Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Yuk Investasi Saham, Stabilkan Pasar Modal, Stabilkan Ekonomi Kita

31 Agustus 2020   22:53 Diperbarui: 1 September 2020   15:22 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia (Kompas.com/Garry Lotulung)

IHSG turun. Harga saham jatuh. 

Barangkali kita sudah sering mendengar kalimat itu, terutama saat dan menjelang krisis. Ya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memang menjadi salah satu indikator/ukuran yang menggambarkan kondisi perekonomian kita. Ini juga berlaku di negara-negara lain.

Saat terjadi resesi di negara kita, misalnya yang pernah terjadi tahun 1998 dan 2008, IHSG pun turun drastis. Bahkan saat terjadi satu kondisi buruk yang tidak pernah diprediksi sama sekali, misalnya saat awal pandemi bulan Maret lalu, harga-harga saham yang diperdagangkan di bursa pun anjlok. 

Akibatnya, IHSG pun turun tajam sampai sempat menyentuh angka 4.000 an. Padahal pada kondisi normal, IHSG sudah pernah mencatat angka tertinggi di kisaran 6.000 an. 

Memang harus dipahami bahwa proses pembentukan harga saham di pasar modal sederhananya akan mengikuti hukum ekonomi. Saat permintaan akan saham perusahaan meningkat, otomatis harganya akan terus naik. Begitu pula sebaliknya.

Lalu, apa yang menggerakkan jumlah permintaan/penawaran akan saham? Tentu saja, sentimen dan persepsi yang muncul dalam benak para investor. 

Saat ada berita bernada sentimen negatif, para investor akan cenderung menahan diri untuk tidak membeli saham. Bahkan pada taraf yang lebih parah lagi, mereka akan panik dan berusaha menjual saham yang dimiliki meskipun dalam kondisi rugi (panic selling). 

Demikian halnya, saat investor punya sentimen dan pandangan positif, mereka akan berlomba membelanjakan uangnya dengan membeli saham. 

Sekali lagi kita ambil contoh di masa pandemi saat ini. Saat pertama kali diumumkan pasien positif Covid-19, hampir semua harga saham perusahaan publik yang ada di Bursa Efek Indonesia mengalami penurunan tajam. 

Termasuk saham perusahaan-perusahaan farmasi seperti Indofarma (INAF), Kimia Farma (KAEF), Pyridam Farma (PYFA), dan Phapros (PEHA). 

Namun, saat tersiar kabar bahwa pemerintah sudah "hampir" menemukan vaksin dan sudah pada tahap ujicoba, harga saham-saham perusahaan farmasi yang konon akan ditunjuk sebagai penyedianya langsung naik drastis. Kenaikan harganya bisa sampai puluhan persen dalam sehari.

Asing vs lokal 

Satu hal yang menjadi isu penting di dalam industri pasar saham adalah ketimpangan jumlah investor lokal dengan investor asing. Ya, jumlah investor lokal (termasuk dana yang dimiliki) masih tertinggal dibandingkan investor asing.

Pemerintah memang sudah sejak beberapa tahun belakangan ini gencar melakukan berbagai kampanye misalnya Yuk Nabung Saham yaitu gerakan mengajak penduduk Indonesia untuk ikut berinvestasi saham.

Hasilnya memang cukup menggembirakan. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per 19 September 2019, porsi kepemilikan investor lokal di pasar modal Indonesia mencapai 49,36 persen, sedangkan investor asing sebesar 50,64 persen. 

Posisi yang sudah jauh membaik bila dibandingkan posisi pada 2014, ketika porsi kepemilikan investor lokal sebesar 35,51 persen dan asing sebesar 64,49 persen.

Apa masalahnya dengan keberadaan investor asing? Di satu sisi, tentu saja kita sebenarnya patut bergembira. Kehadiran mereka jelas menunjukkan adanya kepercayaan yang tinggi terhadap stabilitas kondisi perekonomian bangsa ini. 

Mereka percaya, berinvestasi alias menanamkan modal di Indonesia tidak akan rugi. Sebaliknya, bisa membuat modal mereka terus bertambah jumlahnya.

Tetapi di sisi lain, kita bisa mencermati satu hal yang tak kalah penting. Ya, kita tak pernah tahu kapan dan tiba-tiba saja para investor asing itu merasa Indonesia sudah tidak "aman" lagi untuk berinvestasi, lalu menarik seluruh dana investasinya. Apa yang akan terjadi? Tentu saja, akan terjadi goncangan hebat bagi perekonomian kita.

Bila para investor asing tiba-tiba saja membuat keputusan menjual seluruh saham kepemilikannya, jelas itu akan membuat kepanikan luar biasa di pasar saham. Bukan tidak mungkin, banyak pula yang ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Akibatnya, harga saham akan berguguran. Praktis, IHSG akan melorot habis-habisan.

Kita sudah melalui minimal dua krisis hebat yaitu tahun 1998 dan 2008. Mari segarkan memori kita. Saat itu, IHSG kita benar-benar terjun bebas. Para investor, terlebih lagi investor asing berlomba-lomba menarik dana yang sudah diinvestasikan dengan cara menjual saham yang dimiliki.

Saya berasumsi, selama keberadaan investor asing masih terus mendominasi di pasar saham, maka bersiap saja IHSG kita akan mudah sekali terombang-ambing. 

Mereka takkan pernah pusing memikirkan dampak perilaku panic selling yang dilakukan akan memperburuk stabilitas kondisi ekonomi nasional. Pada dasarnya, mereka berinvestasi hanya untuk mencari keuntungan. Dan memang, itu sah-sah saja.    

Investasi saham                          

Apa yang membuat kebanyakan masyarakat kita masih enggan berinvestasi? Kurangnya pemahaman tentang investasi di pasar modal khususnya saham. Banyak salah kaprah dan kekeliruan dalam memandang investasi saham dan itu masih terpelihara sampai sekarang.

Masyarakat kita masih banyak yang menganggap produk keuangan sebatas pada layanan di bank, misalnya menabung uang atau deposito. Sementara untuk berinvestasi, bentuk yang paling awam diketahui adalah investasi emas, tanah atau properti.

Memang sangat disayangkan. Padahal bila mau belajar lebih serius  dan dalam lagi untuk mencari tahu tentang investasi saham, kita akan paham bahwa itu sangat dekat sekali dengan kehidupan kita sehari-hari.

Ya, dibalik lembaran saham yang diperdagangkan di BEI dan bisa kita beli itu, ada bisnis perusahaan yang bekerja dan menghasilkan produk-produk yang kita gunakan sehari-hari. Jadi, bukan hanya sekadar lembaran yang cuma untuk disimpan lalu dijual bila sudah ada keuntungan.

Ketika kita membeli saham Unilever (UNVR) misalnya, kita harus paham bahwa kita baru saja membeli perusahaan besar yang menghasilkan aneka produk yang kita butuhkan sehari-hari. Sebut saja mulai dari sabun mandi, deterjen, pasta gigi, shampo, teh celup, dan masih banyak lagi.

Atau saat kita memiliki saham Telkom (TLKM), ingatlah bahwa kita menjadi salah satu investor/pemilik perusahaan besar yang menyediakan layanan internet yang kita gunakan sehari-hari mulai dari berkomunikasi, browsing, atau seminar-seminar daring yang kian menjamur di masa pandemi saat ini.

Itu baru dua contoh saja. Sebagai informasi, saat ini sudah ada sekitar 700 perusahaan publik yang tercatat di BEI dan sahamnya diperdagangkan alias bisa kita miliki.

Masih ada banyak perusahaan raksasa dengan nilai kapitalisasi perusahaan yang besar dan pastinya sudah kita kenal produk-produknya misalnya Bank BCA (BBCA), Bank BRI (BBRI), Bank Mandiri (BMRI), Bank BNI (BBNI), Aneka Tambang (ANTM), Perusahaan Gas Negara (PGAS), Astra Internasional (ASII), Bukit Asam (PTBA), Mayora Indah (MYOR), Waskita Karya (WSKT), Kalbe Farma (KLBF), Gudang Garam (GGRM) dan sebagainya.

Perusahaan-perusahaan itu menyerap banyak sekali tenaga kerja kita. Dengan kata lain, bisa mengurangi pengangguran. Jangan lupa bahwa perusahaan itu juga rutin menyetor pajak yang jumlahnya sangat besar untuk negara.

Di beberapa perusahaan, pemerintah (negara) bahkan tercatat sebagai pemegang saham terbesar. Setiap tahunnya, perusahaan tersebut membagikan keuntungan perusahaan dalam bentuk dividen dan masuk dalam pendapatan negara.

Demikian halnya, bila menjadi investor saham, kita juga sudah berkontribusi dalam membayar pajak. Setiap transaksi (jual-beli) saham yang kita lakukan secara otomatis akan dikenakan pajak, termasuk dividen. Investor saham adalah pembayar pajak yang taat. Tidak ada celah atau peluang sama sekali untuk lepas dari tanggung jawab itu. 

Sehingga, sudah jelas bukan? Mari bersama-sama menjadi investor saham. Kita stabilkan pasar modal, kita stabilkan perekonomian negara. Kita manfaatkan produk keuangan, makroprudensial aman terjaga.

***

Jambi, 31 Agustus 2020  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun