“Tentu saja. Ada pahala berlipat ganda bagi mereka yang mendoakan saudaranya yang sedang sakit.”
“Karena itu?”
“Apanya?”
“Karena itu kamu berdoa untuk kesembuhannya?”
Kamu tertawa dan menggeleng, “aku tetap akan mendoakannya meskipun tidak mendapat apa-apa.”
“Jadi begitu ya?”
Dahimu berkerut, memandangiku dengan tanda tanya yang berlarut-larut.
“Kenapa?”
Aku menggeleng. “jadi, agar juga bisa kaudoakan, apa aku harus sakit dulu?”
Kali ini kamu benar-benar tertawa. Menggeleng dengan ekspresi “apa-apaan kamu ini” yang secara terang-terangan kaulempar tepat di bola mataku.
Aku mengibaskan tangan, mencoba bergurau. “Lupakan. Itu cuma bualan. Oh ya, soal jalannya seminar nanti, kamu tidak perlu khawatir. Aku akan bilang bahwa Kapel acara kita sedang terlibat urusan penting. Tugasmu aku ambil alih, biar Asiyah nanti aku cari siapa yang mau menggantikan. Aku pulang duluan,”