Mohon tunggu...
Sinta IF
Sinta IF Mohon Tunggu... Administrasi - Hai

Halo, senang berjumpa di sini! :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lima Milyar Sekian Juta Milisekon

2 Maret 2017   07:48 Diperbarui: 2 Maret 2017   08:21 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana bisa aku memikirkanmu siang dan malam?

7x24 jam? Sinting.

Belum jika diurai dengan satuan waktu secara matematis. Tiga puluh delapan bulan.

Kalikan empat, kalikan dua belas, kalikan tiga, kalikan enam puluh, kalikan enam puluh lagi, kalikan enam puluh lagi. Tambahkan dua bulan yang tersisa.

Maka angka fantastis yang akan kau dapat adalah: 5.515.776.000 milisekon.

Aku sudah jadi milyader dunia kalau saja itu nominal uang.

***

Dunia ini kompleks. Keteraturan itu absurd. Perasaan adalah definisi paling tidak rasional. Sekalipun dijabarkan dalam jutaan alinea, diberi label teori dari A sampai Z.

Sekarang pukul 03.00 pagi di tempatmu.

Wajahmu pasti baru saja terbilas air wudhu. Kebiasaanmu, rutinitas yang nyaris alpa engkau tinggalkan di sepertiga malam.  Aku membayangkan hidung, kening, dan dagumu membenam ditelapak bumi. Memanjatkan doa-doa yang diterbangkan sampai ke langit.  Mengadu dan berceloteh pada Tuhan lewat ritual yang engkau sebut-sebut sebagai penghambaan paling romantis antara manusia dan Tuhannya.  Sujud.

Sekarang pukul 03.15 pagi di tempatmu.

Lima belas menit setelah rutinitasmu usai. Lembar kitab itu kuyakin sedang kaubaca dengan khusuknya, dengan alunan suara paling metafora.  Aku membayangkan nyaring suaramu bahkan meski sekali pun belum pernah kudengar kaubernyanyi.

Dan tahukah engkau bahwa dibalik ketidakpahaman tentang apa yang sebenarnya kau lakukan, aku masih berusaha untuk mengerti?

Aku mengerti ada sekat-sekat yang tidak bisa kulanggar dan wajib kupatuhi. Suka atau tidak suka, terpaksa atau sukarela. Aku berada diantara dua sekat yang sama-sama tidak ingin kupilih. Meski salah satunya benar, karena sejatinya aku tidak pernah ingin dikekang.

Namun terbebas dari dua himpitan sekat itu bagiku sama sulitnya dengan menggapai kejora ditengah konstelasi bintang seluruh jagat raya. Terasa musykil dan terdengar mustahil. Tapi aku serius soal pengandaian itu. Aku tidak sedang bercanda, hal ini terlalu serius untuk diberi label main-main.

**

Tiga minggu lalu Aisyah jatuh sakit. A-i-s-y-a-h. Perempuan bermata teduh itu, aku curiga ada surga kecil di matanya. Surga yang hanya mampu dimiliki oleh seseorang dengan rutinitas sama sepertimu. Jujur, aku benci harus mengatakan ini. Namun sungguh kuakui, aku iri.

 Aku iri dengannya yang tanpa harus melakukan apa-apa bisa membuatmu jatuh cinta. Sesederhana itu, sesederhana karena dia adalah Asiyah. Tanpa harus menjadi siapa-siapa, tanpa perlu menjadi sempurna.  

“Bagaimana keadaannya?”

Katamu, kondisinya sudah membaik. Dia hanya butuh istirahat. Terlalu banyak aktivitas membuat kondisi fisiknya terkuras.

“Jadi, sebenarnya dia sakit apa?”

“Dokter bilang anemia, tapi dia sudah diperbolehkan pulang hari ini, tidak perlu rawat inap. Kamu tidak perlu khawatir.”

Tidak perlu khawatir katamu?

Padahal  raut cemasmu saat membawanya ke rumah sakit karena dia pingsan di tengah acara kampus tadi siang, persis seolah dia sedang mengidap kanker stadium akhir.

Aku cuma mengangguk dan tersenyum getir.

Hebat. Kekuatan magis apa yang bisa mempengaruhi seorang laki-laki super idealis sepertimu-yang pantang melanggar satu kewajibannya sekali pun-tapi siang ini dengan ringannya meninggalkan acara yang berbulan-bulan dia rancang demi mengantarkan seseorang ke rumah sakit meski sebenarnya itu bisa diwakilkan?  

Asiyah, kalau aku diberi kesempatan besar untuk bertanya padamu meski cuma sekali.

Bagaimana rasanya dikhawatirkan oleh seseorang yang benar kaucintai?

***

“Jangan lupa berdoa untuk kesembuhannya,” senyummu ditengah terik matahari pukul dua siang. Tiga puluh menit sebelum akhirnya aku kembali ke acara kampus. Melanjutkan tugasku sebagai pangurus.

“Doa apa yang harus kubaca?”

“Apa pun, yang kaubisa.”

“Apa kamu juga akan mendokannya?” aku bertanya, setengah menggoda. Tertawa kecil.

“Tentu saja. Ada pahala berlipat ganda bagi mereka yang mendoakan saudaranya yang sedang sakit.”

“Karena itu?”

“Apanya?”

“Karena itu kamu berdoa untuk kesembuhannya?”

Kamu tertawa dan menggeleng, “aku tetap akan mendoakannya meskipun tidak mendapat apa-apa.”

“Jadi begitu ya?”

Dahimu berkerut, memandangiku dengan tanda tanya yang berlarut-larut.

“Kenapa?”

Aku menggeleng. “jadi, agar juga bisa kaudoakan, apa aku harus sakit dulu?”

Kali ini kamu benar-benar tertawa. Menggeleng dengan ekspresi “apa-apaan kamu ini” yang secara terang-terangan kaulempar tepat di bola mataku.

Aku mengibaskan tangan, mencoba bergurau. “Lupakan. Itu cuma bualan. Oh ya, soal jalannya seminar nanti, kamu tidak perlu khawatir. Aku akan bilang bahwa Kapel acara kita sedang terlibat urusan penting. Tugasmu aku ambil alih, biar Asiyah nanti aku cari siapa yang mau menggantikan. Aku pulang duluan,”

Kamu tersenyum dan mengangguk, mengucapkan terimakasih sebelum aku pergi.

***

Sekarang pukul 03.00 pagi untuk yang ke sekian kalinya di tempatmu.

Rutinitasmu masih tetap sama.

Namun kini aku mengerti keteraturan yang kaulakukan tidak akan pernah berjalan sama lagi.

Waktu berjalan dan semua peristiwa bergerak teratur mengikuti alur.

Kamu , tidak terkecuali.

A-i-s-y-a-h.  Kubayangkan saat ini dia tengah berada di belakang shafmu. Membaca kata ‘aamiin’ di penghujung alfatihah yang kaubaca.

Ah! Betapa beruntungnya.

***

Aku tahu sebongkah perasaan dan definisi ingin memiliki itu berbeda arti. Aku tidak lagi ingin melanggar batas kewarasanku sendiri. Sehingga engkau tidak perlu bilang bahwa aku ini waras, sebab aku mewaraskan diriku sendiri dengan tidak menggilakan kamu. Aku menyukaimu tanpa syarat, tanpa istilah yang dibuat-buat. Bahkan tanpa peduli beda ruang dan hal tabu yang bernama keyakinan.

***

Pada 174.182.4000 milisekon aku menyerah.

Tahu kenapa? Karena terlambat kusadari bahwa hanya di mata Aisyah lah engkau bisa menemukan surga.

Sebab aku bukan dia yang bisa mengikuti gerak sujudmu dari belakang.  

Aku hanya bisa berdoa untukmu dengan caraku sendiri, di tempat yang berbeda dengan ruang ibadahmu.  Rasanya, cinta memang tidak pernah sesederhana itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun