Rasanya malam itu, separuh beban yang mengganjal di dadaku lebur. Ada perasaan lega yang ikut keluar seiring dengan banyak kalimat yang kulontarkan.
"Apa penjelasanku itu sudah cukup jelas?"
Dia menggeleng, "Apakah waktu itu kamu menyukaiku?"
Selama ini, aku sudah terlalu lelah berbohong dengan diriku sendiri. Maka dengan sangat ringan dan tanpa beban aku mengatakan, "Ya,"
Tanpa kusangka-sangka, jawabanku membuatnya bungkam seketika. Dia menangkupkan telapak tangannya ke wajah, mengusapnya dengan gerakan lambat.
"Kalau dulu kamu mengatakan semuanya, aku mungkin akan berpikir berulangkali untuk bersama orang lain." Terangnya, ada raut menyesal di wajahnya.
"Enggak perlu. Buat apa? Aku nggak akan bisa menahan pergi seseorang kalau dia memang nggak berniat untuk tetap tinggal di hidupku." Kujawab. Lugas dan tegas. Seolah aku tidak lagi memberinya kesempatan untuk mencari pembenaran, apa pun itu bentuknya.
"Maaf karena waktu itu aku pergi,"
Aku menggeleng, "Itu hakmu, nggak perlu minta maaf."
"Apa aku masih punya kesempatan?" Ia bertanya.
"Kesempatan untuk apa?"