendiri sadar bahwa IG (plus YouTube dan Google Photos) adalah wadah saya menyimpan semua foto dan video dari hal-hal yang terjadi di kehidupan saya yang nyata. Masalahnya adalah, begitu semua itu saya unggah ke IG, misalnya, maka semua itu menjadi tidak nyata alias unreal alias semu.Â
Ya, karena itu bukan lagi realitas. Realitas empiris yang saya alami tetap tak tergantikan dengan video atau rekaman video tentang realitas itu.Â
Lebih parahnya, saya sekarang justru khawatir kalau video yang sebenarnya created based on realities itu dimaknai sebagai sesuatu yang unreal oleh diri saya sendiri atau lebih gawatnya oleh siapa pun yang melihatnya.
Sempat terpikir, ngapain juga merekam kejadian tiap hari. Anggap saja semua itu kejadian harian yang pasti akan sirna dan hilang ditelan waktu. Tak perlulah memvideokan atau merekam segala. Lagipula si mbah si mbahmu dulu juga tak ada yang melakukannya. Mereka pastinya fine-fine saja. Hmmm. Hmmm. Saya termenung sendiri dengan pemikiran ini.
Yang pasti, entah saya mengunggah rekaman video harian saya ke IG atau tidak, IG akan tetap ada alias eksis di dunia saat ini.
Frankly speaking, saya dulunya adalah orang yang suka menguntit, mengintip, melihat, memandangi kehidupan teman-teman saya di mana pun lewat unggahan medsos mereka. Lagi pula, hitung-hitung itu sebagai cara untuk berkomunikasi atau mengetahui bagaimana kabar mereka. Dari teman SD hingga SMA, masih ada yang sering saya ikuti dan lihat bagaimana kehidupan mereka. Ada pula teman-teman kuliah yang hitungannya masih gres dan fresh untuk dilacak.Â
Bahkan, saya pun melihat dan mengikuti sepak terjang kehidupan orang-orang lain yang kenal saja juga tidak. Sering kuhabiskan waktu beberapa menit err jam untuk melakukan ritual intip-mengintip "kesempurnaan" hidup orang lain yang terus terang itu saya lakukan gara-gara diri ini penasaran atau bisa juga bosan karena dikungkung di rumah terus. Hmm...ini alasan yang 50:50 ada benarnya.
Ok, selama dikarantina sejak awal Maret 2020 di tengah pagebluk Covid-19 ini, saya kog rasa-rasanya semakin ambyar terjun ke dunia semu ini. Maaf jika ada yang tak setuju atau marah atau tersengat bila saya sebut dunia medsos itu dunia semu.Â
Karena walaupun saya menggunakannya, saya melihatnya seperti itu. Karena dunia yang nyata itu hanya ada di dunia nyata, sebuah dunia tempat kita misalnya bisa memegang sesuatu atau seseorang secara fisik dan merasakan kehangatan secara nyata, menghirup dan merasakannya langsung.Â
Semua yang ada di IG itu adalah semacam "cerminan" atau refleksi dunia nyata, jadi bisa dibilang unreal alias semu. Dalam istilah kecenya, saya pernah membaca bahwa medsos itu semuanya hyperreality alias realitas semu. Dunia nyata yang tergantikan dengan hyper-realitas.
Dalam konteks itulah, kebiasaan saya melihat-lihat, menge-scroll feed-feed teman-teman atau siapa pun di IG itu sebenarnya adalah melihat hyperreality, bukan dunia nyata.
Pas jaman pra-Covid, sering banget saya melihat seabrek orang mengunggah tiket nonton pilem. Pilem yang sama lagi. (Lucunya, saya kog ya pernah juga meng-upload tiket pilem itu. Gotcha!).Â
Setiap mau makan saja, foto-foto makanan seakan sudah jadi kewajiban berjamaah yang diamini banyak orang bahwa itu harus di-upload dulu di medsos. Lagi-lagi, saya pun sering begitu. Nggak afdol rasanya. Eman-eman jika makanannya tak dijepret dulu.Â
"Wis larang-larang kog ora dipoto," sempat atau pernah juga mikir begitu. Atau, yang paling heboh adalah saat diri ini melihat teman-teman dewe sudah ada yang sampai ke Pink Beach di Komodo atau plesir sejenak ke Bali beberapa kali atau ke negeri-negeri indah di sudut dunia ini.Â
Oh, betapa indah dan perfect-nya dunia mereka. Masih banyak lagi moment-moment kesempurnaan yang diumbar di medsos yang kalau diri ini nggak tahan, bisa-bisa inginnya loncat dari gedung lantai 6 dan langsung terbang beli tiket dan melancong naik pesawat jalan-jalan saja tanpa harus kerja.
Intinya, "What am I doing here?" gitulah pertanyaan diri ini ke batin saat melihat kesempurnaan hidup orang lain di medsos. Kog saya masih stuck di kampus saja dan di Jogja saja. Kapan jalan-jalannya?
Uniknya, pas saya unggah diri ini naik motor ke sawah atau ke sekeliling Jogja saja, ada teman yang nyelethuk, "Suray, enak ya..jalan-jalan terus!" Padahal itu saya lakukan setelah pulang kerja atau pas akhir pekan saja. Terlebih, yang saya unggah yo terus menerus dan hanya di sekitar rumah dan itu-itu saja.
Kalau saya unggah foto di Jakarta, misalnya; entah ke sana naik kereta atau pesawat, maka yang saya unggah adalah foto saya on the way ke Jakartanya, BUKAN saat saya harus bekerja berkutat dengan deadline di ruang meeting atau pusing memikirkan ini dan itu.Â
Nope, karena itu tak menarik. Menurut saya--anehnya--yang patut diunggah adalah imej "kesempurnaan" bahwa saya lagi having fun. Padahal, di balik itu semua.......not everything is. Â
Jadi, kalau dipikir-pikir, semua orang punya pemikiran beda-beda.
Yang sama adalah bahwa apa yang diunggah di medsos itu....kebanyakan adalah imej "kesempurnaan".
Foto yang diunggah harus atau kalau bisa foto yang terlihat se-perfect-perfect-nya. Kalau bisa harus diedit, ditone-up, dipotosyur, dipermak, dan dipercantik dahulu dengan bantuan filter ini atau itu. Entahlah. Namun, itulah dunia medsos. Saya yakin, tak semua orang melakukan ini. Namun, ada banyak yang iya.
Di mana posisi si Suray?
Ternyata, saya termasuk orang yang suka otak-atik video, mengedit, dan memilah-milah mana bagian yang bisa ditampilkan dan mana yang tidak. Apalagi, memikirkan video sepanjang 1 menit saja sudah perlu waktu. Jadi, ternyata saya termasuk orang kecemplung ke dalam dunia "imej"---begitulah.
Hyperreality telah menggerogoti pola hidup saya juga.
Unggahan-unggahan feed-feed saya di IG adalah upaya saya yang secara sadar dan tak sadar telah menciptakan sebuah hyperreality atas realitas hidup saya. Semua telah dipoles, dibengkokkan, dibuat sedemikian rupa sehingga pas dan cocok masuk ke kriteria realitas yang ingin saya tampilkan. Saya seperti sutradara atau malah editor film tentang kehidupan saya sendiri.
Pertanyaan yang masuk ke benak saya sekarang adalah apakah foto dan video itu masih bisa dianggap realitas? Tentu saja, saya bisa langsung menjawab bahwa semua itu BUKAN realitas.Â
Realitas tak mungkin tergantikan dengan semua feed itu. Apa yang terpampang di IG adalah dunia tiruan semata. Dunia nyata saya jauuuuuuuuuh lebih berwarna dari sekedar video sekitar 1 menit di feed IG itu. Berwarna ini justru lebih nyata karena ada rasa sedih, pahit, getir, bahagia, sendu, riang, dan dunia keabu-abuan yang tentu saja tak pernah atau belum saya tampakkan di feed IG saya di medsos.
Yang pasti, entah posisi saya sebagai pencipta hyperreality atau sebagai penikmat hyperreality orang lain, saya sekarang seakan tak bisa lepas dari gawai.Â
Banyak sendi kehidupan yang tersambung lewat gawai tanpa harus ada kontak fisik antarinsan. Terlebih, dalam masa Covid ini, tawa riang bareng teman, pelukan hangat ibunda di hari Raya Lebaran, dan bau kue nastar Lebaran di rumah mau tak mau malah dipaksa tergantikan oleh hebatnya gawai-gawai di genggaman tangan.
Bertemu orang tua, sungkem orang tua pun mau tak mau harus dilakukan lewat Zoom atau groupcall di WA atau IG atau Google Meet atau yang lain. Namun, banyak dari kita yang pasti mengamini bahwa itu semua hambar.Â
Itu hanyalah gambar atau layar-layar bergerak yang harus kita yakini sebagai dunia nyata. Tak ada yang tangible atau bisa dipegang dan dirasakan kehangatannya. Namun, mau tak mau, kita harus memasukkan ke otak dan benak kita bahwa itu--untuk sementara--cukup mengobati rasa rindu kita.
Sampai kapan?
Bisa jadi---ini ketakutan saya---karena saking terbiasanya kita dengan gawai-gawai, maka realitas kita akan tergantikan dengan hyperrealitas. Realita semu--ya semu semuanya. Namun, kita tak ada pilihan selain menganggapnya sebagai sebuah kenyataan.
Kita menganggap itu kenyataan karena kita ingin dianggap ikut eksis. Sekarang ini banyak dari kita yang ingin dianggap atau diingat atau diterima oleh orang lain.
Kita perlu pengakutan orang lain. Kalau dulu kita melakukannya dengan bertemu orang lain secara langsung, kini dengan adanya medsos, kita telah terbiasa kirim-kirim salam lewat medsos.Â
Lebaran kemarin pun demikian. Tak ada Covid saja kita sudah terbiasa bertemu lewat dunia hyperreality. Apalagi, di tengah situasi Covid ini, kita seakan-akan memiliki excuse baru yang bisa berdampak besar bahwa pengakuan orang lain lewat medsos jauuuuuuh lebih penting daripada pengakuan langsung secara fisik---sesuatu yang saat ini dihindari gara-gara ada social-distancing.
Yang pasti, saya kog merasa bahwa nanti pas pasca Covid sekali pun, kita sudah semakin terbiasa dengan hyperreality. Kita tak lagi bisa membedakan batas-batas mana yang real dan mana yang unreal.Â
Sekarang saja sudah bingung membedakan, apalagi nanti. Bertemu teman atau bahkan bertemu ortu atau bertemu anak sendiri lewat WA call telah menjadi semacam kebiasaan yang lama-lama bisa jadi dianggap sebagai pertemuan fisik yang real.Â
Well, mungkin itu sekedar kekhawatiran saya saja. Yang pasti, dunia digital janganlah sampai menggantikan dunia analog kita.
Sama seperti yang saya ceritakan di tulisan ini, bahwa apa yang sering saya unggah di medsos itu hanyalah dunia tiruan yang nampak "perfect" padahal di balik itu banyak lika-liku dan luka-luka yang tak kutampakkan. Sama halnya dengan videocall. Saat kita membuat videocall, bisa jadi ada hal-hal yang tak nampak karena sengaja disembunyikan.Â
Kita melihat lawan bicara kita lewat frame kecil di layar hape kita. Itu sangat dua dimensi banget. Sama sekali tak ada kesan tiga dimensi di mana kita bisa merasakan desahan nafas atau kehangatan lawan bicara kita.Â
Bayangkan itu Ibunda kita. Ibu kita yang kita telepon lewat WA call bisa jadi menyembunyikan sesuatu. Kita tak melihat utuh dan penuh sosok ibu kita hanya lewat layar 2 dimensi itu. Untuk itulah, hyperreality memunculkan semacam rasa disconnectedness walaupun terlihat real di layar gawai kita.
Untuk itulah, kembali ke awal-awal tulisan saat saya mempertanyakan apakah ada yang menganggap feed IG saya menarik atau malah membosankan, saya sekarang hanya bisa berharap agar siapa pun yang melihat the seemingly perfect-looking video di IG saya, bisa menyadari bahwa di baliknya......ada gading-gading retak yang tak nampak.
Di balik hyperrealitas saya bisa masak pancake, ada istri saya yang jauuuuuh lebih keren dan tak tertandingi dalam memasak. Saya hanyalah kelas teri yang begitu bisa bikin seupil pancake saja langsung ada ghiroh untuk meng-upload-nya di IG biar yang nampak adalah sosok Suray bisa memasak. Padahal itu semua semu. That's nothing more than hyperreality.Â
Di balik hyperrealitas saya bersama para mahasiswa yang seakan-akan akur dan damai itu, ada dinamika mahasiswa yang tak suka pada saya, ada mahasiswa yang senewen karena garang dan galaknya saya, mungkin ada mahasiswa yang suka sama saya (hopefully), dan lain-lain. Namun, yang nampak adalah picture-perfect image of me and my students. That's nothing more than hyperreality.Â
Sekali lagi, di balik hyperrealitas saya tersenyum di banyak feed IG saya, ada warna abu-abu di dalam hidup saya yang tak mungkin atau (belum) nampak saja. Itulah hyperreality.Â
Jogjakarta, 06-06-2020
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H