IHSG turun. Harga saham jatuh.Â
Barangkali kita sudah sering mendengar kalimat itu, terutama saat dan menjelang krisis. Ya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memang menjadi salah satu indikator/ukuran yang menggambarkan kondisi perekonomian kita. Ini juga berlaku di negara-negara lain.
Saat terjadi resesi di negara kita, misalnya yang pernah terjadi tahun 1998 dan 2008, IHSG pun turun drastis. Bahkan saat terjadi satu kondisi buruk yang tidak pernah diprediksi sama sekali, misalnya saat awal pandemi bulan Maret lalu, harga-harga saham yang diperdagangkan di bursa pun anjlok.Â
Akibatnya, IHSG pun turun tajam sampai sempat menyentuh angka 4.000 an. Padahal pada kondisi normal, IHSG sudah pernah mencatat angka tertinggi di kisaran 6.000 an.Â
Memang harus dipahami bahwa proses pembentukan harga saham di pasar modal sederhananya akan mengikuti hukum ekonomi. Saat permintaan akan saham perusahaan meningkat, otomatis harganya akan terus naik. Begitu pula sebaliknya.
Lalu, apa yang menggerakkan jumlah permintaan/penawaran akan saham? Tentu saja, sentimen dan persepsi yang muncul dalam benak para investor.Â
Saat ada berita bernada sentimen negatif, para investor akan cenderung menahan diri untuk tidak membeli saham. Bahkan pada taraf yang lebih parah lagi, mereka akan panik dan berusaha menjual saham yang dimiliki meskipun dalam kondisi rugi (panic selling).Â
Demikian halnya, saat investor punya sentimen dan pandangan positif, mereka akan berlomba membelanjakan uangnya dengan membeli saham.Â
Sekali lagi kita ambil contoh di masa pandemi saat ini. Saat pertama kali diumumkan pasien positif Covid-19, hampir semua harga saham perusahaan publik yang ada di Bursa Efek Indonesia mengalami penurunan tajam.Â
Termasuk saham perusahaan-perusahaan farmasi seperti Indofarma (INAF), Kimia Farma (KAEF), Pyridam Farma (PYFA), dan Phapros (PEHA).Â